Monday, February 27, 2012

Penjadualan Jam Kerja Awak Pesawat dan Personil Penerbangan


Penjadualan Jam Kerja Awak Pesawat dan Personil Penerbangan 

Pertama-tama saya jelaskan hirarki peraturan keselamatan dan keamanan penerbangan sipil.

Semua negara anggota PBB pada umumnya tunduk dan patuh pada semua ketentuan yang diterbitkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) yang menerbitkan Annex 1 sd Annex 18 yang disebut sebagai Standards and Recommended Practices (SARPs) sebagai pedoman untuk menyusun peraturan keselamatan dan keamanan di negara masing-masing.

Dalam hal Indonesia, peraturan keselamatan dan keamanan penerbangan sipil diterbitkan oleh Menteri Perhubungan c.q. Direktur Jenderal Perhubungan Udara RI yang dikenal sebagai Civil Aviation Safety Regulations (CASR) atau dalam bahasa Indonesia disebut Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS). CASR di Indonesia isinya “serupa” (tidak sama persis) dengan Federal Aviation Regulations (FAR) buatan Federal Aviation Authority (FAA) Amerika Serikat. Setidaknya ada CASR Part 1 s/d CASR 830 yang tercatat dibuat di Indonesia. CASR-CASR tersebut direvisi dan dimutakhirkan secara berkala sesuai dengan perubahan yang ada pada ICAO Annex maupun perkembangan industri penerbangan.

Meskipun kebanyakan CASR sudah ada terlebih dahulu, namun sesungguhnya isinya sudah selaras dan merupakan penjabaran teknis Keputusan Menteri Perhubungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penerbangan No 1 Tahun 2009 yang diterbitkan belakangan.

Sehubungan ini, semua operator penerbangan di Indonesia setidaknya memiliki 2 manual tertinggi yang berisi kebijakan operasional disebut Company Operations Manual (COM) dan kebijakan perawatan pesawat terbang disebut Company Maintenance Manual (CMM).

CATATAN: Beberapa contoh dan istilah saya pergunakan yang ada di maskapai Garuda Indonesia (GA)

Sesuai dengan CASR 121, personil yang memerlukan kualifikasi dan diatur proses penerbitan lisensinya ada 5 jenis;
  1. Pilot in Command (Pilot atau Kapten Penerbang dengan lisensi Air Transport Pilot License atau ATPL)
  2. Second in Command (Co-Pilot atau Penerbang dengan lisensi Commercial Pilot License atau CPL)
  3. Flight Dispatcher (Petugas Keberangkatan Penerbangan dengan lisensi Flight Operation Officer License)
  4. Flight Engineer (Juru Mesin Udara dengan lisensi Flight Engineer License)
  5. Aircraft Maintenance Engineer (Teknik Kelaikan dan Perawatan Pesawat Terbang dengan lisensi Aircraft Maintenance Engineer License)
  6. Flight Attendant (Awak Kabin dengan lisensi Flight Attendant Certificate)
Catatan: Secara legal License dan Certificate adalah sama derajatnya menurut CASR.

Adapun pengaturan jam kerja personil, khususnya awak pesawat diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan KM 43 tahun 2009 tanggal 8 Mei 2009 dengan lampiran CASR 121 (Amendment 6) Subpart P yang diatur dengan pengertian sbb:
  • Flight Time atau Jam Terbang adalah kurun waktu pesawat mulai bergerak dengan kekuatan mesin sendiri sampai dengan berhenti dan seluruh mesin dimatikan dalam suatu misi penerbangan. Contoh: Jam Terbang penerbangan Jakarta ke Surabaya adalah 1 jam 20 menit. Jika dalam sehari awak pesawat dijadual dinas Jakarta – Surabaya pp 2 kali maka jumlah akumulasi Jam Terbang adalah 5 jam 20 menit
  • Duty Period atau Flight Duty Time atau Jam Kerja adalah kurun waktu awak pesawat melapor untuk dinas terbang sampai dengan pesawat berhenti dan semua mesin dimatikan. Di GA waktu melapor untuk tugas terbang adalah 1 jam 30 menit khusus di bandara Soekarno-Hatta dan 1 jam untuk semua bandara lain. Contoh; jika awak pesawat dijadual dinas terbang Jakarta – Surabaya 2 kali PP maka jumlah akumulasi Jam Kerja adalah 5 jam 20 menit (Jam Terbang) ditambah 1 jam 30 menit (waktu melapor) ditambah 3 kali 40 (waktu transit di Surabaya, Jakarta dan Surabaya) sehingga secara akumulasi Jam Kerja adalah 8 jam 50 menit. Misalnya pesawat mengalami keterlambatan atas berbagai sebab maka jumlah akumulasi Jam Kerja tetap diperhitungkan sampai ketibaan terakhir pada jadual dinas hari itu (ditambah dengan sebanyak waktu tunggu keterlambatan).
  • Rest Period atau Kurun Istirahat atau Jam Istirahat adalah kurun waktu istirahat total antara jadual saat ini dengan jadual berikutnya. Khusus di GA, Rest Period diperhitungkan minimal 9 jam (sesuai batasan minimum CASR) ditambah waktu tempuh kendaraan dari rumah/hotel ke bandara atau sebaliknya sehingga minimum menjadi rata-rata 12 jam. Khusus untuk bandara Soekarno-Hatta, memperhitungkan kemacetan lalu-lintas maka Rest Period minimum adalah 15 jam.
Rest Period yang lebih dari 9 jam diatur tersendiri sesuai dengan jadual dinas. Pada beberapa jadual dinas yang relatif panjang maka Rest Period dapat diberikan dari 9 jam s/d 24 jam.

Rest Period yang 24 jam, di GA disebut Duty Free hal ini untuk mengakomodir sebuah persyaratan CASR bahwa awak pesawat harus mengalami istirahat total (minimal 24 jam) dalam kurun waktu 7 hari dinas. Duty Free dapat diberikan atau terjadi di home base atau di out-station (misalnya menginap di luar kota atau luar negeri sepanjang lebih dari 24 jam).

Rest Period tersebut adalah waktu istirahat minimum sebagaimana diatur CASR untuk keperluan “total rest” sebelum dinas terbang kembali demi keselamatan dan keamanan penerbangan.

Adapun waktu “istirahat” untuk keperluan pribadi, misalnya bersosialisi, olah raga, hobi, liburan dsb, di GA diatur tersendiri yang disebut sebagai Day Off.

Day Off adalah hari “libur” (bukan “istirahat”) di home base dimana GA memberikan minimal 8 hari Day Off dalam satu bulan kalender.
Day Off juga diberikan untuk penjadualan dinas menginap (multi-days duty) dengan pola perhitungan sekitar 2/5 kali jumlah hari dinas dalam satu penjadualan (ada tabel khusus dari 2 hari s/d 8 hari Day Off).

Mengingat bahwa penjadualan awak pesawat “tidak mengenal” hari maka dalam sistim penjadualan yang dipergunakan 1 (satu) hari penjadualan dihitung sebagai 24 jam sedangkan Day Off dihitung berdasarkan hari kalender (00:00 sd 23:59).

Selain Day Off, awak pesawat juga diberikan Annual Leave (Cuti) dengan besaran dari 18 s/d 35 hari kalender (bukan hari kerja) setiap tahun tergantung dan disesuaikan dengan lamanya masa kerja di perusahaan.

Secara umum semua personil yang berkualifikasi dalam industri penerbangan diatur secara ketat sistim penjadualan dinas dengan ketentuan dasar sbb:
  1. Maksimum Flight Time (Jam Terbang) adalah 9 jam dalam penjadualan 24 jam
  2. Maksimum Duty Period (Jam Kerja) adalah 14 jam dalam penjadualan 24 jam
  3. Minimum Rest Period (Jam Istirahat) adalah 9 jam sebelum jadual dinas berikutnya (di GA menjadi 12 jam atau 15 jam di Jakarta).
Sesuai CASR 121, hanya pilot (para penerbang) yang diatur batasan Flight Time (Jam Terbang), sementara profesi lain (termasuk Awak Kabin) hanya diatur batasan Duty Period (Jam Kerja) dan Rest Period (Jam Istirahat).

Adapun “dasar” Batasan Maksimum Jam Terbang (Flight Time) untuk penjadualan penerbang untuk jadual 2 pilot (Pilot in Command dan Copilot) sbb:
  • 9 jam terbang dalam 24 jam penjadualan
  • 30 jam terbang dalam 7 hari berturut-turut
  • 110 jam terbang dalam satu bulan kalender
  • 1050 jam terbang dalam satu tahun kalender
Batasan Penjadualan 3 pilot (Pilot in Command dan Copilot ditambah 1 pilot) dapat diperpanjang sbb:
  • 12 jam terbang dalam 24 jam penjadualan
  • 120 jam terbang dalam 30 hari
  • 300 jam terbang dalam 90 hari
Batasan Penjadualan 4 pilot (Pilot in Command dan Copilot ditambah 2 pilot atau lebih) dapat diperpanjang sbb:
  • 14,5 jam terbang dalam 24 jam penjadualan jika diberikan kursi untuk istirahat
  • 18 jam terbang dalam 24 jam penjadualan jika diberikan tempat tidur untuk istirahat.
Sekali lagi, Awak Kabin tidak diatur batasan Jam Terbang (Flight Time) namun diatur Jam Kerja (Duty Period atau Flight Duty Time).

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa batasan “dasar” maksimum Jam Kerja (Duty Time atau Flight Duty Time) bagi semua awak pesawat termasuk personil berkualifikasi lain dan awak kabin adalah 14 jam kerja setiap 24 jam penjadualan.

Jumlah awak kabin dalam sebuah penerbangan diatur sesuai dengan kapasitas kursi pesawat tersebut (kapasitas kursi ketika sebuah pesawat dilakukan sertifikasi di pabrik pembuat dan bukan kapasitas kursi yang tersedia pada pesawat maskapai atau jumlah penumpang pada sebuah penerbangan).

Komposisi dasar awak kabin dalam sebuah penerbangan disebut sebagai Standard Crew Complement.

Standard Crew Complement diperhitungkan sbb:

1 (satu) Awak Kabin setara dengan 50 kursi

Sehingga dari semua tipe pesawat dapat diketahui komposisi awak kabin, versi CASR maupun versi GA, baik Standard Crew Complement maupun Standard Service Complement sbb:


Tipe Pesawat             Versi CASR  GA Min Standard Crew  Service Complement

Boeing B737-300/400/500          3                      4                                           5
Boeing B737-800                        4                      4                                           6
Airbus A320                                4                      4                                           4
Airbus A330-200                         6                      8                                          11
Airbus A330-300                         6                      8                                          11
Boeing B747-400                        10                    14                                        16


Berdasarkan tabel ini, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa GA menempatkan aspek keselamatan dan keamanan lebih tinggi dari persyaratan minimum CASR dimana Standard Crew Complement GA mayoritas lebih besar dari komposisi minimum awak kabin versi CASR.

Pada prakteknya, GA dalam penerbangan rutin berjadual selalu menempatkan jumlah awak kabin mencapai Standard Service Complement sebagai bagian dari aspek pelayanan dalam penerbangan.
Selaras dengan perhitungan tabel ini maka Jam Kerja (Duty Period atau Flight Duty Time) Awak Kabin rata-rata di atas 14 jam kerja.

Sesuai CASR 121, Jam Kerja Awak Kabin dari komposisi Standard Crew Complement dapat diperpanjang sbb:
  • Jam Kerja menjadi 16 jam jika ditambahkan 1 (satu) awak kabin.
  • Jam kerja menjadi 18 jam jika ditambahkan 2 (dua) awak kabin
  • Jam kerja menjadi 20 jam jika ditambahkan 3 (tiga) awak kabin
Atas dasar perhitungan tersebut maka panjadualan maksimum Jam Kerja bagi Awak Kabin dapat mencapai 20 jam kerja dimana di GA hanya dibatasi maksimum 18 jam kerja, baik untuk pilot maupun awak kabin.

Sejalan dengan perpanjangan Jam Kerja maupun Jam Terbang (khusus Pilot) maka Jam Istirahat (Rest Period) juga diperpanjang yang disesuaikan dengan waktu perpanjangan Jam Kerja tersebut.

Jadi Jam Terbang, Jam Kerja dan Jam Istirahat merupakan satu-kesatuan sistim penjadualan yang secara ketat dipatuhi dan dilaksanakan.

Mengapa harus diatur batasan maksimum Jam Terbang yang melebihi 9 jam dan/atau Jam Kerja yang melebihi 14 jam?

Ada kalanya sebuah penerbangan ada yang terdiri dari 1 (satu) sektor, misalnya saja Jakarta ke Jeddah akan memerlukan waktu jam terbang setidaknya 9 jam 40 menit. Begitu pula penerbangan langsung dari Asia ke Eropa akan memerlukan waktu sekitar 10 sd 12 jam. Sedangkan dari Indonesia ke Hawaii Amerika akan menempuh waktu 13 jam terbang. Atau sebuah penerbangan langsung dari Singapore ke Newark Amerika yang menempuh waktu jam terbang 18 jam 40 menit!

Dalam satu sektor penerbangan jarak jauh sudah pasti tidak mungkin mengganti awak pesawat dengan mendarat terlebih dahulu. Oleh karena itu dibuat ketentuan perpanjangan Jam Terbang, Jam Kerja dan sekaligus kompensasi perpanjangan Jam Istirahat bagi personil udara dengan cara menambah jumlah komposisi awak pesawat di dalam penerbangan.

Tentu saja dalam prakteknya, para awak pesawat disediakan tempat istirahat berupa kursi dan/atau tempat tidur (bunker) sehingga dapat bekerja bergantian.

Hal yang juga penting untuk disampaikan bahwa ketentuan mengenai jam Terbang, Jam Kerja dan Jam Istirahat hanya berlaku untuk proses “penjadualan” dan bukan pada tahap pelaksanaan.

Sehingga tidak berarti bahwa semua personil udara akan dijadual maksimum atau mendekati maksimum setiap hari, ada kalanya dinas terbang hanya jarak dekat namun juga ada kalanya terbang jarak jauh.

Sebaliknya, batasan Jam Terbang dan Jam Kerja dapat saja dilampaui karena kondisi khusus saat pelaksanaan, misalnya akibat cuaca buruk sebuah penerbangan terpaksa melakukan pengalihan pendaratan (diversion) yang tentu saja akan menambah Jam Terbang maupun Jam Kerja. Dalam kasus seperti itu maka kompensasi akan diberikan khususnya menyangkut Jam Istirahat sebelum menjalankan jadual dinas berikutnya.

Ketentuan Jam Terbang, Jam Kerja dan Jam Istirahat sebenarnya sudah ada sejak penerbangan komersial di dunia yang secara umum sudah menjadi kesepakatan internasional (konvensi) dan diatur pula secara internasional.

Sehingga dapat disimpulkan, jika ada permintaan atau tuduhan sistim penjadualan awak pesawat dianggap kurang manusiawi maka dapat diabaikan saja karena sudah menjadi kaidah internasional.

Pengaturan Jam Kerja mana yang akan diberlakukan bagi personil udara antara UU Ketenagakerjaan atau UU Penerbangan?

Sebagaimana sudah dijelaskan pengaturan Jam Terbang, Jam Kerja dan Jam Istirahat personil udara sudah diatur melalui berbagai konvensi internasional dan Civil Aviation Safety Regulations (CASR).
Ketika CASR di Indonesia dilakukan perbaikan besar-besaran pada tahun 1998 maka lahirlah CASR 121 yang saat ini telah diamandemen sebanyak 6 kali dimana didalamnya juga mengatur Jam Terbang, Jam Kerja dan Jam Istirahat personil udara.

UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diterbitkan sekitar 5 tahun setelahnya. Saat UU Ketenagakerjaan disusun, sebuah tim dari GA juga dimintai pendapat oleh kantor Menakertrans kala itu untuk mengatur Jam Kerja bagi personil udara yang kemudian disepakati beberapa pekerjaan atau profesi khusus dikecualikan dari UU Ketenagakerjaan.

UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 tertanggal 25 Maret 2003 pada Paragraf 4 Waktu Kerja Pasal 77 dapat dikutip sbb:
  • Ayat (3) Ketetapan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu,
  • Ayat (4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pada Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Pasal 77 Ayat (3) dapat dikutip penjelasan sbb:

Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang diterbitkan tanggal 12 januari 2009 pada Bagian Kelima Pengaturan Waktu Kerja Pasal 395 dapat dikutip sbb:
  • Untuk menjamin keselamatan penerbangan harus dilakukan pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat bagi personil operasional penerbangan.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Menteri.
Keputusan Menteri KM 43 Tahun 2009 tertanggal 8 Mei 2009 dengan Lampiran CASR Part 121 Amendment 6 Subpart P dan Subpart Q mengatur secara khusus Jam Terbang, Jam Kerja dan Jam Istirahat bagi Awak Kokpit, Awak Kabin dan Dispatcher. Sedangkan Subpart L mengatur khusus Jam Kerja dan Jam Istirahat bagi personil Teknik Kelaikan dan Perawatan Pesawat Udara sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Jakarta, 27 Februari 2012
Salam,
Novianto Herupratomo

Friday, February 24, 2012

Kerusuhan Di Dalam Pesawat Terbang

Kerusuhan Di Dalam Pesawat Terbang

Saya cuplikkan berita mengenai "kebakaran" pesawat Batavia di Ngurah Rai menyusul kecelakaan Merpati di El-Tari Koepang pada tanggal 2 Desember 2009.

Kamis, 03/12/2009 12:06 WIB
Insiden Batavia Air
Penumpang Luka Karena Balon Pintu Darurat Tak Bekerja Maksimal
Gede Suardana : detikNewsdetikcom - Denpasar,

Sejumlah penumpang Batavia Air yang mengalami insiden di Bandara Ngurah Rai terluka saat keluar dari pintu darurat pesawat tersebut. Hal itu disebabkan balon pintu darurat tak bekerja maksimal karena tertiup angin.

Sonny Boy Saerang, salah satu penumpang pesawat tersebut mengatakan, insiden itu terjadi saat pesawat akan take off. Saat akan mulai berjalan ke landasan pacu, mesin pesawat tersebut tiba-tiba mati.

"Awalnya semua normal. Tapi tiba-tiba saja mesin mati. Udara di dalam kabin sangat panas, karena AC juga tidak menyala sekitar 5 menit. Saat mesin menyala kembali, tiba-tiba penumpang yang duduk di sisi kiri melihat asap. Dia kemudian berteriak kebakaran...kebakaran!" tutur Sonny di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Kamis (3/12/2009).

Kepanikan langsung terjadi. Para penumpang, terutama wanita dan anak-anak, menjerit histeris. Beberapa penumpang kemudian membuka pintu darurat di bagian belakang pesawat. Tanpa menunggu perintah lagi, para penumpang kemudian berebut keluar lewat pintu darurat itu.

"Namun balon pintu darurat tersebut tertiup angin sehingga penumpang mendarat di bagian bawah pesawat dan saling bertindihan. Seorang wanita jatuh tertelungkup dan mengalami patah kaki," ungkap Sonny.

Sonny mengaku, setidaknya ada dua orang penumpang mengalami patah tulang. Sedangkan beberapa lainnya hanya mengalami luka-luka lecet saja.

"Yang saya tahu, setidaknya ada 8 orang yang dilarikan ke RS dengan ambulans ketiga. Saya tidak tahu jumlah korban yang dibawa ambulans kesatu dan kedua," ungkap pria yang berniat pergi ke Kupang ini.

Sonny menjelaskan, pesawat tujuan Jakarta-Surabaya-Kupang tersebut berangkat dari Jakarta pukul 14.20 WIB, Rabu 2 Desember. Namun karena ada insiden di Bandara El Tari Kupang, pesawat tersebut dialihkan ke Bandara Ngurah Rai. Pesawat itu mendarat pada tengah malam.

"Jadi setelah menginap semalaman di Ngurah Rai, kita tadi mau kembali ke Surabaya," ungkap Sonny.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Saya tak begitu yakin dengan data penyebab "kebakaran" namun ini analisa saya:
  1. Pesawat jet seperti B737 dan sejenisnya memerlukan pneumatic system (air starter) untuk menghidupkan engine.
  2. Pneumatic system tsb adalah hembusan udara yang diperoleh dari putaran turbin Auxillary Power Unit (APU) atau semacam on-board Genset dalam pesawat untuk memasok tenaga listrik dan angin (pneumatic) selama pesawat di darat.
  3. Jika APU rusak atau tak berfungsi maka selama di darat pesawat mempergunakan GPU (Ground Power Unit) semacam mobile genset untuk memasok tenaga listrik. Dan Airconditioning Car (jika ada) sebagai pendingin udara selama di darat.
  4. Dalam kondisi tanpa APU maka pesawat membutuhkan GTC (Ground Turbine Compressor) untuk memasok tenaga udara untuk menggerakkan air starter engine saat mau melakukan engine starting.
  5. Jika starting engine mempergunakan GTC, secara normal untuk B737 akan dimulai start engine kanan dan diikuti engine kiri.
  6. Saat engine starting, baik pakai APU atau GTC maka airconditioning dalam pesawat akan dimatikan sebab tenaga hembusan APU dan/atau GTC hanya mampu untuk memutar air starter, makanya dalam kabin akan panas sampai kedua engine mulai berputar stabilized.
  7. Sesuai prosedur, semua pintu2 tertutup dan tangga serta alat pendukung lain telah dijauhkan dari pesawat sesaat sebelum starting engine.
  8. Secara berurutan, semua evacuation slide (yang di sini disebut balon) akan diatur dalam posisi Armed agar dapat di deploy secara otomatis jika diperlukan emergency evacuation.
Itu sekelumit prosedur normal tentang starting engine.

Apakah engine dapat mengeluarkan asap atau api ketika starting?
Secara harafiah, engine dapat terbakar jika temperatur dalam engine wall mendeteksi panas diatas limit yang kemudian diikuti dengan Engine Fire Warning system menyala di kokpit (indikasi visual dan audible). Prosedurnya mudah; matikan mesin, tarik dan putar tuas Engine Fire untuk mengaktifkan Engine Fire Extinguishers yang ada dalam engine wall. Dalam kasus seperti ini ada kemungkinan asap warna putih akan keluar dari exhaust (knalpot) akibat uap extinguisher yang terdorong keluar.

Kebakaran jenis kedua disebut Tail Pipe Fire atau kebakaran yang terjadi diluar engine atau di bagian exhaust (knalpot) diiringi kobaran api dan/atau asap hitam pekat yang menyembur sehingga tampak dari luar. Kasus seperti ini biasanya tak terdeteksi dari kokpit. Prosedurnya mudah, matikan pasokan bahan bakar ke engine dan matikan igniter dalam engine. Lalu kita putar engine dengan bantuan air starter (tanpa engine dinyalakan) sampai api atau asap hilang dari exhaust. Jika tak berhasil maka dibantu oleh portable fire extinguisher yang standby di dekat mobil push-back car.

Apa yang menyebabkan Tail Pipe Fire?
Adanya residual bahan bakar dalam combustion chamber.

Jika proses engine starting ada residual avtur maka avtur akan terbakar menjadi api dan/atau asap hitam yang berlebihan.

Tail Pipe Fire juga dapat terjadi saat mematikan engine jika ada residual bahan bakar maka avtur tsb yang kemudian terbakar lagi karena engine masih panas (residual heat) meski engine telah dimatikan.

Sekarang kita tahu Engine Fire dan Tail Pipe Fire adalah sesuatu yang biasa dan it suppossed to be under controlled para pilot terlatih. Nothing to worry about . . .

Seiring dengan kasus Batavia, mengapa penumpang evakuasi dengan sendirinya?
Ini yang masalah besar!

Berikut ini cuplikan dari UU Penerbangan No 1 Tahun 2009:

 
 




Mengapa kepanikan dapat terjadi di dalam pesawat dan mengapa menjadi sulit dikendalikan?
Satu atau dua orang naik pesawat terbang dapat disebut sebagai “penumpang” namun jika ratusan orang berada dalam satu ruangan maka sesungguhnya tak ubahnya sekelompok massa yang mudah sekali disulut dan diledakkan emosinya sehingga sulit untuk diredam oleh siapapun.

Sebuah emergency evacuation dapat berakibat fatal yang memungkinkan terjadinya korban luka-luka serius jika tidak ditangani secara baik dan terkoordinir.

Saya tambahkan cerita lagi . . .

Beberapa tahun lalu menjelang Hari ABRI, sekelompok pasukan Kopassus (atau Paskhas) naik ke pesawat Hercules dari Halim untuk latihan persiapan Perayaan tsb.

Sesaat setelah Hercules tinggal landas, terlihat mesin mengeluarkan api dan asap tebal. Kepanikan mulai muncul dalam pesawat Hercules. Pasukan Kopassus merasa terlatih menghadapi berbagai medan dan situasi mulai menggalang opini sendiri mengenai situasi itu.
Seorang anggota Kopassus bersikeras membuka Ramp Door (pintu belakang) dan segera berbondong-bondong anggota Kopassus meninggalkan tempat duduk menuju ke Ramp Door, mereka panik dan akan meloncat dari pada berada dalam pesawat yang satu mesinnya terbakar.

Padahal satu mesin mati kalaupun bukan hal normal namun "fly-able" dan hal biasa bagi pilot terlatih. Bukankah pesawat terbang dilengkapi 2 mesin atau lebih, justru untuk safety back-up jika salah satu mati?

Tenang aja, Itu mah biasa . . . . (Begitu kata pilot terlatih).

Namun kepanikan dalam Hercules semakin memuncak.

Semakin banyak penumpang berada di dekat Ramp Door membuat Center of Gravity pesawat bergerak ke depan dan semakin lama pesawat mengalami "tail heavy" sampai tak dapat lagi dikendalikan oleh pilot yang tak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di kabin.

Hidung pesawat semakin mendongkak, akhirnya "stall" seperti layang-layang putus mati angin.

Pesawat crashed di sekitar Condet! Sebagian besar penumpang Kopassus meninggal karena meloncat ketika pesawat masih di udara dan sebagian meninggal bersamaan dengan crashed impact pesawat Hercules.

Sebuah kisah tragis "dis-orderly" justru terjadi pada pasukan ABRI yang paling militan dengan disiplin.

Keselamatan dan Keamanan Penerbangan senantiasa membutuhkan kerja-sama semua pihak yang ada dalam pesawat sejak pre-, in-, dan post-flight. Ketertiban dalam pesawat terbang merupakan awal dari kenyamanan demi menjaga keselamatan dan keamanan dalam pesawat.

Jadi kalau ada penumpang semaunya berteriak "Api! Api!" lantas membuka pintu darurat sendiri dan evakuasi semaunya, kita tahu dimana akar masalahnya, bukan?

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan penumpang pesawat terbang:
  1. Pilihlah maskapai yang terbaik sesuai kebutuhan dan kemampuan serta keyakinan anda.
  2. Ikuti saja semua peraturan, petunjuk dan instruksi para petugas dan awak pesawat maskapai. Percayalah bahwa mereka semua adalah para petugas dan awak pesawat yang terlatih dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keamanan dan keselamatan anda berikut barang bawaan serta kargo, berusaha selalu Tepat Waktu dan melayani anda agar nyaman dalam penerbangan.
  3. Jika anda melihat atau mendengar sesuatu yang agak ganjil atau menurut opini anda dapat mengancam keselamatan dan keamanan, sebaiknya melapor ke petugas maskapai atau awak pesawat dan berilah kesempatan kepada mereka untuk mengevaluasi situasi dan mengambil tindakan sesuai prosedur yang telah dilatihkan.
  4. Sebagai penumpang, anda juga sangat dapat berkontribusi tehadap keamanan dan keselamatan penerbangan, misalnya;
  • Membiasakan diri membawa bagasi kabin sesuai ketentuan, baik ukuran maupun berat. Umumnya ukuran bagasi kabin yang diterima adalah dengan dimensi kurang dari 56 cm (P) x 36 cm (T) x 23 cm (L) dengan berat maksimum 7 Kilogram.
  • Tegurlah penumpang yang masih gemar mempergunakan HP atau perangkat mobile di dalam pesawat dan laporkan saja ke awak pesawat jika masih membandel.
  • Tidak membawa barang-barang berbahaya berupa senjata pengancam, misalnya; pisau, pisau lipat, gunting, korek gas, petasan, pistol dan peluru atau
  • Tidak membawa barang-barang yang dilarang secara terbatas untuk masuk sebagai bagasi kabin yang termasuk kategori Liquid, Aerosol & Gas, misalnya: air minum kemasan, odol, minyak rambut, parfum, hairspray, deodorant, korek gas, dll terkecuali untuk makanan bayi dan obat-obatan yang dikonsumsi selama penerbangan.
Ingatlah selalu, keamanan dan keselamatan penerbangan selalu memerlukan kerja-sama semua pihak, termasuk pengguna jasa. Bertindak panik, brutal atau kekerasan sungguh tak akan menyelesaikan masalah.

Selamat terbang dan semoga bermanfaat.

Jakarta, 3 Desember 2009
Salam,
Novianto Herupratomo