Memasuki puasa Ramadhan hari ke 15, tema dari Saur
Yuuuuuk adalah menelaah gonjang-ganjing kehidupan, instrospeksi, waspada dan
saling menyemangati.
Kisah yang satu ini memang agak panjang dan barangkali
membosankan tapi cobalah menikmatinya.
Khusus untuk
bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan
kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu
sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?
Wajah Sudrun
yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut
bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang
berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu
dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping-keping,
akan kubunuh. “Jakarta jauh lebih pantas
mendapat bencana itu dibanding Aceh!,” aku menyerbu.
“Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran,” Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan
hati.
“Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?”
“Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang
rakyat Aceh dinikahkan dengan surga.”
“Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir
amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan
ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?”
“Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia
kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian
ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan.”
“Termasuk Kiai….”
Cuh! Ludahnya
melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap
dengan kesabaran.
“Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu
peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta?
Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan
ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak
berkesudahan?”
Sudrun tertawa
terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.
“Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan
Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?” katanya.
Aku menjawab
tegas, “Ya.”
“Kalau Tuhan diam saja bagaimana?”
“Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa
Indonesia akan terus mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?”
“Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!”
“Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu
mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh.
Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang.
Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa
mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu
memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah
dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!”
“”Aku ini, Kiai!”
teriakku, “datang kemari, untuk
merundingkan hal- hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan
adalah diktator dan otoriter….”
Sudrun malah
melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya
melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya, “karena ingin menghindar dari kewajiban.”
“Kewajiban apa?”
“Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu
diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu
belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter,
sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah.Tuhan tidak berkewajiban apa-apa karena ia
tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil
siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang
menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena
benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan
ini? Sini, sini…”-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-”Kupinjamkan
dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?,” aku
tidak paham.
“Pakailah sesukamu.”
“Emang untuk apa?”
“Misalnya untuk membenturkan kepalamu….”
“Sinting!”
“Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal
pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang
kau tempuh.”
Ia membawaku
duduk kembali.
“Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib
terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?,” ia
pegang bagian atas bajuku.
“Kamu
tahu Muhammad?”, ia meneruskan, “Tahu?
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia
mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang
lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia
menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80
cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai
Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu
yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat
panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan
Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh
Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh
ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya,
tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya.
Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan
budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan
setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau
kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?”
Tangan Sudrun
mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.
“Kiai,” kata saya agak
pelan, “Aku ingin mempertahankan
keyakinan bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim….”
“Sangat benar demikian,”
jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak
yakin?”
“Ya Aceh itu, Kiai, Aceh…. Untuk Aceh-lah aku bersedia
Kiai ludahi.”
“Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku
meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi.”
“Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman
cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?”
“Aceh, Kiai, Aceh.”
“Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh
dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera
dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke
surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara
mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka.
Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh
Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini
terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena
air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan
sejarah yang melapangkan kedua pihak”.
“Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan
para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan.”
“Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau
bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak
selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu
rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah
kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan-berhentilah memprotes
Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu
kehidupan berhenti ketika kamu mati.”
“Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak
berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat
hidup nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para
pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka
memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang
baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar
cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?”
“Gusti Gung Binathoro!,”
saya mengeluh, “Kami semua dan saya
sendiri, Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran
dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan.”
“Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu
bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia
membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya
nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-
maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana
yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan
Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta
pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup.”
“Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai
ketidakadilan….”
“Alangkah dungunya kamu!”
Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi
riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski
ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur.”
“Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman
sejahtera hidupnya?”
“Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang
kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan
berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia,dengan
frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena
itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil
keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau
kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar
menundukkan muka, ada kemungkinan….”
“Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
“Bilang sendiri sana sama gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.
“Kiai!” aku meloncat
mendekatinya, “Tolong katakan kepada
Tuhan agar beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam….”
“Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau
salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?”
Sudrun
benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.
(Sumber: Gunung Jangan Pula Meletus oleh Emha Ainun)
Kadang kita lupa bahwa tak semua kejadian dapat
dipahami dengan kepandaian semata. Manakala nalar dan nurani saling menjauh
maka iman yang menjadi petunjuknya.
Saur Yuuuuuk,
Doa hari –
15
Yaa Allah!
Berilah aku rizki berupa ketaatan orang-orang yang khusyu'.
Dan lapangkanlah
dadaku dengan taubatnya orang-orang yang menyesal, dengan keamanan-MU, Wahai
Keamanan untuk orang-orang yang takut.
Salam,
NV