Hari-hari terakhir pekerjaan
kantor sangat melelahkan. Tidak ada waktu untuk ‘memanjakan’ diri sendiri.
Bahkan saat akan beristirahat pun, segala masalah dan tugas dalam pekerjaan
selalu menghantui pikiran. Pagi ini, hari Senin, aku datang ke kantor dengan
semangat yang sedikit lebih baik, setelah pada akhir pekan aku sempat untuk
beristirahat. Saat kumasuki ruangan kerjaku, telpon berdering. Aku angkat dan
terdengar teriak dari ujung telpon “Ke
ruangan saya sekarang”.
Wah ada apa ini? Pagi-pagi boss
sudah marah-marah.
“Bagaimana ini? Kerja nggak pernah beres. Saya harus presentasi hari ini,
bahan yang kamu sediakan sama sekali tidak berguna. Buang-buang waktu saya
saja”. Aku hanya terdiam, dalam hati aku sangat muak dan sebal mendengarnya.
Minggu yang lalu, aku sudah ingatkan. Bahwa bahan presentasi yang beliau minta
tidak akan mungkin dapat di selesaikan. Waktunya terlalu singkat. Sedangkan materinya
sangat banyak. Saya usulkan untuk menggunakan presentasi yang sudah ada, dengan
pembaharuan sedikit.
Sebenarnya kalau mau jujur. Saya
bisa saja menyelesaikan presentasi tersebut kalau mau mencurahkan lebih banyak
waktu untuk mengerjakannya. Tapi, terus terang saya sudah malas dengan segala
keinginan boss-ku. Nyaris setiap hari aku pulang larut malam. Pergi pagi pulang
malam. Dari Senin sampai Sabtu. Dan segala pekerjaanku tidak pernah dihargai
olehnya. Jadi aku pikir “masa bodoh
dengan segala pekerjaan kantor. Aku sudah cape. Terserah deh, nanti jadinya
apa. Gua kagak peduli”.
Jadi Sabtu kemarin aku habis kan
waktu dengan tidur seharian. Membaca buku, menonton televisi, dengar kaset.
Laptop yang tegeletak di atas meja tidak aku sentuh sedikitpun. “Masa bodoh” pikirku. Boss ku masih saja
mengoceh di depanku. Aku berpura-pura tertunduk dan menyesali segala
kesalahanku. Padahal dalam hati, aku masa bodoh, setiap perkataannya tidak ada
satupun yang hinggap didalam pikiran. Setelah 15 menit akhirnya keluar juga
perkataan yang aku tunggu-tunggu “Ya
sudah, Keluar kamu”
Aku kembali keruangan, Duduk,
Kunyalakan komputer, seolah-olah hari ini tidak ada apa-apa. Waktu berlalu
dengan cepat. Tak terasa sudah jam 12. Saatnya makan siang. Langsung saja
kubuka bekal yang aku bawa dari rumah. Dengan tergesa-gesa kusantap setiap
sandok makan siangku. Hari ini aku harus jalan lagi keluar kantor. Sendok
terakhir telah masuk ke dalam perut. Wah, kenyang juga.
Kubenahi segala dokumen yang di
butuhkan dan segera keluar kantor mencari taxi.
“Daerah kota pak” Seruku pada supir taxi.
“Kotanya di mana pak?” dia menimpali.
“Wah, namanya apa yah?” aku sendiri tidak begitu ingat.
“Nanti saya tunjukkan jalannya kalau sudah sampai di sana”
“Baik Pak” Suasana hening.
Tidak beberapa lama pak supir
berkata, “Tadi orang yang pakai taxi ini
sebelum Bapak, naik dari Taman Anggrek”. Dekat amat pikirku. Kantorku ada
di daerah Citraland. “Kok mau sih pak?”
ucapku.
“Wah tidak baik menolak rejeki. Kalau Tuhan sudah kasih berkat, masa kita tolak” ujarnya dengan logat batak yang masih terasa.
“Wah tidak baik menolak rejeki. Kalau Tuhan sudah kasih berkat, masa kita tolak” ujarnya dengan logat batak yang masih terasa.
“Kalo supir lain sih pasti nolak. Kalau saya, ngak masalah, dekat atau jauh
toh rizki berkat dari Tuhan”
“Wah, berfilsafat dia” pikirku.
“Tapi sebenarnya untung juga sih kalau nariknya deket. Tadi saja saya di
kasih uang 10.000, padahal argonya ngak sampe 5 rebu. Saya senang juga. Tapi
sebenernya saya ngak tega kalo mesti nolak. Dia kan pasti mau buru-buru.
Bagaimana rasanya, sesudah duduk, eh malah saya tolak. Sakit hati kan”
jelasnya
“Iya juga yah” pikirku. Suasana hening kembali.
Kuperhatikan wajahnya dari kaca
mobil. Keliahatannya ceria, tidak seperti sopir-sopir taxi yang lain yang
rata-rata wajahnya cemberut.
“Bapak sudah lama jadi sopir taxi” Tanyaku memecah keheningan.
“Baru empat tahun Pak”
“Sebelumnya kerja di mana ?”
“Dulu saya kerja di perhotelan.”
“Kerja di bagian apa Pak ?”
“Manager operasional” Hah? Tidak salah dengar? Manager? Nggak
mungkin ah.. “Anak buahnya banyak pak ?”,
tanyaku sedikit menyelidik.
“Ada sekitar 100 orang”.
“Terus, koq sekarang malah jadi sopir taxi”
“Wah, panjang ceritanya Pak.”
“Oh”, gumanku dan tidak bertanya lebih lanjut, kelihatannya ada kenangan
pahit yang dia alami. “Biasalah pak
korban kena sikut”, ujarnya meneruskan “Padahal
dia teman baik saya. Tidak menyangka dia akan berbuat seperti itu. Tapi buat
saya itu ngak masalah. Saya percaya Tuhan pasti akan tetap pelihara saya.
Buktinya saya langsung bisa dapat pekerjaan lagi. Walaupun tidak sehebat
seperti dahulu. Yah, sudah cukup lah, untuk kebutuhan sehari-hari”.
“Kenapa Bapak tidak mencoba melamar di hotel lain?”
“Nama saya sudah rusak Pak.”
“Pasti karena di fitnah oleh teman baiknya itu”, pikir ku. Kuperhatikan
lagi wajahnya. Tetap ceria seperti tadi. Tidak Nampak terbeban. “Lebih enak jadi sopir atau kerja seperti
dulu Pak ?”, tanyaku.
“Wah, enak atau enggak tergantung hati kita Pak. Pokoknya kita mesti sadar,
bahwa apa yang kita punya saat ini, Tuhan yang memberi. Mengucap syukur
senantiasa. Sukacita bukan datang dari luar, tapi dari dalam diri kita. Jadi
kalau ditanya lebih enak mana, dulu atau sekarang, jawabannya yah: dua-duanya.
Mau jadi apa aja ngak masalah, yang penting ada rasa syukur, pasti bahagia sukacita
itu datang dengan sendirinya.”
Hmmm, hari ini aku disadarkankan
oleh seorang supir taxi.
Aku jadi teringat akan nasehat
yang mengatakan “Jika kita melakukan sesuatu, lakukanlah segala sesuatu seperti kita
melakukan untuk Tuhan”.
Saur Yuuuuuk,
Doa hari – 12
Yaa Allah! Hiasilah diriku dengan
penutup dan kesucian. Tutupilah diriku dengan pakaian qana'ah dan kerelaan.
Tempatkanlah aku di atas jalan keadilan dan sikap tulus. Amankanlah diriku dari setiap yang aku takuti dengan
penjagaan-MU, Wahai penjaga orang-orang yang takut.
Salam,
NV
No comments:
Post a Comment