Aku menatap ibuku. Wanita yang
telah membesarkanku dengan kasih sayang. Tangannya yang telah berkerut dimakan
usia membelai rambut panjangku. Sorot matanya memencarkan sebuah harapan besar
kepadaku. Aku tertunduk. Pandanganku menyapu lantai kamar. Detik berikutnya air
mataku berderai.
Betapa beratnya untukku
mengabulkan permintaanya. Selama ini ibuku tidak pernah mengharapkan apa-apa
dariku. Selama ini dia mengorbankan apa yang ada padanya agar aku bisa tetap
kuliah hingga selesai. Namun setelah aku menjadi seorang sarjana dengan
perjuangan yang berat di tanah perantauan, aku harus mengubur dalam-dalam
impianku untuk menjadi seorang insinyur.
“Ibu tidak punya pilihan lain” suaranya yang serak menghembus ke
dinding telingaku.
Air mataku terus mengalir tak
tertahan lagi.
“Ibu berharap kamu setuju” ucapnya dengan dialek bugis yang kental.
“Ibu mungkin tidak punya pilihan tapi saya punya hak untuk memilih”
kataku diantara isak tangis.
“Ayahmu sudah memutuskan semuanya. Sudah tidak ada lagi gunanya kita
bersuara. Kamu tahu sendiri ayahmu. Dia tidak mungkin akan merubah keputusannya”
“Aku tidak mencintainya, bu! Bagaimana mungkin aku bisa menikah
dengannya” sergahku membela
“Ibu juga dulu menikah dengan ayahmu karena dipaksa. Tapi kami bisa
hidup rukun sampai sekarang”
“Tapi itu dulu, bu, Sekarang zaman sudah berubah” kataku putus asa.
“Zaman bisa berubah tapi ada yang tidak pernah bisa berubah. Cinta.
Kamu bisa mencintainya setelah kalian hidup bersama nanti. Seperti ibu dan
ayahmu dulu” kata ibuku yang pensiunan guru SD.
“Aku mencintai orang lain, bu. Kami sudah berjanji untuk sehidup dan
semati.”
“Hidup dan mati ditangan Tuhan, nak. Kamu tahu kalau kamu menolak
pinangan ini maka harga diri keluarga kita akan hilang” bujuk ibu
Aku sudah kehabisan kata-kata
untuk kujadikan untaian kalimat yang dapat menggambarkan isi hatiku. Aku
merebahkan diriku di pembaringan. Aku terlelap dalam tangisan panjang. Dulu aku
selalu menolak semua lamaran pria yang ingin menjadikanku sebagai pendamping
hidup mereka. Bahkan sejak aku lulus SD ada yang berani melamarku tapi alasanku
menolak mereka karena aku masih ingin sekolah. Namun sekarang, Aku tidak bisa
lagi menolak karena lamaran telah diterima oleh ayahku tanpa meminta
persetujuanku terlebih dahulu
#####
“Aku mencintaimu, Ana”
Kalimat itu kembali diucapkannya.
Meski lewat ponsel tapi aku bisa merasakan kejujurannya.
“Aku juga. Tapi kamu tahu sendiri, aku tidak mungkin mengubah semua
rencana keluargaku.”
“Aku tidak akan menikah selain dengan dirimu” janji Dewantara
dengan tegas.
Aku hanya diam.
“Cintaku padamu bukan cinta tersisa. Aku tidak sempurna tapi aku
mencintaimu dalam kesempurnaan. Cintaku padamu tak akan pernah kering selama
samudera tetap berombak. Cintaku padamu tak akan pernah berubah sekalipun
tubuhku menyatu dengan tanah”
“Aku tahu itu! Aku percaya!” kataku lemah
“Kita kawin lari saja, Ana!” ajak Dewantara“Tara! Itu tidak mungkin. Itu aib bagi keluargaku” kataku galau
“Kita tidak ada pilihan lain” Dewantara kehabisan kata-kata.
Aku menghembuskan nafasku dengan
berat diantara dinginnya angin malam. Kenapa hidup harus memilih? Kenapa setiap
pilihan yang ada selalu berat dan sulit untuk diputuskan? Meski aku tahu
jawabannya, aku tetap bertanya dalam hati. Hidup penuh dengan resiko. Setiap
pilihan penuh dengan resiko. Tapi bukan hidup namanya kalau tidak ada resiko
didalamnya. Resiko dari hidup adalah meninggal dunia. Resiko dari usaha adalah
kegagalan. Resiko dari mencintai adalah tidak bisa memiliki seutuhnya orang
yang kita cintai.
“Aku berjanji padamu, kita akan bersama satu satu hari nanti”
kataku menghibur diri
“Tapi sampai kapan aku harus menunggu?”
Aku tidak bisa menjawab
pertanyaan Dewantara. Tuhankah aku sehinga aku mengetahui apa yang akan terjadi
besok? Aku hanya seorang gadis Bugis yang terikat dengan adat istiadat.
“Aku percaya kita akan bersama meski aku sendiri tidak tahu kapan
waktunya. Aku hanya menggantungkan pengharapanku kepada Yang Maha Kuasa.”
Aku menutup pembicaraan hari itu
dengan sebuah undangan agar Dewantara hadir di hari pernikahanku nanti. Aku
tahu itu akan menyakiti hatinya.
######
Air mataku tak terbendung lagi
saat melihat Dewantara hadir dipernikahanku. Betapa hancurnya hatinya ketika
melihatku bersanding dengan pria lain. Dengan pria yang hampir seusia ayahku.
Kalau saja pria itu bukan orang kaya dan terpandang, ayahku tidak mungkin akan
menerima pinangannya. Apa lagi uang maharnya yang sangat besar. Aku masih
beruntung karena masih memiliki kesempatan kuliah. Sementara banyak gadis Bugis
lainnya menikah di usia yang sangat dini. Bahkan anak tetanggaku sendiri,
terpaksa berhenti sekolah karena ada yang melamarnya. Dia hanya lulusan SD
saja. Haknya untuk meraih cita-citanya dipasung oleh ego orang tuanya.
Betapa sulitnya menjadi gadis
Bugis sepertiku. Gadis yang hanya dipandang sebagai pelayan untuk suaminya dan
alat untuk melahirkan ahli waris bagi suaminya. Aku tersenyum bahagia jika
melihat ada gadis bugis yang berhasil meraih cita-citanya meski kadang
merasakan perihnya dijuluki perawan tua oleh ibu-ibu penggosip yang hidup
seperti tempurung dalam kelapa karena tak pernah melihat dunia luar.
Dari kecil aku memegang prinsip “Maradeka
Towajoe Adena Napopuang” (
*Artinya secara bebas :maradeka to wajoe –>> bahwa orang wajo itu
merdeka, adena napopuang –>> hanya ade (konstitusi) yang dipertuan.
Wajo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan)
Ketika aku diperhadapkan antara
cinta, cita-cita dan keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat aku ingin
memilih meraih cita-citaku lalu menggapai cinta. Tapi sayang aku tidak bisa
memilih.
Setelah melakukan semua ritual
adat pernikahan aku sudah memutuskan. Keputusanku tak akan bisa berubah lagi.
Hanya aku, Dewantara dan Tuhan yang tahu keputusan yang telah kubuat. Aku sudah
melakukan bagianku sebagai seorang anak dengan mengikuti keinginan kedua orang
tuaku dan sekarang aku ingin mengikuti kata hatiku. Hati yang penuh dengan cinta.
Aku berharap keputusan dan kenekatanku akan menjadi pelajaran bagi banyak
orang. Aku tidak akan menyerahkan keperawananku kepada orang tidak aku cintai
meski dia suamiku sendiri.
######
Aku terus berlari bersama
Dewantara diantara gelapnya malam. Jantungku berdetak dengan kencang. Aku sudah
kelelahan berlari menelusuri hutan hampir dua jam menelusuri hutan. Apa lagi
resepsi pernikahan telah menguras banyak tenagaku. Akhirnya aku dan Dewantara
memutuskan berhenti sejenak.
“Menyerahlah kalian!” teriak seseorang yang kukenal. Itu suara
ayahku. Terdengar lolongan anjing pemburu diantara suara langkah kaki orang
banyak. Aku tidak tahu pasti berapa jumlah orang yang mengejarku dan Dewantara.
Aku menatap Dewantara dalam
ketakutan. Dia hanya tersenyum. Sebuah senyuman pahit. Dia menarik tanganku dan
mengajakku berlari. Kami terus berlari dan dikejar oleh orang sekampung. Rasa
lelahku hilang seketika dan bergantikan ketakutan. Akankah kaki kami berhenti.
Tak ada lagi tanah yang bisa kami pijak. Dihadapan kami berdua menganga sebuah
jurang yang dalam. Aku memalingkan kepalaku ke belakang. Ayahku dan kawanannya
semakin mendekat. Aku kembali menatap Dewantara diantara nafasku yang memburu.
Dewantara memelukku. Pelukan yang
membuatku damai. Aku menatap kilauan badik yang terpantul sinar bulan
digenggaman ayahku yang berjarak beberapa puluh meter dari tempatku dan
Dewantara berdiri.
“Kita sudah mengikrarkan janji setia sehidup semati. Hari ini ikrar itu
akan terkabulkan” ucap Dewantara pelan dan lembut di daun telingaku.
Kami saling bertatapan. Sorot
matanya tak pernah berubah semenjak aku mengenalnya pertama kali. Tatapan yang
selalu dan selalu saja menggetarkan hatiku.
“Tidak ada yang mampu memisahkan kita selain maut karena cinta kuat
seperti maut” balasku.
“Menyerahlah kalian!”
Detik berikutnya aku dan
Dewantara berlari sekuat tenaga sambil berpegangan tangan. Jurang tajam menjadi
saksi bisu kekuatan cintaku kepada Dewantara. Waktu seakan berhenti ketika
melintasi ruang kosong yang menjatuhkan berat badanku. Waktu benar-benar
berhenti ketika tubuhku terhempas di bebatuan raksasa. Tak ada kesempatan lagi
untukku mengucapkan kata cinta. Tak ada penyesalan yang ada sebuah kisah
tragis.
sumber :
http://fiksi.kompasiana.com/group/prosa/2010/08/27/kisah-tragis-gadis-bugis/
Tahukah anda, bahwa hadiah terindah bagi sesama
manusia tak lain adalah KEBEBASAN.
Saur Yuuuuuk,
Doa hari – 14
Yaa Allah! Janganlah. Engkau
hukum aku, karena kekeliruan yang kulakukan. Dan ampunilah aku dari
kesalahan-kesalahan dan kebodohan.
Janganlah Engkau jadikan diriku
sebagai sasaran bala' dan malapetaka dengan kemualian-MU, Wahai Kemulian kaum
Muslimin.
Salam,NV
No comments:
Post a Comment