Aku dan Almarhum Ayah |
Asyik dengan Mainan Baru |
Sebuah Memoar Masa Kanak-kanak
Entah usia berapa aku kala itu, alamarhum
ayahku terlihat sangat muda, seingatku malah sedang sekolah lagi menuntut ilmu
di Sekolah Tinggi Olah Raga (barangkali setara IKIP Jurusan Olah Raga).
Perhatikan mainan yang sedang asyik aku
kutak-katik, sepertinya biasa saja tak ada yang aneh.
Usia anak seumur itu, di manapun juga tentu
hanya bermain dan bisanya hanya meminta “aku mau mainan…………..”
Sungguh tak terbayangkan, disela-sela
kesibukan almarhum mondar-mandir Malang ke Surabaya menuntut ilmu tahun 60an
sebagai guru olah raga yang tentunya berpenghasilan pas-pasan bahkan cenderung
kekurangan masih menyempatkan diri menghadiahkan mainan permintaan anaknya.
Asal tahu saja, mainan-mainan itu bukan dibeli
tapi dibuatnya sendiri hasil karya sebuah kesabaran dari sisa-sisa potongan
papan bekas, digergaji, dibentuk sama-lain lantas dicat warna-warni menjadi
sebuah mainan!
Memang kehidupan saat itu tentu berbeda dengan
masa kini.
Namun siapapun ayah masa kini (ya kita-kita
ini) rasanya lebih mudah membeli dari pada harus bersusah payah “membuat
sendiri”. Mainan anak-anak jaman sekarang tentu juga sangat berbeda dengan masa
kanak-kanakku. Bahkan jauh lebih canggih dimuati aplikasi digital yang harganya
juga tentu tak murah.
Namun esensinya tetap sama, anak seusia itu
hanya mampu “meminta” dan ayah dimanapun akan berusaha menyenangkan anaknya
apapun bentuknya.
10 Oktober 1998 ayahku wafat meninggalkan kita
semua tanpa pernah menyaksikan anak-cucunya menjadi dewasa dan menjalani
kehidupan yang barangkali tak kalah keras semasa beliau hidup.
Kisah berikut ini, meski tak terlalu otentik,
aku persembahkan untuk para ayah yang sangat sabar membesarkan anak-anak
mereka. Segala doa dan harapan baik untuk para ayah yang sangat membanggakan dan
menggetarkan jiwa …………..
Cerita Burung Gagak
Pada suatu petang seorang tua bersama anak mudanya yang baru menamatkan
pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan
suasana di sekitar mereka. Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting
pokok berhampiran. Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak sambil bertanya, "Nak, apakah benda itu?".
"Itu Burung gagak", jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian sekali lagi mengulangi
pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya
tadi lalu menjawab dengan sedikit kuat "Itu
burung gagak, Ayah!"
Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si
anak merasa agak keliru dan sedikit bingung dengan pertanyaan yang sama
diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat, "BURUNG GAGAK!!"
Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekali lagi sang
ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran
dan menjawab dengan nada yang kesal kepada si ayah, "Itu gagaaaaak, Ayaaaaaaah."
Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka
mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar
hilang sabar dan menjadi marah.
"Ayah!!! Saya tak tahu Ayah
paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya
sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan???? Itu
burung gagak, burung gagak, Ayah!" kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah lalu bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang
kebingungan. Sesaat kemudian si ayah keluar lagi dengan sesuatu di tangannya.
Dia mengulurkan sebuah buku tua itu kepada anaknya yang masih geram dan
bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.
"Coba kau baca apa yang
pernah Ayah tulis di dalam buku diary ini," pinta si Ayah.
Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.
"Hari ini aku di halaman
melayani dengan sabar karena anakku yang genap berumur lima tahun mulai banyak bertanya.
Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke
arah gagak dan bertanya, "Ayah, apa itu?" Dan aku menjawab,
"Burung gagak."
Walau bagaimanapun, anakku terus
bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang
sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian dan demi cinta dan sayangnya
aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap hal ini
menjadi suatu pendidikan yang berharga."
Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka
memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu.
Si Ayah dengan perlahan bersuara "Hari
ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak lima kali dan kau telah
hilang sabar serta marah."
Jagalah hati dan perasaan kedua orang tuamu, hormatilah mereka dan sayangilah
mereka sebagaimana mereka menyayangimu di waktu kecil
Saur Yuuuuuk,
Doa hari –
5
Yaa Allah!
Jadikanlah aku diantara orang-orang yang memohon ampunan, dan jadikanlah aku
sebagai hamba-MU yang sholeh dan setia serta jadikanlah aku diantara Auliya'-
MU yang dekat disisi-MU, dengan kelembutan-MU, Wahai dzat Yang Maha Pengasih di
antara semua pengasih.
Salam,
NV
No comments:
Post a Comment