Perjalanan
ke Cairo Mesir
Sekitar
pukul 19 malam waktu Saudi Arabia, kami meninggalkan bandara Medinah.
Pesawat
tinggal landas melalui landasan 18 mengudara ke Selatan dan setelah memperoleh
ketinggian yang cukup untuk menghindari tingginya gunung-gunung batu di sekitar
bandara. Kemudian pesawat berbelok ke arah kanan untuk menuju ke Cairo Mesir.
Sambil berbelok ke arah Barat Laut kami mengitari kota Medinah yang cerah
terang benderang dengan titik pusat Masjid Nabawi yang tampak sangat indah dan
megah dari angkasa pada malam hari ini.
Pesawat
terus naik sampai ketinggian jelajah 40 ribu kaki sambil menerima tekanan angin
dari arah depan (angin Sakal) yang mencapai 180 s/d 200 km per jam. Penerbangan
ke Cairo akan memakan waktu sekitar 1 jam 43 menit.
Mesir
terletak di Afrika sebelah Utara di tepi Laut Tengah (Mediterania) yang
menghubungkan benua Afrika dengan Asia yakni semenanjung Sinai yang
menghubungkan Mesir dengan Asia Barat. Mesir berbatasan dengan Laut Merah,
Yordania, Jalur Gaza dan Israel di sebelah Timur, Sudan dibagian Selatan dan
Libya di sebelah Barat.
Mesir
merupakan salah satu negara berpenduduk terpadat di Afrika dan Timur Tengah.
Beberapa suku bangsa menjadi mayoritas, misalnya; bangsa Berber, Nubian,
Bedouin, Beja, Yunani, Armenia dan Eropa lainnya. Sebagian besar penduduk
terpusat di sepanjang Sungai Nil yang subur, daerah perkotaan Cairo dan
Alexandria.
Luas
wilayahnya sekitar 1.002.450 km2 dengan populasi 84 juta (data 2012) dimana
lebih dari 45 juta penduduk bertempat tinggal di Cairo dan Giza sehingga Cairo
juga disebut the Great Cairo. Mayoritas penduduk beragama Islam (90%) sisanya
Koptik (Kristen Ortodoks) dan Kristen. Selain berbahasa Arab, mayoritas
penduduk berbahasa asing Inggris dan Perancis.
Cairo
sebagai ibu kota Mesir merupakan sebuah kota yang cantik dan kaya akan daya
tarik monumen bersejarah, misalnya saja, Piramid di Giza, Patung Sphinx. Kota
Luxor dengan kuil Karnak, lembah raja-raja dan Aswan. Lalu kota Alexandria yang
indah di laut Tengah.
Namun
keindahan Mesir pada tahun-tahun belakangan ini selalu diwarnai gejolak politik
dan kerusuhan sosial dalam negeri.
Sebenarnya
situasi dalam negeri Mesir dapat dibagi menjadi 2 periode, yakni sebelum dan
sesudah Revolusi 25 Januari 2011. Revolusi rakyat Mesir 25 Januari yang
mengakhiri kekuasaan Presiden Mubarak selama lebih dari 30 tahun (1981 sd 2011)
menjadi sebuah awal proses transformasi tatanan politik Mesir.
Sebelumnya,
sekitar 2003 sebuah gerakan Kefaya atau Gerakan Mesir untuk Perubahan, diluncurkan
untuk menentang rezim Mubarak dan untuk menegakkan demokrasi serta kebebasan
rakyat.
Sebenarnya
Presiden Mubarak sudah pernah memberikan rakyat untuk memilih lebih dari satu
calon Presiden namun berbagai persyaratan dan tuduhan kecurangan justru menyulut
ketidak-puasan sehingga terjadi Revolusi 25 Jan 2011.
Pada
tanggal 11 Februari 2011 merupakan hari bersejarah ketika secara resmi Mubarak
mengundurkan diri dan meninggalkan Cairo sehingga secara de facto kekuasaan
pemerintahan sementara dipegang oleh Supreme Council of the Armed Forces yang
dipimpin oleh Mohamed Hussein Tantawi.
Kemudian
menyusul Parlemen baru dipilih dan 8 Juli 2012, Mohamed Morsi diangkat sebagai
Presiden baru Mesir. Namun kehidupan politik dan sosial masih terus bergolak
dari para demontran dan pihak oposisi pemerintah yang baru.
Berhentinya
kegiatan perekonomian selama Revolusi 25 Jan 2011 dan pemberlakuan jam malam
menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat parah dan menjauhnya para investor
dari Mesir.
Sehubungan
itu ada 3 langkah strategis yang dilakukan pemerintah;
1.
Menjamin ketersediaan bahan kebutuhan pokok bagi rakyat Mesir
2. Memberikan subsidi sektor produksi dan
kemudahan cukai serta pajak bagi para produsen.
3. Menempuh berbagai upaya untuk mengembalikan
kepercayaan dunia terhadap ekonomi Mesir.
Bagaimanapun
juga, faktor jumlah penduduk, sejarah, kekuatan militer, posisi geografis yang
strategis menjadi Mesir sebagai "key player" di kawasan Timur Tengah.
Sudah
sejak awal, negara Mesir sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan
Indonesia, bersahabat sangat baik dengan Indonesia hingga kini.
Presiden
Mesir, Gamal Abdel Nasser merupakan salah satu pelopor Gerakan Non-Blok (GNB),
Mesir juga sangat aktif mempertemukan Asia dengan hubungan multi-lateral G-15,
D-8 dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Cairo
menjadi tuan rumah sidang OKI pada tahun ini, namun konon beberapa negara telah
menyampaikan penyesalannya absen dengan berbagai alasan pada sidang tsb.
Bandara
Internasional Heca di Cairo merupakan bandara yang besar dan sibuk yang
dilengkapi 3 landasan paralel, landasan 23/05 Left, Center dan Right.
Pesawat
mendarat sangat mulus di landasan 23R yang panjangnya 3.300 meter pada pukul
20:24 waktu setempat (GMT+2). Suhu rata-rata di Cairo 12 sd 20 derajat Celsius,
lumayan sejuk yang mengikuti suhu Eropa dengan kelembaban udara yang sangat
kering.
Kami
menginap hanya semalam di sebuah hotel mewah di kawasan mewah Heliopolis.
Meskipun
kurang tidur, pagi-pagi benar kami keluar hotel menyempatkan waktu yang ada
untuk melihat-lihat kota Cairo dan sekitarnya.
Rumah-rumah
di Cairo mayoritas berwarna coklat kusam berdebu namun interior di dalamnya
biasanya didisain sangat mewah. Begitulah, sepertinya orang Cairo mempunyai
motto "Inner Beauty" cantik di dalam lebih penting dari penampilan
luar.
Ada sebuah
kawasan di dalam kota Cairo disebut The City of the Death dengan luas area yang
memanjang sekitar 15 km peninggalan Sayidina Husein (Cucu nabi Muhamad SAW?)
yang dipergunakan sebagai lokasi "pelarian" ke Mesir. Wilayah ini
kemudian secara turun-temurun dijadikan tempat tinggal sekaligus kuburan
keluarga. Dengan berjalannya waktu, kini wilayah ini menjadi kuburan-kuburan
tua yang sebagian masih berbentuk rumah dan dijadikan kuburan keluarga sehingga
disebut the City of the Death. Ketika belakangan harga tanah di Cairo semakin
mahal maka sebagian dari rumah-rumah kuburan dialih fungsikan menjadi warung,
kafe dan rumah penginapan meskipun kawasan ini lebih menyerupai daerah bekas
perang pengeboman yang berpenampilan reruntuhan rumah-rumah.
Sepanjang
jalan ke the City of the Death ada dinding berlubang serupa benteng yang
disebut Dinding Citadel. Dinding tsb selain sebagai benteng wilayah Citadel
pada jaman dahulu, juga dahulu di bagian atas dinding dijadikan saluran irigasi
dimana air dari sungai Nil dipompa ke atas untuk dialirkan ke area Citadel.
Dinding Citadel masih kokoh berdiri hingga kini namun saluran irigasinya sudah
tak berfungsi karena pompa-pompa air peninggalan kuno tsb tidak dipelihara secara
baik.
Sungai Nil
memang menjadi urat nadi kehidupan bangsa Mesir. Sungai besar ini memiliki
cabang-cabang kecil yang berada di tengah kota Cairo. Pasang-surut sungai Nil
membentuk daratan-daratan di tengahnya. Pulau-pulau kecil tsb oleh pemerintah
dijadikan tempat pertanian rakyat untuk bercocok tanam sayur mayur, gandum,
padi dan buah-buahan sampai tanaman keras untuk kebutuhan bahan pangan
setempat.
Kami
menyusuri jalanan kota tua Cairo yang sepeninggal Raja Firaun diduduki oleh
Yunani sehingga sebagian besar penamaan tempat Mesir mempergunakan bahasa
Yunani.
Setelah
jembatan panjang menyeberangi sungai Nil maka kami memasuki wilayah Giza. Giza
merupakan daerah yang dihuni oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Agak
berbeda dengan perumahan di Heliopolis, rumah-rumah di Giza kebanyakan dibuat
bertingkat dengan dinding bata telanjang tanpa cat. Mereka membangun rumah
bertingkat dan siap dinaikkan ke atas (bertingkat 3, 4, 5 sesuai kebutuhan)
menyesuaikan jumlah anak (anggota keluarga) karena harga tanah yang mahal di
daerah Cairo. Orang menyebutnya sebagai the Progress Houses karena
pembangunannya dicicil secara bertahap.
Kami
memasuki wilayah kuno Giza dimana terletak the Great Pyramid.
Piramid Giza terdiri dari 3 piramid. Piramid
terbesar adalah Piramid Kufu yang dibangun selama 20 tahun oleh raja Kufu
sekitar 4.500 tahun silam dengan ketinggian piramid 148,8 m. Piramid ini
dibangun dengan susunan batu-batu granit berkualitas yang didatangkan dari
daerah Luxor Aswan kurang lebih sejumlah 5,9 juta potongan batu yang
masing-masing mencapai berat 1 sd 3 ton. Terlalu rumit untuk membayangkan
proses pemotongan dan pengiriman batu-batu tsb dari Luxor Aswan sampai ke
daerah Giza pada jaman itu. Jika dikalkulasi secara rata-rata para tukang potong
batu jaman itu memproduksi lebih kurang 800 batu per hari.
Sebelahnya
ada Piramid Kufru, anak dari raja Kufu dan sebelahnya lagi ada piramid yang
agak kecil dibangun oleh cucu raja Kufu.
Sambil
turun dari perbukitan piramid, kami mampir ke sebuah area dimana berdiri sebuah
Spinx yang dahulunya tertimbun tanah.
Gambaran
umum wilayah wisata kota tua di Giza maupun di Cairo kurang terawat dengan
baik. Masyarakat setempat sepertinya tak peduli kebersihan lingkungan dan
potensi kekayaan situs-situs peninggalan para leluhur. Mereka cenderung
memanfaatkan situs-situs tsb untuk tujuan keuntungan ekonomi sesaat demi
memperoleh tambahan uang tanpa mengindahkan situs-situs itu sendiri sehingga
kebanyakan situs di Mesir "dirawat" oleh UNESCO.
Debu,
kotoran dan kencing Onta dibiarkan begitu saja menimbulkan bau kurang sedap dan
tentu dapat menimbulkan penyakit. Bahkan ada ketentuan tak tertulis yang
berlaku di sini bahwa "Setiap Dinding adalah Toilet" menjadikan
banyak orang kencing di sembarang tempat.
Tour Guide
kami memberikan peringatan agar tidak mudah "diperas" oleh orang
Mesir terutama di area wisata atau di jalanan. Mereka sering pura-pura
menawarkan sesuatu atau bantuan yang akhirnya hanya untuk minta uang.
Bahkan ada
sebuah anekdot, seorang joki Onta menawarkan dirinya dengan pakaian adat
setempat untuk dipotret secara gratis. Belakangan, setelah dipotret, ia meminta uang jasa yang awalnya gratis tsb,
katanya "potret dengan saya memang gratis tapi Onta saya perlu makan
juga"
Begitulah,
segala cara ditempuh untuk bertahan hidup bagi sebagian besar rakyat Mesir.
Jadi jika
bertemu penduduk setempat yang pura-pura membantu sebaiknya sampaikan saja
"Lak, Syukron .... No, thank you".
Sayangnya,
tak banyak waktu tersisa untuk menjelajahi kota Cairo ......
Cairo Mesir,
6 Februari 2013
Salam
hangat,
NV