Perjalanan
ke Monrovia Liberia DAY 2
Antara
terbangun dan ingin tidur, aku isi waktu dengan menuliskan cerita ini.
Situasi
keamanan di Liberia secara umum masih mengandung kerawanan, sehingga kami agak
berhati-hati bepergian meninggalkan hotel tempat menginap.
Liberia
mengalami perang saudara selama 14 belas tahun 1989 - 2003 dan telah menjalani
transisi pemerintahaan selama 2 tahun. Akhir tahun 2005, Liberia melaksanakan
Pemilu Legislatif dan presiden secara demokratis. Presiden Ellen
Johnson-Sirleaf terpilih sebagai wanita pertama yang menjadi kepala negara di
Afrika.
Pada tahun
2005, Liberia memiliki tingkat pengangguran 85%, terburuk di dunia. Namun
selama 2 periode kepemimpinannya hingga sekarang, Presiden Sirleaf telah
membawa Liberia kedalam situasi aman yang relatif stabil, meskipun masih
terdapat kantung-kantung wilayah tertentu yang kurang aman. Pada 8 tahun
pemerintahannya, Liberia mengalami perbaikan ekonomi yang sangat baik,
pertumbuhan ekonomi tahun 2011 tercatat 6,9% dan prediksi tahun 2012 mencapai
8,8%. Disamping itu tingkat inflasi juga menurun dari 17,5% tahun 2011 menjadi
7,3% tahun 2012.
Liberia
juga merupakan negara terbesar kedua setelah Panama dalam hal registrasi kapal
laut (ship registry). Banyak kapal laut asal negara lain yang didaftarkan
registrasinya dibawah bendera Liberia antara lain untuk menghindari hukum
nasional setempat dengan tujuan mendapat keringanan biaya operasional dan upah
awak kapal yang rendah.
Mata uang
Liberia adalah Liberian Dollar (LRD) dimana 1 USD setara 70 LRD. Namun dalam
perdagangan sehari-hari mata US Dollar lebih banyak dipergunakan.
Ibu kota
Monrovia terletak di bagian Utara pantai Liberia, di negara bagian Montserrado
County, tepatnya di tanjung Cape di hulu sungai Mesurado. Berpenduduk sekitar 1
juta jiwa.
Sambil
makan siang, kami jalan-jalan melihat suasana kota Monrovia.
Benar-benar
sebuah kota yang bersahaja untuk tidak menyebutnya sebagai tertinggal.
Toko-toko di pusat kota tak ubahnya toko-toko di wilayah kota kecil atau
pedesaan di Indonesia. Tak ada mall atau pusat perbelanjaan, barangkali
satu-satunya toko besar hanyalah super market toko swalayan sekelas Alfamidi.
Sasaran
untuk mencari piring souvenir khas Liberia menjadi sirna karena memang tak ada
toko yang menjualnya. Meskipun tak banyak penjual kaki lima namun banyak juga
penjaja keliling perorangan menawarkan berbagai dagangan, misalnya sepatu
sport, T Shirt, handuk, makanan kecil dll.
Aku juga
tak melihat hotel jaringan internasional di ibu kota Liberia ini. Kebanyakan
hotel bernama dan berhuruf Cina karena tampaknya memang milik investor Cina.
Kalaupun
ada bangunan gedung agak megah, umumnya kantor United Nations atau kantor
Kedutaan Asing.
Beberapa
barang import terbilang tidak murah. Sebagai contoh, gantungan kunci berlambang
bendera Liberia dihargai cukup mahal USD 5 per buah, sebuah Televisi LCD ukuran
32 inci bukan bermerk Jepang atau Korea dibaderol USD 500. Sebuah apartment
satu kamar ditarik tarip USD 1.200-1.500 per bulan. Hotel yang kami tempati
barangkali sekelas bintang 2 atau 3 tapi bertarip USD 200 sd USD 350 semahal
Grand Hyatt di Jakarta!
Sementara
itu dalam bincang-bincang dengan seorang Polisi Lalu-Lintas mengaku digaji hanya
USD 50 per bulan itupun kadangkala gajinya ditangguhkan beberapa bulan
kemudian. Sedangkan perkiraan pegawai UN di seluruh Liberia berjumlah 15 ribu
orang yang tentu kebanyakan asing (termasuk WNI) yang tentunya digaji sesuai
standar gaji UN.
Ada pasar
Waterside Market yang merupakan salah satu pasar terbesar di Monrovia yang
terkenal sebagai pusat perdagangan tekstil dan barang kerajinan, namun sesuai
bisik-bisik dengan pegawai United Nations menyarankan untuk tidak mengunjungi
pasar itu karena rawan pencopetan.
Namun
berita gembiranya, aku berhasil memperoleh bahan kain "batik" lokal
motif Liberia dengan harga sangat murah.
Rasanya
aku akan meninggalkan kota Monrovia dengan rasa trenyuh namun sekaligus
mensyukuri betapa nikmat dan terasa mewah hidup di Indonesia.
Monrovia,
1 Februari 2013
Salam
hangat,NV
CATATAN:
Ada beberapa sahabat yang bertanya
"mengapa harus ke Monrovia Liberia yang lebih terdengar sebagai negara
-miskin-"?
Terus terang saja, aku sebenarnya tidak
kompeten dan tidak dalam posisi untuk menjelaskan tujuan perjalanan ini. Lagi
pula kisah ini agar dibatasi saja sebagai kisah perjalanan pelancongan wisata
biasa.
Namun memang sulit untuk dipungkiri, tentu
banyak pertanyaan seputar tujuan dan alasan penerbangan ini yang sebenarnya
menjadi ranah media pers di Indonesia.
Sebagai pribadi aku mohon ijin sharing sbb;
Berdasarkan catatan Kementrian LN RI, nilai
perdagangan RI dan Liberia tahun 2011 mencapai USD 30,9 juta. Nilai ekspor
Liberia ke Indonesia tercatat USD 21,1 juta yang didominasi oleh komoditas
besi, baja, kapal, perahu dan floating structures. Sedangkan ekspor Indonesia
ke Liberia hanya USD 9,8 juta didominasi oleh produk sabun, pelumas, lilin,
minyak, lemak hewani dan nabati. Pada periode Januari - Juli 2012, nilai total
perdagangan mencapai USD 16,8 juta atau meningkat 67% dibandingkan periode yang
sama tahun 2011 (USD 10,1 juta) dengan surplus di pihak Indonesia ke Liberia
sebesar USD 15,3 juta.
Setidaknya ada 2 perusahaan swasta Indonesia
yang berinvestasi di Liberia pada sektor perkebunan Kelapa Sawit yaitu PT
Sinarmas dengan konsesi 240.000 hektar dan PT SMART yang bermitra dengan Golden
Veroleum Liberia dengan total konsesi 500.000 hektar.
Selanjutnya ada potensi kerja-sama teknik
pertanian dan perikanan serta pembangunan UKM yang juga menjadi expertise
Indonesia untuk ditawarkan.
Lebih lanjut, adanya Panel Tinggi Penyusun
Program Pasca MDG's (Millenium Development Goals) 2015 atau High Level Panel on
Post (HLP) 2015 yang dibentuk PBB yang bertujuan untuk menyusun masukan dan
rekomendasi strategi pembangunan dunia di masa datang setelah periode MDG
berakhir 2015, khususnya masalah pengentasan kemiskinan. Diharapkan
program-program baru pasca MDG's 2015 dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara
karena panel tertinggi yang membahas program itu beranggotakan perwakilan dari
negara maju dan negara berkembang.
HLP beranggotakan 27 anggota ini diketuai
secara bersama oleh Presiden Liberia Ellen Johson Sirleaf, Perdana Menteri
Inggris David Cameron dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara itu 24 anggota panel lainnya
terdiri dari tokoh-tokoh dunia dari kalangan pemerintahan, bisnis maupun
masyarakat sipil yang memiliki perhatian besar pada agenda pembangunan global.
Tokoh-tokoh tsb antara lain; Ratu Rania dari Yordania, Horst Kohler mantan
Presiden Jerman, Emillia Pires menteri Keuangan Timor-Leste, Patricia Espinosa
Menlu Meksiko, Yaman Tawakel Karman wartawati dan aktifis HAM Yaman, Naoto Kan
PM Jepang, Graca Machel aktivis Afsel, Paul Polman CEO Unilever dan tokoh dunia
lainnya.
Pertemuan di Monrovia Liberia, merupakan
pertemuan ketiga setelah pertemuan HLP pertama di New York bulan September 2012
dan pertemua kedua di London November 2012 yang lalu. Pertemuan keempat
direncanakan akan dilaksanakan di Bali tahun 2013 ini yang diharapkan menjadi
pertemuan akhir untuk menyusun laporan akhir HLP untuk kemudian diserahkan ke
Sekjen PBB Mei 2013.
Untuk diketahui, perjalanan ini juga diikuti
oleh beberapa Pemimpin Redaksi dan wartawan cetak, elektronik maupun Televisi
yang sebenarnya lebih layak menyampaikan penjelasan diatas.
Semoga saja penjelasan diatas dapat
memberikan gambaran umum mengenai tujuan perjalanan ini.
Monrovia, Liberia 2 Februari 2013
Salam hangat,NV
No comments:
Post a Comment