Friday, February 8, 2013

Perjalanan ke Monrovia Liberia DAY 2



Perjalanan ke Monrovia Liberia DAY 2
 
Sulit benar untuk tidur di malam hari karena adanya perbedaan waktu. Tengah malam waktu Monrovia adalah pagi hari Waktu Indonesia Barat.

Antara terbangun dan ingin tidur, aku isi waktu dengan menuliskan cerita ini.

Situasi keamanan di Liberia secara umum masih mengandung kerawanan, sehingga kami agak berhati-hati bepergian meninggalkan hotel tempat menginap.

Liberia mengalami perang saudara selama 14 belas tahun 1989 - 2003 dan telah menjalani transisi pemerintahaan selama 2 tahun. Akhir tahun 2005, Liberia melaksanakan Pemilu Legislatif dan presiden secara demokratis. Presiden Ellen Johnson-Sirleaf terpilih sebagai wanita pertama yang menjadi kepala negara di Afrika.

Pada tahun 2005, Liberia memiliki tingkat pengangguran 85%, terburuk di dunia. Namun selama 2 periode kepemimpinannya hingga sekarang, Presiden Sirleaf telah membawa Liberia kedalam situasi aman yang relatif stabil, meskipun masih terdapat kantung-kantung wilayah tertentu yang kurang aman. Pada 8 tahun pemerintahannya, Liberia mengalami perbaikan ekonomi yang sangat baik, pertumbuhan ekonomi tahun 2011 tercatat 6,9% dan prediksi tahun 2012 mencapai 8,8%. Disamping itu tingkat inflasi juga menurun dari 17,5% tahun 2011 menjadi 7,3% tahun 2012.

Liberia juga merupakan negara terbesar kedua setelah Panama dalam hal registrasi kapal laut (ship registry). Banyak kapal laut asal negara lain yang didaftarkan registrasinya dibawah bendera Liberia antara lain untuk menghindari hukum nasional setempat dengan tujuan mendapat keringanan biaya operasional dan upah awak kapal yang rendah.

Mata uang Liberia adalah Liberian Dollar (LRD) dimana 1 USD setara 70 LRD. Namun dalam perdagangan sehari-hari mata US Dollar lebih banyak dipergunakan.

Ibu kota Monrovia terletak di bagian Utara pantai Liberia, di negara bagian Montserrado County, tepatnya di tanjung Cape di hulu sungai Mesurado. Berpenduduk sekitar 1 juta jiwa.

Sambil makan siang, kami jalan-jalan melihat suasana kota Monrovia.

Benar-benar sebuah kota yang bersahaja untuk tidak menyebutnya sebagai tertinggal. Toko-toko di pusat kota tak ubahnya toko-toko di wilayah kota kecil atau pedesaan di Indonesia. Tak ada mall atau pusat perbelanjaan, barangkali satu-satunya toko besar hanyalah super market toko swalayan sekelas Alfamidi.

Sasaran untuk mencari piring souvenir khas Liberia menjadi sirna karena memang tak ada toko yang menjualnya. Meskipun tak banyak penjual kaki lima namun banyak juga penjaja keliling perorangan menawarkan berbagai dagangan, misalnya sepatu sport, T Shirt, handuk, makanan kecil dll.

Aku juga tak melihat hotel jaringan internasional di ibu kota Liberia ini. Kebanyakan hotel bernama dan berhuruf Cina karena tampaknya memang milik investor Cina.

Kalaupun ada bangunan gedung agak megah, umumnya kantor United Nations atau kantor Kedutaan Asing.

Beberapa barang import terbilang tidak murah. Sebagai contoh, gantungan kunci berlambang bendera Liberia dihargai cukup mahal USD 5 per buah, sebuah Televisi LCD ukuran 32 inci bukan bermerk Jepang atau Korea dibaderol USD 500. Sebuah apartment satu kamar ditarik tarip USD 1.200-1.500 per bulan. Hotel yang kami tempati barangkali sekelas bintang 2 atau 3 tapi bertarip USD 200 sd USD 350 semahal Grand Hyatt di Jakarta!

Sementara itu dalam bincang-bincang dengan seorang Polisi Lalu-Lintas mengaku digaji hanya USD 50 per bulan itupun kadangkala gajinya ditangguhkan beberapa bulan kemudian. Sedangkan perkiraan pegawai UN di seluruh Liberia berjumlah 15 ribu orang yang tentu kebanyakan asing (termasuk WNI) yang tentunya digaji sesuai standar gaji UN.

Ada pasar Waterside Market yang merupakan salah satu pasar terbesar di Monrovia yang terkenal sebagai pusat perdagangan tekstil dan barang kerajinan, namun sesuai bisik-bisik dengan pegawai United Nations menyarankan untuk tidak mengunjungi pasar itu karena rawan pencopetan.

Namun berita gembiranya, aku berhasil memperoleh bahan kain "batik" lokal motif Liberia dengan harga sangat murah.

Rasanya aku akan meninggalkan kota Monrovia dengan rasa trenyuh namun sekaligus mensyukuri betapa nikmat dan terasa mewah hidup di Indonesia.

Monrovia, 1 Februari 2013
Salam hangat,
NV

CATATAN:

Ada beberapa sahabat yang bertanya "mengapa harus ke Monrovia Liberia yang lebih terdengar sebagai negara -miskin-"?

Terus terang saja, aku sebenarnya tidak kompeten dan tidak dalam posisi untuk menjelaskan tujuan perjalanan ini. Lagi pula kisah ini agar dibatasi saja sebagai kisah perjalanan pelancongan wisata biasa.

Namun memang sulit untuk dipungkiri, tentu banyak pertanyaan seputar tujuan dan alasan penerbangan ini yang sebenarnya menjadi ranah media pers di Indonesia.

Sebagai pribadi aku mohon ijin sharing sbb;

Berdasarkan catatan Kementrian LN RI, nilai perdagangan RI dan Liberia tahun 2011 mencapai USD 30,9 juta. Nilai ekspor Liberia ke Indonesia tercatat USD 21,1 juta yang didominasi oleh komoditas besi, baja, kapal, perahu dan floating structures. Sedangkan ekspor Indonesia ke Liberia hanya USD 9,8 juta didominasi oleh produk sabun, pelumas, lilin, minyak, lemak hewani dan nabati. Pada periode Januari - Juli 2012, nilai total perdagangan mencapai USD 16,8 juta atau meningkat 67% dibandingkan periode yang sama tahun 2011 (USD 10,1 juta) dengan surplus di pihak Indonesia ke Liberia sebesar USD 15,3 juta.

Setidaknya ada 2 perusahaan swasta Indonesia yang berinvestasi di Liberia pada sektor perkebunan Kelapa Sawit yaitu PT Sinarmas dengan konsesi 240.000 hektar dan PT SMART yang bermitra dengan Golden Veroleum Liberia dengan total konsesi 500.000 hektar.

Selanjutnya ada potensi kerja-sama teknik pertanian dan perikanan serta pembangunan UKM yang juga menjadi expertise Indonesia untuk ditawarkan.

Lebih lanjut, adanya Panel Tinggi Penyusun Program Pasca MDG's (Millenium Development Goals) 2015 atau High Level Panel on Post (HLP) 2015 yang dibentuk PBB yang bertujuan untuk menyusun masukan dan rekomendasi strategi pembangunan dunia di masa datang setelah periode MDG berakhir 2015, khususnya masalah pengentasan kemiskinan. Diharapkan program-program baru pasca MDG's 2015 dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara karena panel tertinggi yang membahas program itu beranggotakan perwakilan dari negara maju dan negara berkembang.

HLP beranggotakan 27 anggota ini diketuai secara bersama oleh Presiden Liberia Ellen Johson Sirleaf, Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara itu 24 anggota panel lainnya terdiri dari tokoh-tokoh dunia dari kalangan pemerintahan, bisnis maupun masyarakat sipil yang memiliki perhatian besar pada agenda pembangunan global. Tokoh-tokoh tsb antara lain; Ratu Rania dari Yordania, Horst Kohler mantan Presiden Jerman, Emillia Pires menteri Keuangan Timor-Leste, Patricia Espinosa Menlu Meksiko, Yaman Tawakel Karman wartawati dan aktifis HAM Yaman, Naoto Kan PM Jepang, Graca Machel aktivis Afsel, Paul Polman CEO Unilever dan tokoh dunia lainnya.

Pertemuan di Monrovia Liberia, merupakan pertemuan ketiga setelah pertemuan HLP pertama di New York bulan September 2012 dan pertemua kedua di London November 2012 yang lalu. Pertemuan keempat direncanakan akan dilaksanakan di Bali tahun 2013 ini yang diharapkan menjadi pertemuan akhir untuk menyusun laporan akhir HLP untuk kemudian diserahkan ke Sekjen PBB Mei 2013.

Untuk diketahui, perjalanan ini juga diikuti oleh beberapa Pemimpin Redaksi dan wartawan cetak, elektronik maupun Televisi yang sebenarnya lebih layak menyampaikan penjelasan diatas.

Semoga saja penjelasan diatas dapat memberikan gambaran umum mengenai tujuan perjalanan ini.

Monrovia, Liberia 2 Februari 2013
Salam hangat,
NV

No comments:

Post a Comment