Tuhan
Nan Egaliter
Jakarta 10 Desember 2012
Semoga
bermanfaat.
NV
Tuhan
Nan Egaliter
Majalah
Tempo, 2 Des 2012. Rohman Budijanto, Wartawan Jawa Pos.
ORANG
Indonesia seperti berteman dengan Tuhan. Untuk menyebut Sang Pencipta, tak
dipakai bahasa penghormatan khusus. Ketika sedang membicarakan Tuhan, kita
cukup menyebutnya Dia atau -Nya. Tak perlu sebutan dengan bahasa yang lebih
“tinggi”, seperti Beliau. Yang membedakan Tuhan dengan orang adalah kata
gantinya yang diawali huruf besar.
Ketika
kita berbicara langsung dengan Tuhan pun, kita berbicara dengan akrab. Kita
menyebut-Nya dengan Kau, -Mu, atau Engkau. Tidak dengan bahasa yang meraja,
misalnya Tuan atau Paduka. Padahal, dengan orang yang kita hormati, kita
menyebut dengan ungkapan spesial, “Anda”.
Sangat
unik, karena kita mempunyai tradisi awalan “Anda” sebagai kata ganti orang
kedua dengan huruf besar, “A” (mirip huruf awal kata ganti Tuhan). Anehnya,
“Anda” tak pernah digunakan untuk kata ganti Tuhan. Tak pernah ada ungkapan,
misalnya, “Syukurlah, Anda telah mengabulkan doaku”, tapi “Syukurlah, Kau
kabulkan doaku”. Kebetulan pula “Anda” memang menunjukkan penghormatan tapi
mengandung ketidakakraban. Ada jarak psikologis di antara kedua belah pihak
yang berinteraksi dengan kata “Anda”.
Penggunaan
huruf kapital untuk kata ganti pihak kedua atau ketiga memang tidak dominan
milik Tuhan. Banyak contoh untuk ini, antara lain: “Mau ke mana, Bang?”,
“Silakan Bapak datang sendiri”, “Boleh ambil sendiri, Bu”, “Jangan begitu,
Mas!”, “Jangan begitu, Pak”, “Hatiku hanya untukmu, Dik”, “Mohon dijawab, Pak
Guru”. Semua kata ganti orang itu diawali huruf kapital, tapi mereka bukan
Tuhan.
Tak
hanya dalam kata ganti diri, untuk menyebut posisi kita terhadap Tuhan pun
sangat akrab. Ketika orang meninggal, doa standarnya adalah “Semoga mendapat
tempat yang layak di sisi-Nya”. Disebut di situ “di sisi” Tuhan. Bukan,
misalnya, di bawah duli Tuhan atau depan kaki Tuhan. Tapi kita ingin posisi
lebih dekat dan egaliter, yakni “di sisi” Tuhan.
Ada
posisi yang bahkan lebih dekat daripada sisi. Ekspresi kedukaan kadang
disampaikan dengan “Dia telah kembali ke haribaan-Nya”. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata “haribaan” dirujukkan ke kata “me-riba” (artiya
memangku) atau “riba-an” (artinya pangkuan). Kita menganggap Tuhan seakrab ayah
atau ibu yang memangku anaknya yang manja.
Dalam
tradisi Kristiani ada sebutan pembeda yang unik. Kata “ayah” dipadankan dengan
“bapak”. Tapi, untuk Tuhan, disebut “Bapa”. Penyebutan “Bapa” ini juga berlaku
untuk pemuka agama, misal Paus disebut “Bapa Suci”. Tapi, entah kenapa, Tuhan
tak disebut Ayah. Boleh jadi karena “ayah” identik dengan hubungan biologis
dengan anak, sedangkan “bapa(k)” dalam bahasa Indonesia bisa digunakan pada
setiap lelaki yang dihormati.
Tapi
bahasa Indonesia, yang tak mengenal jenis kelamin kata, karena itu lebih akurat
dalam menyebut Tuhan. Baik Dia, Engkau, -Nya, maupun -Mu tak berjenis kelamin
tertentu. Bahasa Inggris lebih tak netral dalam menyebut kata ganti Tuhan,
karena menyebut-Nya Him (bukan Her). Bahasa Inggris tak bisa mengelak dari
imajinasi bahwa Tuhan itu lelaki. Begitu pula bahasa Jerman menyebut-Nya Der
Gott, Prancis De Dieu, keduanya maskulin.
Bahasa
Indonesia yang karib dengan Tuhan ini bisa jadi disebabkan bahasa ini tak
mengenal tingkatan berbahasa. Sifat kesederajatan atau egalitarianisme ini pun
terbawa saat mengekspresikan hubungan sakral dengan Tuhan. Sampai-sampai kita
tak menyadari betapa “tidak sopan” sebenarnya ketika kita ber-Kamu, ber-Dia,
ber-Engkau, ber-Nya, atau ber-Mu kepada Zat yang Mahatinggi itu. Dan
terlupakanlah bahasa yang “lebih sopan” bagi Tuhan, seperti Beliau, Baginda,
dan Tuan.
Meski
karib secara bahasa dengan Tuhan, bahasa Indonesia tetap tak bisa dibilang
kurang ajar. Banyak ungkapan penghormatan khusus, yang sifatnya bukan kata
ganti, tapi diperuntukkan bagi Tuhan. Misalnya, “firman” digunakan sebagai
pengganti ucapan Tuhan. Bila disebut “firman”, itu berarti ucapan Tuhan. Kata
“firman” lebih tinggi derajatnya daripada kata, ucapan, titah, atau sabda.
Bahasa
Indonesia juga punya ungkapan lain yang khusus terkait dengan Tuhan, yakni
“hadirat”. Seseorang yang meninggal biasanya disebut “kembali ke hadirat
Ilahi”. Kata “hadirat” yang menurut KBBI berarti “hadapan” ini hanya khas untuk
Tuhan. Di hadirat Ilahi inilah kita biasanya menyungkurkan diri sebagai “hamba”
atau abdullah, budak Tuhan.
Kalau
hadirat terkesan tidak akrab, ungkapan lain dalam momen-momen ilahiah lebih akrab.
Seperti ketika seseorang meninggal, maka disebut “berpulang” atau “dipanggil
Tuhan”. Alangkah mesranya ungkapan itu bagi kematian yang menyedihkan. Kita
merasa kepergian abadi itu seperti “pulang” atau kembali ke rumah asal, karena
si Tuan Rumah “memanggil”.
Ada
pula awalan yang didedikasikan untuk Tuhan, yakni “maha”. Penggunaannya pasti
merujuk kepada Tuhan kalau terkait dengan hal-hal yang agung, semisal
Mahabesar, Mahasuci, Mahacerdas, Mahatahu, dan Mahaesa. Memang ada “maha” yang
tak terkait dengan sifat ketuhanan, misalnya mahasiswa atau mahasantri. Pernah
pengajar mahasiswa dijuluki “mahaguru”, tapi ungkapan ini tak populer, karena
kata itu membuat risi, ada kesan menyamai Tuhan, yang juga bisa disebut Sang
Mahaguru. Karena itulah para profesor cukup puas disebut guru besar.
Bahasa
Indonesia juga mengakui Tuhan sebagai Maharaja. Tapi kadang-kadang sifat
egaliternya muncul lagi dalam menyerap konteks ketuhanan dari bahasa asing.
Kita tengok ayat yang favorit dalam Al-Quran, Ayat Kursi. Memang kata “kursi”
berasal dari bahasa Arab “kursiy”. Tapi, dalam bahasa Indonesia, kursi diserap
jadi bahasa generik untuk tempat duduk (juga kedudukan) atau tempat duduk yang
kastanya paling rendah. Sangat layak kalau Ayat Kursi itu diterjemahkan sebagai
Ayat Singgasana atau Ayat Takhta, karena konteksnya “kekuasaan Tuhan meliputi
langit dan bumi”.
Relasi
manusia Indonesia dengan Tuhan dalam berbahasa sangat unik. Dalam banyak
ekspresi, Tuhan disikapi egaliter, meski tak kehilangan rasa sebagai makhluk
kecil terhadap Ilahi yang Akbar.
No comments:
Post a Comment