Pengamanan Bandara di Indonesia
Sungguh malu
ketika seorang WNI mendarat di Bandara Miami-Florida-USA, ...terpampang sebuah
poster pengumuman dari "Homeland Security Dept" tentang "Bandara
Ngurah Rai Denpasar"
Warga
Indonesia yg sdg berkunjung di Miami tsb sempat memfoto poster dan mengirimnya
keberbagai redaksi "media cetak"..
"Passenger
are advised that the Secretary of The Department of Homeland Security has
determined that Bandara Ngurah Rai International Airport, Denpasar, Bali,
Indonesia does not maintain and administer effective aviation security
measures."
Berita lain
pagi ini muncul, bahwa Kepolisian Tangerang Menyatakan "Bandara Soekarno
Hatta JKT" tidak aman.
Kepolisian
Tangerang telah berhasil menggulung sindikat "pencurian avtur"
pesawat yg sedang parkir. Sindikat pencurian terdiri dari Teknisi, Petugas
kebersihan , Petugas Kemanan Bandara.
Pencurian
avtur bahan bakar pesawat dibandara tsb sudah terjadi sejak bln April 12 dan
terakhir di Januari 13.
Akar
permasalahan adalah buruknya manajemen BUMN PT Angkasa Pura, setelah listrik
byar pet dan kasus UPS kini pencurian avtur.
Kejadian
kejadian yg memalukan di Bandara memang tidak lepas dari kebijakan yg diambil
oleh manajemennya.
Beberapa pihak
menganggap "Pekerja dgn status OTSORCING" adalah penyebab semua
permasalahan keamanan di Bandara.
Perkara sinyalemen "bandara Ngurah Rai tidak
aman" itu memang benar dikeluarkan oleh Homeland Security USA melalui
badan TSA (Transport Security Agency).
Sebenarnya menyusul kejadian Bom Bali satu
(kejadian di Kuta), banyak negara "bertanya" ke pemerintah Indonesia
mengenai penanganan keamanan bandara. Tentu saja Australia sebagai negara yang
paling banyak menderita korban warganya, menurunkan sepasukan Inspektor
Keamanan ke bandara di Indonesia. Demikian pula dengan TSA melakukan inspeksi
ke Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta.
Hasil dari temuan-temuan inspeksi tsb umumnya
senada, dimana isinya secara substansial ditemukan banyak findings pada kedua
bandara terbesar di Indonesia tsb. Hal yang sesungguhnya tak terlalu
mengherankan karena tak beda jauh dengan rendahnya sistim keselamatan di negeri
ini (sejak April 2007 sampai hari, Indonesia masih dimasukkan pada negara
kategori 2 oleh ICAO dan FAA serta Blacklist Uni Eropa).
Beberapa negara lainnya yang lebih
"bersahabat" dengan Indonesia umumnya bertanya ke GA sebagai
"counterpart" sesama maskapai. Dalam hal ini berlaku
"reciprocal" antar flag carrier.
Singapura sebagai contoh, tidak melakukan
"boikot" namun penerbangan GA ke Changi acapkali dijadikan sasaran
pemeriksaan random check saat kedatangan di Changi dimana penumpang diminta
periksa ulang melalui serangkaian security check lagi (padahal sudah diperiksa
dari JKT, SUB atau DPS). Sialnya, beberapa kali kedapatan penumpang membawa
barang berbahaya dan terlarang. Pemeriksaan random check ini masih diberlakukan
sampai hari ini. GA sebagai pengangkut menjadi sasaran "complain"
padahal semua tahu itu tugas tanggung jawab security bandara.
Australia mengirimkan seperangakat peralatan dan
personil security ke bandara Ngurah Rai untuk memperkuat keamanan maskapai
Australia (Qantas). Australia juga memberlakukan "penalty" bagi
maskapai (dalam hal ini GA) jika kedapatan lalai membawa barang berbahaya dan
terlarang masuk negeri Australia (padahal mestinya ini tanggung jawab security
bandara asal).
Atas penalty yang lumayan besar ini maka GA
memberlakukan "peningkatan" security check bagi penumpang dan cargo
maskapai GA yang terbang ke Australia dari CGK dan DPS.
Sedangkan TSA US memang agak berbau
"politis". Saat TSA melakukan inspeksi ke DPS tahun itu, sebenarnya
tak ada satupun penerbangan Amrik ke Bali. Belakangan memang ada penerbangan
regular Guam ke Bali oleh maskapai Continental.
Mereka (TSA) membuat "Travel Warning"
bagi semua warga US untuk tidak bepergian ke Indonesia dan menyebutkan bandara
Ngurah Rai tidak memenuhi standar keamanan (bukan keselamatan) yang
dipublikasikan dimana-mana.
Sayangnya, tanggapan pemerintah Indonesia juga
cenderung berlebihan secara politis. Menko Kesra saat itu langsung
memerintahkan sepasukan tentara bersenjata berjaga di bandara termasuk
menempatkan para sniper penembak elite di beberapa titik di perimeter bandara.
Kebijakan tsb justru menunjukkan ketidak-mampuan
Indonesia menanggapi isu sesungguhnya dari masalah defisiensi keamanan
kebandaraan, bahkan menjadi bahan "olok-olok" di forum dunia.
Rasanya sebagai orang yang memahami masalah
keamanan dan keselamatan penerbangan, aku juga ikut gemas dan malu melihat
respon semacam itu. Mengapa ya pemerintah (manajemen bandara) sulit benar
memahami perbedaan antara; kebijakan, sistim, program, peraturan, prosedur dan
pelaksanaan?
Menugaskan sniper turun di bandara itu menjadi
"joke" tataran international.
Sekitar pertengahan tahun lalu, TSA melakukan
inspeksi lagi ke bandara Ngurah Rai dengan harapan "Travel Warning"
tsb dapat dicabut. Apa lacur, kondisi sistim keamanan di bandara Ngurah Rai tak
mengalami perubahan substansial sebagaimana temuan beberapa tahun sebelumnya.
Menurut hematku, kita semua, utamanya pemerintah
melalui Kementrian Perhubungan dan manajemen kebandaraan harus fokus membenahi
dahulu "Sistim Keselamatan dan Keamanan Transportasi Publik" sekali
lagi fokus pada "sistim" dahulu.
Berdasarkan pengalamanku sampai hari ini, banyak
negara dan institusi internasional yang senang hati terbuka membantu Indonesia
jika diminta dan diperlukan, sayangnya kadang "gengsi" kebangsaan
kita terlalu tinggi di awang-awang dan seringkali terbentur dengan ketiadaan
"niat" untuk berbenah menjadi yang terbaik.
Jakarta 13 Januari 2013
Wallahu a'lam,
NV
No comments:
Post a Comment