Perjalanan ke Siem Reap
Kamboja DAY 3 tgl 19 Nop 2012
Pagi ini cuaca mendung sehingga hawa bertambah panas dan lembab.
Sekitar pukul 10 pagi kami
meninggalkan kota Siem Reap menempuh jarak lebih kurang 20 kilometer menuju ke
tempat pembuatan kain sutera.
Sekali lagi aku dibuat heran,
kami menyusuri jalanan panjang lebih dari 16 kilometer dan sangat lurus tak ada
belokan sama sekali, entah seberapa jauh ujungnya?
Angkor Silk Farm merupakan tempat
produksi, pelatihan dan toko kain sutera seluas 8 hektar dimana 5 hektar berupa
perkebunan Mulberry yang daunnya dipergunakan sebagai makanan utama ulat
sutera.
Ulat sutera sebagai produsen kepompong sutera tidak dibiarkan hidup berkeliaran
di perkebunan namun ditempatkan dalam rumah produksi untuk menghindari kerusakan
dan gangguan alam maupun penyakit.
Setiap hari secara berkala,
daun-daun Mulberry dipetik untuk diberikan sebagai makanan pokok ulat sutera
yang sudah ditempatkan dalam wadah-wadah besar serupa "tampah".
Tepat 20 hari, ulat sutera akan
menggemukkan dirinya memakan daun-daun Mulberry untuk selanjutnya berdiam diri
dan membentuk kepompong.
Sekitar 10 hari kepompong
terbentuk semakin lengkap, tebal dan membesar.
Selanjutnya 80%
kepompong-kepompong tsb direbus untuk mematikan ulat di dalamnya agar ulat tak
terburu keluar sebagai kupu-kupu yang dapat merusak kualitas kepompong sutera.
Sekitar 20% kepompong-kepompong sisanya akan dibiarkan hidup sebagai kupu-kupu
demi menjaga kelangsungan produksi ulat sutera panen berikutnya.
Kupu-kupu tsb akan kawin dan
jantannya mati dalam 12 jam setelah perkawinan, sementara induk betinanya akan
bertelur dalam jumlah banyak menghasilkan telur dan ulat setelah 4 hari
kemudian.
Secara total siklus dari
kupu-kupu, menghasilkan telur, ulat, kepompong dan menjadi kupu serta bertelur
menghasilkan ulat serta memerlukan waktu sekitar 47 hari.
80% kepompong sutera itu kemudian
diproses sedemikian rupa, setelah kepompong direbus dan direndam dalam air lalu
benangnya mulai dipintal. Ada 2 bagian benang kepompong sutera, bagian luar
lebih berbentuk seperti kapas tak beraturan dipintal dijadikan benang sutera
sebagai kualitas kasar "Raw Silk" sedangkan kepompong bagian dalam
lebih menyerupai kapsul, kemudian dipintal menjadi bahan dasar benang sutera
yang halus untuk memproduksi jenis "Fine Silk".
Setahuku kepompong ulat suter
selalu berwarna putih, namun di Angkor Silk Farm, aku menyaksikan semua
kepompong berwarna kuning terang warna kuning telor, konon karena jenis ulat
yang berbeda.
Tukang pintal benang sutera sudah
sangat terlatih, mereka dapat melihat juluran benang sutera yang ditarik dari
kepompong meskipun secara kasat mata terlalu kecil lembut untuk dilihat. Benang
sutera meskipun sangat tipis dan lembut namun memiliki kekuatan yang baik.
Secara berurutan benang-benang tsb dipintal dijadikan satu gulungan besar untuk
kemudian diwarnai sesuai kebutuhan.
Setelah proses pemintalan dan
pewarnaan, maka gulungan benang sutera ditenun secara manual berdasarkan pola
yang telah didesain secara khusus, ada desain tradisional dan ada pula desain
modern kontemporer.
Proses tenun benang sutera tak
kalah menarik, agar motifnya baik dan rapi maka tukang tenun selalu menghitung
dalam hati, jumlah keluar dan masuknya benang serta secara teratur memindahkan
urutan benang yang dipintal agar mendapatkan pola yang sesuai keinginan.
Untuk memproduksi 1 (satu) scarf
(selendang) wanita diperlukan waktu 4 hari kerja menenun benang sutera untuk
menjadi sebuah scarf yang berkualitas tinggi.
Para pekerja di Angkor Silk Farm
menerima pendidikan dasar mengolah sutera selama 6 bulan.
Para penenun menerima gaji
sekitar USD 150 per bulan yang merupakan gaji paling besar diantara pekerja
perkebunan sutera pada umumnya. Mereka bekerja dalam dua giliran, pk 7 sd 11
dan pukul 13 sd 17 dengan masa jeda 2 jam untuk makan siang dan serah-terima
pekerjaan dengan penggantinya.
Hasil produksi sutera, baik Raw
Silk maupun Fine Silk dijual dalam berbagai produk sebagai sapu tangan,
selendang, perlengkapan meja makan, taplak, perlengkapan tempat tidur, baju,
tas, dan bahan yang dibuat meteran maupun dijual sebagai lembar kain per potong
untuk pakaian pria dan wanita.
Ada gabungan antara rumitnya
proses pengerjaan sejak dari ulat, kepompong, pemintalan, menenun, pola desain,
serta kualitas kain sutera sehingga berharga lumayan mahal jika dibanding kain
katun biasa.
Dalam showroom Angkor Silk juga
dibedakan harga barang produksi Trainee dan pekerja yang sudah mahir. Meskipun
secara kasat mata kita sendiri agak susah membedakan mana hasil kerja para
Trainee dan pekerja profesional. Beda harga antara keduanya dapat berkisar 40%
sd 50%.
Sekitar waktu makan siang kami
meninggalkan Angkor Silk Farm dan kembali ke kota menuju Pyongyang Restaurant
untuk makan siang.
Mendengar namanya saja sudah
aneh, restaurant Korea tapi diberi nama Pyongyang (Ibu Kota Korea Utara).
Kami datang dan makanan sudah
disediakan lengkap di atas meja yang jenisnya serupa benar dengan masakan Korea
Selatan.
Sesaat setelah makan, lampu-lampu
panggung dinyalakan dan dimulailah hiburan khas Korea. Ada pertunjukan nyanyi,
koor, instrumen dengan akordion, kecapi Korea, Tambur Korea, tap dance, dan
macam-macam lagi.
Keunikan sebenarnya adalah semua
artis yang naik panggung tsb sebenarnya mereka merangkap pekerjaan sebagai
waiters, penyaji makanan, kasir dan tukang masak yang secara khusus didatangkan
dari Korea Utara atas undangan pemerintah Kamboja.
Secara tak langsung, Pyongyang
Restaurant di Siem Reap sepertinya dibuat khusus untuk "mendamaikan"
pertikaian panjang Korea Selatan dan Korea Utara di Siem Reap karena mayoritas
pengunjung resto ini adalah warga Korea.
Aku menyempatkan diri berbincang
dengan Tour Guide kami yang bernama Sann Seila (pria muda asli Siem Reap).
Di Kamboja, khususnya di kota
Siem Reap banyak sekali kita jumpai kaum muda mengenakan seragam dengan baju
coklat muda lengan panjang dan celana biru tua. Mereka itu adalah Tour Guide
yang resmi.
Para Tour Guide tsb berlisensi
khusus dari Pemerintah dan hanya mereka yang mengenakan seragam serta membawa
lisensi sebagai tanda pengenal yang diijinkan menjadi Tour Guide di Kamboja.
Salah satu persyaratan menjadi
Tour Guide di Kamboja yakni kemampuan berbahasa asing minimal 1 bahasa asing
dan harus lulus ujian sejarah serta tempat-tempat tujuan wisata di Kamboja.
Sann Seila, Tour Guide kami
menguasai bahasa Inggris dan Sepanyol secara baik dan mulai belajar bahasa
Indonesia sejak bersama kami pada beberapa hari terakhir.
Ia adalah anak petani yang
kemudian menjadi guru bahasa Inggris di sekolah setingkat SMP yang beralih
profesi sebagai Tour Guide resmi.
Aku tak tahu secara pasti, tapi
sepertinya Tour Guide di Bali atau Jogyakarta atau mungkin di seluruh Indonesia
tak pernah melalui standarisasi secara nasional sehingga "semua"
orang sepertinya dapat bertindak sebagai tour guide.
Ketika aku tanya "apakah
pengunjung diperbolehkan mengunjungi areal candi-candi tanpa tour guide?"
Ia menjawab singkat "tak ada
larangan namun sulit membayangkan para turis akan memahami sejarah budaya
Kamboja tanpa kehadiran Tour Guide di sisi mereka".
Banyaknya Tour Guide resmi dan
bus-bus wisatawan yang berseliweran serta tebaran hotel-hotel mewah di Siem
Reap menunjukkan kota ini sangat siap menerima turisme yang mayoritas
menggerakkan roda ekonomi Kamboja.
Aku melamun dan membayangkan
mengapa Indonesia yang sedemikian kaya obyek wisata dan budaya sepertinya kalah
jauh dibandingkan Kamboja dalam mengelola turisme?
Selepas makan siang, kami
mengarah ke Old Market yang dikenal sebagai Psar Chas yang terletak di Jalan
Pokombor Avenue berseberangan dengan Art Center Market yang dipisahkan sebuah
sungai Siem Reap.
Old Market sebenarnya sekumpulan
kios-kios yang menjajakan barang-barang khas Kamboja.
Salah satu buruan para pendatang
adalah batu mulia; Ruby, Blue Saphire, Topaz, Opal, dsb. Secara khusus aku juga
sedang berburu kain tenun ikat khas Kamboja.
Tak sulit berbelanja di Old
Market, khususnya bagi orang Indonesia. Apapun yang dijual di Old Market wajib
ditawar serendah mungkin dan biasanya akan berhasil sepakat dengan harga
maksimal 1/3 dari harga penawaran!
Jadi tak usah heran jika aku
menemukan scarf wanita dengan motif yang indah dan 100% sutera yang sangat
lembut dengan harga USD 2 per lembar atau kain tenun khas Kamboja seukuran
"sarimbit" berbahan sutera halus dengan harga tak lebih dari USD 18!
Apalagi mata uang US Dollar
menjadi uang transaksi sehar-hari sehingga mempermudah orang asing berbelanja
apapun di Siem Reap.
Siem Reap, 19 Nopember 2012
Salam,
NV