Sunday, December 2, 2012

Perjalanan ke Siem Reap Kamboja DAY 3 tgl 19 Nop 2012



Perjalanan ke Siem Reap Kamboja DAY 3 tgl 19 Nop 2012

Pagi ini cuaca mendung sehingga hawa bertambah panas dan lembab.

Sekitar pukul 10 pagi kami meninggalkan kota Siem Reap menempuh jarak lebih kurang 20 kilometer menuju ke tempat pembuatan kain sutera.

Sekali lagi aku dibuat heran, kami menyusuri jalanan panjang lebih dari 16 kilometer dan sangat lurus tak ada belokan sama sekali, entah seberapa jauh ujungnya?

Angkor Silk Farm merupakan tempat produksi, pelatihan dan toko kain sutera seluas 8 hektar dimana 5 hektar berupa perkebunan Mulberry yang daunnya dipergunakan sebagai makanan utama ulat sutera.


Ulat sutera sebagai produsen kepompong sutera tidak dibiarkan hidup berkeliaran di perkebunan namun ditempatkan dalam rumah produksi untuk menghindari kerusakan dan gangguan alam maupun penyakit.

Setiap hari secara berkala, daun-daun Mulberry dipetik untuk diberikan sebagai makanan pokok ulat sutera yang sudah ditempatkan dalam wadah-wadah besar serupa "tampah".

Tepat 20 hari, ulat sutera akan menggemukkan dirinya memakan daun-daun Mulberry untuk selanjutnya berdiam diri dan membentuk kepompong.

Sekitar 10 hari kepompong terbentuk semakin lengkap, tebal dan membesar.

Selanjutnya 80% kepompong-kepompong tsb direbus untuk mematikan ulat di dalamnya agar ulat tak terburu keluar sebagai kupu-kupu yang dapat merusak kualitas kepompong sutera.


Sekitar 20% kepompong-kepompong sisanya akan dibiarkan hidup sebagai kupu-kupu demi menjaga kelangsungan produksi ulat sutera panen berikutnya.

Kupu-kupu tsb akan kawin dan jantannya mati dalam 12 jam setelah perkawinan, sementara induk betinanya akan bertelur dalam jumlah banyak menghasilkan telur dan ulat setelah 4 hari kemudian.

Secara total siklus dari kupu-kupu, menghasilkan telur, ulat, kepompong dan menjadi kupu serta bertelur menghasilkan ulat serta memerlukan waktu sekitar 47 hari.

80% kepompong sutera itu kemudian diproses sedemikian rupa, setelah kepompong direbus dan direndam dalam air lalu benangnya mulai dipintal. Ada 2 bagian benang kepompong sutera, bagian luar lebih berbentuk seperti kapas tak beraturan dipintal dijadikan benang sutera sebagai kualitas kasar "Raw Silk" sedangkan kepompong bagian dalam lebih menyerupai kapsul, kemudian dipintal menjadi bahan dasar benang sutera yang halus untuk memproduksi jenis "Fine Silk".

Setahuku kepompong ulat suter selalu berwarna putih, namun di Angkor Silk Farm, aku menyaksikan semua kepompong berwarna kuning terang warna kuning telor, konon karena jenis ulat yang berbeda.

Tukang pintal benang sutera sudah sangat terlatih, mereka dapat melihat juluran benang sutera yang ditarik dari kepompong meskipun secara kasat mata terlalu kecil lembut untuk dilihat. Benang sutera meskipun sangat tipis dan lembut namun memiliki kekuatan yang baik. Secara berurutan benang-benang tsb dipintal dijadikan satu gulungan besar untuk kemudian diwarnai sesuai kebutuhan.

Setelah proses pemintalan dan pewarnaan, maka gulungan benang sutera ditenun secara manual berdasarkan pola yang telah didesain secara khusus, ada desain tradisional dan ada pula desain modern kontemporer.

Proses tenun benang sutera tak kalah menarik, agar motifnya baik dan rapi maka tukang tenun selalu menghitung dalam hati, jumlah keluar dan masuknya benang serta secara teratur memindahkan urutan benang yang dipintal agar mendapatkan pola yang sesuai keinginan.

Untuk memproduksi 1 (satu) scarf (selendang) wanita diperlukan waktu 4 hari kerja menenun benang sutera untuk menjadi sebuah scarf yang berkualitas tinggi.

Para pekerja di Angkor Silk Farm menerima pendidikan dasar mengolah sutera selama 6 bulan.

Para penenun menerima gaji sekitar USD 150 per bulan yang merupakan gaji paling besar diantara pekerja perkebunan sutera pada umumnya. Mereka bekerja dalam dua giliran, pk 7 sd 11 dan pukul 13 sd 17 dengan masa jeda 2 jam untuk makan siang dan serah-terima pekerjaan dengan penggantinya.

Hasil produksi sutera, baik Raw Silk maupun Fine Silk dijual dalam berbagai produk sebagai sapu tangan, selendang, perlengkapan meja makan, taplak, perlengkapan tempat tidur, baju, tas, dan bahan yang dibuat meteran maupun dijual sebagai lembar kain per potong untuk pakaian pria dan wanita.

Ada gabungan antara rumitnya proses pengerjaan sejak dari ulat, kepompong, pemintalan, menenun, pola desain, serta kualitas kain sutera sehingga berharga lumayan mahal jika dibanding kain katun biasa.

Dalam showroom Angkor Silk juga dibedakan harga barang produksi Trainee dan pekerja yang sudah mahir. Meskipun secara kasat mata kita sendiri agak susah membedakan mana hasil kerja para Trainee dan pekerja profesional. Beda harga antara keduanya dapat berkisar 40% sd 50%.

Sekitar waktu makan siang kami meninggalkan Angkor Silk Farm dan kembali ke kota menuju Pyongyang Restaurant untuk makan siang.

Mendengar namanya saja sudah aneh, restaurant Korea tapi diberi nama Pyongyang (Ibu Kota Korea Utara).

Kami datang dan makanan sudah disediakan lengkap di atas meja yang jenisnya serupa benar dengan masakan Korea Selatan.

Sesaat setelah makan, lampu-lampu panggung dinyalakan dan dimulailah hiburan khas Korea. Ada pertunjukan nyanyi, koor, instrumen dengan akordion, kecapi Korea, Tambur Korea, tap dance, dan macam-macam lagi.

Keunikan sebenarnya adalah semua artis yang naik panggung tsb sebenarnya mereka merangkap pekerjaan sebagai waiters, penyaji makanan, kasir dan tukang masak yang secara khusus didatangkan dari Korea Utara atas undangan pemerintah Kamboja.

Secara tak langsung, Pyongyang Restaurant di Siem Reap sepertinya dibuat khusus untuk "mendamaikan" pertikaian panjang Korea Selatan dan Korea Utara di Siem Reap karena mayoritas pengunjung resto ini adalah warga Korea.

Aku menyempatkan diri berbincang dengan Tour Guide kami yang bernama Sann Seila (pria muda asli Siem Reap).

Di Kamboja, khususnya di kota Siem Reap banyak sekali kita jumpai kaum muda mengenakan seragam dengan baju coklat muda lengan panjang dan celana biru tua. Mereka itu adalah Tour Guide yang resmi.

Para Tour Guide tsb berlisensi khusus dari Pemerintah dan hanya mereka yang mengenakan seragam serta membawa lisensi sebagai tanda pengenal yang diijinkan menjadi Tour Guide di Kamboja.

Salah satu persyaratan menjadi Tour Guide di Kamboja yakni kemampuan berbahasa asing minimal 1 bahasa asing dan harus lulus ujian sejarah serta tempat-tempat tujuan wisata di Kamboja.

Sann Seila, Tour Guide kami menguasai bahasa Inggris dan Sepanyol secara baik dan mulai belajar bahasa Indonesia sejak bersama kami pada beberapa hari terakhir.

Ia adalah anak petani yang kemudian menjadi guru bahasa Inggris di sekolah setingkat SMP yang beralih profesi sebagai Tour Guide resmi.

Aku tak tahu secara pasti, tapi sepertinya Tour Guide di Bali atau Jogyakarta atau mungkin di seluruh Indonesia tak pernah melalui standarisasi secara nasional sehingga "semua" orang sepertinya dapat bertindak sebagai tour guide.

Ketika aku tanya "apakah pengunjung diperbolehkan mengunjungi areal candi-candi tanpa tour guide?"

Ia menjawab singkat "tak ada larangan namun sulit membayangkan para turis akan memahami sejarah budaya Kamboja tanpa kehadiran Tour Guide di sisi mereka".

Banyaknya Tour Guide resmi dan bus-bus wisatawan yang berseliweran serta tebaran hotel-hotel mewah di Siem Reap menunjukkan kota ini sangat siap menerima turisme yang mayoritas menggerakkan roda ekonomi Kamboja.

Aku melamun dan membayangkan mengapa Indonesia yang sedemikian kaya obyek wisata dan budaya sepertinya kalah jauh dibandingkan Kamboja dalam mengelola turisme?

Selepas makan siang, kami mengarah ke Old Market yang dikenal sebagai Psar Chas yang terletak di Jalan Pokombor Avenue berseberangan dengan Art Center Market yang dipisahkan sebuah sungai Siem Reap.

Old Market sebenarnya sekumpulan kios-kios yang menjajakan barang-barang khas Kamboja.

Salah satu buruan para pendatang adalah batu mulia; Ruby, Blue Saphire, Topaz, Opal, dsb. Secara khusus aku juga sedang berburu kain tenun ikat khas Kamboja.

Tak sulit berbelanja di Old Market, khususnya bagi orang Indonesia. Apapun yang dijual di Old Market wajib ditawar serendah mungkin dan biasanya akan berhasil sepakat dengan harga maksimal 1/3 dari harga penawaran!

Jadi tak usah heran jika aku menemukan scarf wanita dengan motif yang indah dan 100% sutera yang sangat lembut dengan harga USD 2 per lembar atau kain tenun khas Kamboja seukuran "sarimbit" berbahan sutera halus dengan harga tak lebih dari USD 18!

Apalagi mata uang US Dollar menjadi uang transaksi sehar-hari sehingga mempermudah orang asing berbelanja apapun di Siem Reap.

Siem Reap, 19 Nopember 2012
Salam,
NV


 

No comments:

Post a Comment