Artikel ini ditulis secara
berserial sekitar akhir bulan Juni sd awal bulan Juli 2009 tentang sebuah
perjalanan dalam rangka mengeluarkan GA dan Indonesia dari daftar “Blacklist
Penerbangan Uni Eropa”
Tahun-tahun terakhir memang banyak kecelakaan pesawat terbang di Indonesia akibat deregulasi yang “kebablasan” sehingga badan regulator penerbangan sipil Indonesia (Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara) kurang mampu mengawasi operator penerbangan sipil yang jumlahnya mencapai 50 an.
Ketika GA200 kecelakaan di Jogyakarta 7 Maret 2007, maka "runtuh"lah semua benteng pertahanan dan kepercayaan international yang menyoroti masalah keselamatan penerbangan di Indonesia.
Pertengahan April 2007, ICAO dan FAA langsung menurunkan standar keselamatan Indonesia ke Kategori 2 yakni sebuah negara yang tak memenuhi seluruh persyaratan ICAO Standard and Recommended Practices (artinya ada batasan khusus untuk semua maskapai Indonesia untuk beroperasi di Amerika, padahal memang sebetulnya tak ada operator Indonesia yang beroperasi ke atau di Amerika sejak tahun 2002)
Sementara itu, Uni Eropa mulai bertanya-tanya ke Dephub, mengapa Indonesia dimasukkan ke negara Kategori 2 oleh ICAO dan FAA (padahal ya tentunya merak sudah mengerti). Tapi tak ada tanggapan formal dari Dephub. Bahkan ada surat terakhir dari Uni Eropa yang memberikan ultimatum jika dalam 10 hari tak ada penjelasan resmi maka UE terpaksa memasukkan Indonesia ke European Commission (EC) Operating Ban (surat ini juga tak dijawab Dephub)
Hal yang paling "memprihatinkan" tak ada secuilpun informasi itu yang disampaikan oleh Dephub kepada para maskapai Indonesia yang memungkinkan para operator penerbangan Indonesia untuk diberi kesempatan untuk menyampaikan "defense argument" langsung ke markas besar UE di Brussels.
Akhirnya, 14 Juli 2007, UE menerbitkan EC Annex A yang dikenal sebagai EC Operating Ban Level 3 yang di Indonesia dikenal sebagai Black List Uni Eropa.
EC Ban Level 3 itu ditujukan ke sebuah negara yang tak bisa memenuhi seluruh standar keselamatan ICAO dan European Aviation Safety Agency (EASA). Artinya semua operator penerbangan dan pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia dilarang beroperasi di negara Uni Eropa (Blanket Ban), termasuk GA meski sejak tahun 2004 tak beroperasi lagi di Eropa.
Mengingat istilah yang dikembangkan di Indonesia menjadi "blacklist" maka para politisi dan media menjadikannya headline yang menggegerkan di Indonesia (padahal ICAO dan FAA juga melakukan hal sama tapi kurang mendapatkan pemeberitaan).
Masalah EU Blacklist ini selanjutnya semakin bergeser ke masalah “patriotik” kehormatan bangsa padahal masalah sebenarnya adalah masalah teknis yang "sepele" yakni Dephub harus mampu menindak-lanjuti 122 Audit Finding yang diberikan oleh ICAO.
Seminggu setelah Indonesia dimasukkan dalam daftar “blacklist UE”, aku dan para petinggi GA langsung menemui Dubes UE di Jakarta untuk mohon petunjuk meski sudah terlambat (karena tak diberi informasi oleh Dephub).
Singkatnya, kami (GA) bertekad membereskan masalah ini dengan hadir langsung ke Kantor Pusat EC Air Safety Committee (ECASC) di Brussels meski GA tak mempunyai rencana atau keinginan untuk terbang ke jalur Eropa dalam waktu dekat tapi memang ada aspek-aspek Financial, Insurance dan Image yang mulai terganggu).
Sejak Agustus 2007, kami rutin hadir dalam rapat-rapat ECASC yang secara rutin dilakukan setiap 3 bulanan membahas masalah Operating Ban.
Pertama kali hadir dalam rapat ECASC, memang membuat gentar dan nyali ciut. Siapa yang tidak? Aku memasuki ruang rapat taraf internasional di markas besar EU yang dihadiri 27 perwakilan negara anggota UE (masing-masing 2 peserta) plus 10 anggota ECASC. Aku harus duduk di tengah-tengah seperti pesakitan, semua orang memakai "headset" mendengarkan translator bahasa membacakan semua pembicaraan.
Itulah pertama kali aku mempunyai pengalaman mengikuti secara langsung rapat resmi badan dunia . . .
Sejak itu, hampir tiap 3 bulan aku berangkat ke Brussels membawa berbagai macam dokumen yang kadang-kadang tebalnya 3 ordner ukuran setebal 10 cm, plus bahan presentasi.
Rasanya tak kurang-kurang kami meminta dukungan negara-negara anggota EU, maskapai-maskapai Eropa, Deplu UE, organisasi Eropa dan para Konsultan di Eropa, tapi belum berhasil karena yang menjadi akar masalah adalah 122 Audit Finding ICAO yang belum selesai ditindak-lanjuti Dephub.
Hari Jumat ini (tanggal 26 Juni 2009), aku sedang bersiap-siap mengumpulkan berbagai macam dokumen di kantor sebagai persiapan untuk berangkat ke Brussels dalam rangka sidang ECASC akhir bulan ini.
Pada kesempatan yang baik ini aku ingin berpamitan sekaligus memohon doa restu karena hari Minggu akan berangkat lagi ke Brussels Belgia (bersama-sama dengan delegasi Dephub).
Sidang ECASC dijadualkan Selasa tgl 30 Juni siang waktu Brussels (biasanya hasil sidang ECASC akan disahkan Parlemen UE sekitar 2 minggu kemudian)
Ini memang perjalanan misi nasional, misi negara, misi GA, dan tentu saja misi pribadi yang semoga saja menjadi the "last battle" meski perang belum tentu berakhir.
Aku pribadi sangat percaya, semua kegagalan itu (semenjak Agustus 2007) pasti akan ada habisnya dan ada akhirnya, semoga saja perjalanan kali ini menjadi "victory mission" bagi semuanya.
Aku kirimi gambar pertama yang diambil dari salah satu sudut bandara Changi S'pore.
Ketika GA200 kecelakaan di Jogyakarta 7 Maret 2007, maka "runtuh"lah semua benteng pertahanan dan kepercayaan international yang menyoroti masalah keselamatan penerbangan di Indonesia.
Pertengahan April 2007, ICAO dan FAA langsung menurunkan standar keselamatan Indonesia ke Kategori 2 yakni sebuah negara yang tak memenuhi seluruh persyaratan ICAO Standard and Recommended Practices (artinya ada batasan khusus untuk semua maskapai Indonesia untuk beroperasi di Amerika, padahal memang sebetulnya tak ada operator Indonesia yang beroperasi ke atau di Amerika sejak tahun 2002)
Sementara itu, Uni Eropa mulai bertanya-tanya ke Dephub, mengapa Indonesia dimasukkan ke negara Kategori 2 oleh ICAO dan FAA (padahal ya tentunya merak sudah mengerti). Tapi tak ada tanggapan formal dari Dephub. Bahkan ada surat terakhir dari Uni Eropa yang memberikan ultimatum jika dalam 10 hari tak ada penjelasan resmi maka UE terpaksa memasukkan Indonesia ke European Commission (EC) Operating Ban (surat ini juga tak dijawab Dephub)
Hal yang paling "memprihatinkan" tak ada secuilpun informasi itu yang disampaikan oleh Dephub kepada para maskapai Indonesia yang memungkinkan para operator penerbangan Indonesia untuk diberi kesempatan untuk menyampaikan "defense argument" langsung ke markas besar UE di Brussels.
Akhirnya, 14 Juli 2007, UE menerbitkan EC Annex A yang dikenal sebagai EC Operating Ban Level 3 yang di Indonesia dikenal sebagai Black List Uni Eropa.
EC Ban Level 3 itu ditujukan ke sebuah negara yang tak bisa memenuhi seluruh standar keselamatan ICAO dan European Aviation Safety Agency (EASA). Artinya semua operator penerbangan dan pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia dilarang beroperasi di negara Uni Eropa (Blanket Ban), termasuk GA meski sejak tahun 2004 tak beroperasi lagi di Eropa.
Mengingat istilah yang dikembangkan di Indonesia menjadi "blacklist" maka para politisi dan media menjadikannya headline yang menggegerkan di Indonesia (padahal ICAO dan FAA juga melakukan hal sama tapi kurang mendapatkan pemeberitaan).
Masalah EU Blacklist ini selanjutnya semakin bergeser ke masalah “patriotik” kehormatan bangsa padahal masalah sebenarnya adalah masalah teknis yang "sepele" yakni Dephub harus mampu menindak-lanjuti 122 Audit Finding yang diberikan oleh ICAO.
Seminggu setelah Indonesia dimasukkan dalam daftar “blacklist UE”, aku dan para petinggi GA langsung menemui Dubes UE di Jakarta untuk mohon petunjuk meski sudah terlambat (karena tak diberi informasi oleh Dephub).
Singkatnya, kami (GA) bertekad membereskan masalah ini dengan hadir langsung ke Kantor Pusat EC Air Safety Committee (ECASC) di Brussels meski GA tak mempunyai rencana atau keinginan untuk terbang ke jalur Eropa dalam waktu dekat tapi memang ada aspek-aspek Financial, Insurance dan Image yang mulai terganggu).
Sejak Agustus 2007, kami rutin hadir dalam rapat-rapat ECASC yang secara rutin dilakukan setiap 3 bulanan membahas masalah Operating Ban.
Pertama kali hadir dalam rapat ECASC, memang membuat gentar dan nyali ciut. Siapa yang tidak? Aku memasuki ruang rapat taraf internasional di markas besar EU yang dihadiri 27 perwakilan negara anggota UE (masing-masing 2 peserta) plus 10 anggota ECASC. Aku harus duduk di tengah-tengah seperti pesakitan, semua orang memakai "headset" mendengarkan translator bahasa membacakan semua pembicaraan.
Itulah pertama kali aku mempunyai pengalaman mengikuti secara langsung rapat resmi badan dunia . . .
Sejak itu, hampir tiap 3 bulan aku berangkat ke Brussels membawa berbagai macam dokumen yang kadang-kadang tebalnya 3 ordner ukuran setebal 10 cm, plus bahan presentasi.
Rasanya tak kurang-kurang kami meminta dukungan negara-negara anggota EU, maskapai-maskapai Eropa, Deplu UE, organisasi Eropa dan para Konsultan di Eropa, tapi belum berhasil karena yang menjadi akar masalah adalah 122 Audit Finding ICAO yang belum selesai ditindak-lanjuti Dephub.
Hari Jumat ini (tanggal 26 Juni 2009), aku sedang bersiap-siap mengumpulkan berbagai macam dokumen di kantor sebagai persiapan untuk berangkat ke Brussels dalam rangka sidang ECASC akhir bulan ini.
Pada kesempatan yang baik ini aku ingin berpamitan sekaligus memohon doa restu karena hari Minggu akan berangkat lagi ke Brussels Belgia (bersama-sama dengan delegasi Dephub).
Sidang ECASC dijadualkan Selasa tgl 30 Juni siang waktu Brussels (biasanya hasil sidang ECASC akan disahkan Parlemen UE sekitar 2 minggu kemudian)
Ini memang perjalanan misi nasional, misi negara, misi GA, dan tentu saja misi pribadi yang semoga saja menjadi the "last battle" meski perang belum tentu berakhir.
Aku pribadi sangat percaya, semua kegagalan itu (semenjak Agustus 2007) pasti akan ada habisnya dan ada akhirnya, semoga saja perjalanan kali ini menjadi "victory mission" bagi semuanya.
Aku kirimi gambar pertama yang diambil dari salah satu sudut bandara Changi S'pore.
Lokasi ini merupakan salah satu spot yang aku sukai yakni Smoking Area di Terminal 3 Changi.
Tempat merokok
saja dibuatkan taman terbuka yang asri.
Aku transit selama 5 jam di Changi karena semua penerbangan penuh he he he
Penerbangan ke Schipol nanti akan memakai SQ324 yang akan berangkat schedule jam 23:00 waktu setempat dan dijadualkan akan tiba di Schiphol Belanda sekitar jam 6 pagi. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan kereta api ekspres Thalys tujuan akhir Brussels dengan lama perjalanan 3 jam.
Cuaca Belanda dan Belgia diperkirakan lebih kurang; hujan, angin lembut dengan suhur 25 sd 15 Celcius.
Cerita berikutnya lanjut ke Bagian 2 . . .
Singapore, 28 Juni 2009
Novianto Herupratomo
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Aku transit selama 5 jam di Changi karena semua penerbangan penuh he he he
Penerbangan ke Schipol nanti akan memakai SQ324 yang akan berangkat schedule jam 23:00 waktu setempat dan dijadualkan akan tiba di Schiphol Belanda sekitar jam 6 pagi. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan kereta api ekspres Thalys tujuan akhir Brussels dengan lama perjalanan 3 jam.
Cuaca Belanda dan Belgia diperkirakan lebih kurang; hujan, angin lembut dengan suhur 25 sd 15 Celcius.
Cerita berikutnya lanjut ke Bagian 2 . . .
Singapore, 28 Juni 2009
Novianto Herupratomo
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment