Artikel ini ditulis secara berserial sekitar akhir bulan Juni sd awal bulan Juli 2009 tentang sebuah perjalanan dalam rangka mengeluarkan GA dan Indonesia dari daftar “Blacklist Penerbangan Uni Eropa”
Perjalanan ke Brussels Bagian ke 6
Siang ini waktu Brussels, aku meluncur menuju Amsterdam menggunakan kereta api ekspres Thalys.
Aku melaju seorang diri sementara anggota rombongan lain telah berpisah untuk agenda dan acara masing-masing.
Sebagaimana kebiasaan orang bepergian, selalu ada perasaan berat meninggalkan rumah namun sebaliknya juga ada perasaan enggan ketika menjelang pulang. Sebenarnya aku ada beberapa kenalan yang lumayan banyak di kota Brussels. Ada beberapa kenalan orang Indonesia namun lebih banyak lagi kenalan warga setempat sebagai hasil berkali-kali berkunjung ke Brussels. Sebagai sesama kolega atau teman, mereka ini orang yang sangat santun dan baik hati. Namun jika menyangkut prinsip selalu saja muncul perbedaan kepentingan dan cara pandang mengenai masalah sistim keselamatan, apalagi jika menyangkut kepentingan negara. Jadi berulang kali bertemu dalam sidang Uni Eropa, lama-kelamaan jadi mengenal watak dan karakter mereka namun posisi kita selalu berseberangan manakala dalam sidang resmi. Kita seringkali adu argumentasi dengan posisi yang kurang berimbang. Pada sisi delegasi Indonesia umumnya hanya dibatasi maksimum 3-5 orang perwakilan, sementara pada posisi dihadiri sekitar 50an orang perwakilan masing-masing 27 negara anggota Uni Eropa. Memang posis yang kurang berimbang............
Belum lagi delegasi Indonesia hadir dalam sidang resmi European Commission Air Safety Commission (ECASC) dalam posisi “meminta” sementara mereka dalam posisi “memberi” hal mana seperti menjadikan mereka diatas angin.
Problematik berikutnya, untuk menjatuhkan sangsi "blacklist" cukup disetujui oleh 2 negara anggota Uni Eropa namun untuk mencabut “blacklist” harus dihadiri mayoritas perwakilan anggota Uni Eropa.
Kita tunggu saja hasil akhir dari sidang ini yang akan diumumkan sekitar tanggal 12 Juli 2009.
Perjalanan ke Amsterdam, . . . .
Sebagian besar jadual kereta api di Eropa umumnya mempunyai ketepatan waktu yang terjaga baik, bahkan di negara seperti Swiss, jadual Bis Kota seringkali dapat dijadikan patokan untuk mencocokkan waktu arloji kita karena memang rekor ketepatan waktunya sangat prima.
Tapi naik kereta Thalys selalu mengundang tanya, aku agak kesulitan untuk menemukan gerbong sesuai tiket yang aku miliki karena tak ada tanda atau nomor di luar gerbong sehingga perlu waktu untuk bertanya kesana-kemari.
Kereta Thalys No. 9331 jurusan Amsterdam berangkat jam 13:52 sesuai jadual. Ini jenis kereta ekspres yang hanya 3 kali berhenti namun memang harga tiketnya lumayan mahal (untuk ukuran kita) €82 Euro (sekitar IDR 1.1 juta).
Aku menempati bangku di Kelas Bisnis yang seukuran kursi Bisnis pesawat terbang, cukup besar dan nyaman yang dibalut sejenis kain bludru warna merah marun.
Aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu STW (Setengah Tua). Ia segera saja membuka pembicaraan dengan menanyakan tujuanku. Aku singkat saja “Schiphol Amsterdam.......”. Ia tersenyum dan menceritakan bahwa ia akan turun di Den Haag (aku pikir dia sedang merayu untuk mengajakku turun di Den Haag he he he). Rupanya ia sedang meminta bantuan untuk menurunkan kopor dia yang disimpannya di Overhead Luggage Bin karena ia sudah menderita "backpain" sehingga tak kuat lagi mengangkat barang-barang yang berat.
Ibu tua itu menambahkan "I am glad you are sitting beside me" (Alaaaaa rayuan gombal e mukiyo)
Kereta Thalys segera melaju semakin cepat. Goyangan dan hentakannya tak terasa karena didukung oleh sistim suspensi yang masih apik terawat. Pada kecepatan tinggi, hentakan hanya terasa ketika kereta melintasi jalur persimpangan rel.
Sekitar 20 menit sejak meninggalkan stasiun Brussels Midi, pramugari-pramugara mulai mengedarkan makanan bagi penumpang.
Aku mengambil sebuah sandwich yang tampak unit dalam pandanganku. Sandwich itu ditempatkan diatas potongan kulit batang pisang yang dikeringkan dan kemudian dibentuk seperti sebuah perahu dengan Sandwich diatasnya. Wah, boleh juga ide Thalys ini...........
Untuk minumannya aku pilih Red Wine (hebat juga, kereta api menyajikan Wine). France Red Wine produksi Paul Sapin dengan nama Cabernet Sauvignon vin de pays d'oc yang diproduksi dari ramuan anggur yang tahan panas terik matahari yang ditanam di wilayah perkebunan anggur di Perancis Selatan.
Sementara itu, laju kereta Thalys melambat mendekati stasiun Antwerpen untuk transit beberapa menit.
Sebagian penumpang mudhun lan sebagian munggah. . . . .
Kereta api ekspres Thalys melanjutkan perjalanan ke Amsterdam yang berturut-turut berhenti sebentar di Rotterdam Central Station (salah satu kota pelabuhan besar di Eropa), lalu berhenti lagi di stasiun Den Haag kota pusat pemerintahan Kerajaan Belanda (namun pada perjalanan ini kami tak sempat mampir ke pak Dubes F Habibie di KBRI Belanda).
Aku jadi teringat komentar salah satu rekan yang menyatakan kesan kuat pertama ketika kita berada di Eropa adalah kualitas udaranya yang sangat segar. Serasa menghirup udara dari tabung oksigen murni.
Padahal luas daratan negara-negara Eropa umumnya tak seberapa luas, areal hutanpun mestinya tak seberapa jika dibandingkan hutan tropis di Indonesia. Apalagi negeri Belanda yang dengan susah-payah mengendalikan permukaan air karena daraatan mereka lebih rendah dari permukaan air laut. Tapi taman-taman di Eropa selalu dipelihara secara baik rimbun dan menyegarkan mirip hutan kota yang mengalahkan Indonesia yang katanya negeri “gemah ripah loh jinawi”.
Sepertinya lagu "Rayuan Pulau Kelapa" atau "Naik-naik ke Puncak Gunung" atau "Kebunku" hanyalah sekedar lagu untuk meninabobokan kita semua yang jauh dari kenyataan.
Hal kedua yang mengesankan adalah budaya ketertiban umum. Jalanan di Eropa sebenarnya cukup sempit sebagian permukaan jalan dilapisi potongan batu gunung yang tertata rapi, seringkali mengalami kemacetan namun semua pengemudi tetap tertib tak saling serobot. Rasanya sulit membayangkan, kapan suasana tertib seperti ini akan terwujud di Indonesia?
Lamunanku dikejutkan oleh Tante tua yang duduk di sebelahku berepamitan turun di stasiun Den Haag .....
Perjalanan Brussels tekan Schiphol Amsterdam 2 jam 27 menit (tak beda jauh dengan lama perjalanan dari rumah ke kantorku).
Tanpa terasa kereta Thalys mendekati Schiphol, stasiun kereta Schiphol persis berada di bawah Terminal Kedatangan bandara Schiphol. Aku keluar meninggalkan Terminal bandara Schiphol sambil menikmati hawa musim panas mencari tempat shuttle bus yang akan aku tumpangi menuju hotel Hilton.
Aku hanya menginap semalam di Hilton Airport Hotel menempati kamar yang menurutku ekstra kecil namun dihargai €210 atau setara IDR 2,7 juta semalam! Weh, mahal nian............
Aku memperhatikan para warga setempat, bule-bule Belanda sepertinya hidup santai namun menikmati pekerjaan mereka, jam 5 sore sudah meninggalkan kantor, lalu-lalang di jalanan, nongkrong di cafe-cafe, sepertinya tak banyak aktifitas namun mereka hidup makmur dan negaranya maju.
Lalu aku membandingkan dengan warga Indonesia yang punya kebiasaan aneh, peluhnya selalu mengucur manakala makan namun tangannya bersih manakala bekerja sehingga rejekinya semakin menjauh............
Matahari petang ini masih terang menyilaukan, jam menunjukkan pukul 6 sore waktu setempat, aku mau ngopi dulu...............
Amsterdam, 1 Juli 2009
Novianto Herupratomo
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment