Sunday, March 4, 2012

Sistim Keselamatan dan Keamanan Transportasi Udara

Artikel ini ditulis tanggal 28 Januari 2007 manakala banyak pesawat mengalami kecelakaan fatal di Indonesia

Sistim Keselamatan dan Keamanan Transportasi Udara
Sehubungan dengan berbagai musibah transportasi, khususnya kecelakaan pesawat udara komersial pada awal tahun 2007 telah menjadi pembicaraan hangat di segala lapisan masyarakat di Indonesia, bahkan menjadi salah satu pusat perhatian dan keprihatinan Presiden Republik Indonesia.

Berbagai berita yang berkembang dalam media cetak dan elektronik menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan sebagai akibat kesimpang-siuran arus informasi yang bersifat spekulatif, hal mana dapat meresahkan masyarakat serta menghambat upaya perbaikan dalam mencari solusi sistim transportasi publik, khususnya angkutan udara.

Pada dasarnya, sesuai statistic industri transportasi mencatat bahwa transportasi udara adalah moda transportasi yang paling aman sampai saat ini. Hal mana diatur secara ketat secara internasional sebagaimana disebut dalam International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 1 s/d Annex 18 yang secara universal pula diatur oleh setiap negara, yang dalam hal di Indonesia diatur melalui Civil Aviation Safety Regulations (CASR)  Part 1 s/d 830 belum termasuk berbagai Circular (Edaran).

Keselamatan dan keamanan menjadi persyaratan utama dalam industri transportasi udara yang harus ditaati dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh setiap maskapai. Namun, persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan dalam sebuah maskapai juga berkaitan sangat erat dengan sistim keselamatan dan keamanan di pihak otorita penerbangan sipil, bandar udara, pengatur lalu-lintas udara, ground handling, bengkel perawatan pesawat, badan meteorologi, dan menyangkut pemahaman masyarakat yang dalam hal ini diwakili para pengguna jasa transportasi udara. Sehingga sistim keselamatan dan keamanan industri penerbangan menjadi sangat unik, karena sangat tergantung dengan budaya keselamatan dan keamanan sebuah bangsa secara keseluruhan.

Salah satu elemen keselamatan yang tidak diatur secara langsung adalah persyaratan keselamatan dan keamanan bagi para pengguna jasa penerbangan. Ketentuan ini mengenai ini, biasanya diberlakukan oleh otorita penerbangan sipil melalui masing-masing maskapai atau bandar udara. Contoh mengenai ketentuan ini misalnya; penggunaan hand phone di dalam pesawat terbang, pembatasan berat dan ukuran bagasi kabin, ketentuan barang berbahaya, dst.

Dengan demikian, sesungguhnya sistim keselamatan dan keamanan penerbangan telah disusun secara rinci dan sedemikian menyeluruh. Ketaatan dalam melaksanakan sistim keselamatan dan keamanan penerbangan secara sungguh-sungguh, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau operator penerbangan semata, namun menuntut tanggung jawab bersama seluruh unsur terkait, termasuk pengguna jasa penerbangan itu sendiri.

Sebuah pesawat terbang diproduksi dengan sangat aman yang dilengkapi berbagai mekanisme sistim peralatan dan cadangan yang berlapis-lapis serta dioperasikan melalui prosedur kerja yang sangat rinci demi menghindari terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu, sebuah kecelakaan pesawat terbang sipil selalu melibatkan berbagai macam penyebab yang kait mengkait atau tidak ada factor tunggal sebagai penyebab kecelakaan.

Memahami rekonstruksi kecelakaan pesawat terbang dapat dibagi dari berbagai factor penyebab:

  1. Last Defense Failure: merupakan metode kerja atau sistim peralatan yang telah disusun demikian rupa guna mencegah terjadinya kecelakaan pesawat.
  2. Front Line Failures: Melalui pelatihan yang berkesinambungan maka diharapkan mereka mampu mengendalikan peralatan kerja (pesawat) dalam situasi rutin atau kondisi darurat secara handal. Kelalaian menjalankan tugas secara baik dan benar dapat dimasukkan pada kategori ini. Hal yang sama berlaku untuk para petugas lapangan yang lain, misalnya: awak kabin, petugas lalu-lintas udara, petugas check-in counter, petugas muatan, petugas pemberangkatan pesawat, dsb.
  3. Predetermine Contributing Factors: Situasi atau kondisi yang kurang menguntungkan dalam rangka pengoperasian pesawat terbang secara aman. Misalnya; prosedur yang kurang lengkap, cuaca buruk, informasi cuaca yang kurang akurat, fasilitas bandara, kerusakan salah satu sistim atau peralatan pesawat terbang, mengantuk, tekanan mental, masalah rumah tangga, kurang pengalaman, dsb.
  4. Supervisory Failures: kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh manajemen atau para atasan langsung. Hal mana berlaku pula untuk para atasan pada setiap elemen sistim keselamatan dan keamanan penerbangan. Misalnya; lemahnya fungsi control, memberikan perintah yang melanggar ketentuan penerbangan, pelatihan yang kurang memenuhi persyaratan, kurang kompeten pada bidang kerjanya, dsb.
  5. Top Management Failures: kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh top management atau para atasan tertinggi dalam tiap elemen sistim keselamatan dan keamanan penerbangan dalam menentukan kebijakan tertinggi. Jika menyangkut otorita penerbangan sipil maka dapat dikelompokkan dari para Kepala Bidang, Direktorat, Direktur Jenderal, Menteri bahkan Presiden. Jika elemen maskapai maka termasuk CEO, Direktur, Kepala Dinas, dst. Pengelompokan Top Management sangat tergantung dari karakteristik organisasi masing-masing. Kelalaian yang umumnya terjadi adalah ketidak sesuaian pada; Alokasi anggaran kerja, kebijakan awal, pemotongan biaya perawatan, pemotongan biaya pelatihan, atau bahkan rendahnya komitmen terhadap aspek keselamatan dan keamanan secara umum sebagai kurangnya pengetahuan atau wujud kekurang pedulian, dsb.

Melalui penjelasan di atas, maka kecelakaan sebuah pesawat selalu melibatkan berbagai tindak kelalaian atau kerusakan yang ditambah dengan factor penunjang tertentu dan bersamaan itu pertahaan terakhir gagal dilaksanakan atau dioperasikan.

Sebagaimana diatur dalam ICAO Annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation, maka tujuan utama dari proses investigasi kecelakaan pesawat semata-mata hanya dutujukan untuk memahami penyebab kecelakaan sehingga dapat dipergunakan untuk menyusun langkah-langkah perbaikan dalam rangka menghindari kejadian serupa terulang atau mengurangi dampak secara maksimal bila kejadian serupa terulang. Hasil investigasi kecelakaan pesawat terbang tidak boleh dipergunakan sebagai dasar hukuman atau tuntutan hukum.

Sehingga mencari penyebab kecelakaan pesawat terbang tidak dapat disederhanakan dengan hanya mencari “human error” sebagaimana sering disebut-sebut. Dalam industri penerbangan, human error diartikan sebagai kelalaian manusia (bukan kesalahan) mengingat tidak ada kecelakaan pesawat terbang yang terjadi sebagai akibat unsur kesengajaan. Tingkat kelalaian yang paling sederhana adalah lupa (lapse), lalu salah tindak (slip), selanjutnya kesalahan atau kekeliruan baik pemahaman atau tindakan (mistake) dan pelanggaran (violation). Tiga kelalaian pertama biasanya tidak dilandasi oleh factor kesengajaan, sedangkan pelanggaran lebih cenderung dilandasi oleh factor kesengajaan. Oleh karena itu, membicarakan human error dalam kaitan kecelakaan pesawat seyogyanya ditinjau secara menyeluruh dari human error setiap elemen atau factor pemicu kecelakaan pada setiap tingkatan, dan bukan semata-mata mengkonotasikan dengan “pilot error” atau “mechanic error” dst.

Selanjutnya, semua ketentuan penerbangan disusun berdasarkan pemikiran positip dimana ketentuan-ketentuan tersebut disusun tanpa mempertimbangkan akan adanya niat untuk dilanggar. Hal mana sangat berbeda dengan ketentuan hukum yang biasa dikenal (hukum pidana atau perdata) yang cenderung disusun untuk tujuan menghukum dengan tujuan untuk mendapatkan efek jera. Apalagi jika menilik lebih dalam pengertian “error” dalam dunia penerbangan, sangat berbeda dengan “error” dalam bidang hukum. Kelalaian dalam bidang hukum dipandang sebagai tindak pelanggaran mengingat pelanggaran hukum senantiasa diawali dengan sebuah “motif” atau “niat”, sedangkan lalai dalam pengertian penerbangan, cenderung dipandang sebagai diluar kesengajaan.

Sebagai akibat perbedaan pengertian ini, maka justru tidak akan meyelesaikan persoalan jika “pelaku” atau “saksi” kecelakaan pesawat dihukum, apalagi dipandang sebagai tindak kriminal. Sebagaimana diatur dalam ICAO Annex 13 tersebut, hanya ada beberapa Negara di dunia yang menerapkan hukuman kriminal terhadap pelaku tindak kecelakaan pesawat terbang, misalnya negara Jepang (itupun sepengetahuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa cq ICAO) sehingga untuk itu, kepolisian Negara tersebut dibekali pemahaman yang memadai tentang seluk beluk industri penerbangan. Kesimpulannya, melakukan penuntutan hukum kepada para pelaku kecelakaan pesawat terbang hanya akan menyelesaikan persoalan yang tampak di permukaan saja, padahal justru yang diharapkan adalah terjadinya perubahan secara sistimatis dan menyeluruh terhadap sistim keselamatan dan keamanan penerbangan dengan harapan kejadian serupa tidak terulang dikemudian hari.

Terlepas berbagai kesangsian yang berkembang, maka sesuai ICAO Annex 13 tersebut, satu-satunya badan yang berwenang menyelidiki kecelakaan transportasi umum, termasuk pesawat terbang komersial  di Indonesia adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), sehingga memang terasa “ganjil” jika kita mendengar ada pelaku kecelakaan pesawat terbang di “periksa” dan di “penjara” oleh pihak berwajib, barangkali hanya terjadi di Indonesia tanpa sepengetahuan PBB.

Sedangkan satu-satunya badan yang berwenang untuk melakukan pencarian dan penyelamatan korban kecelakaan transportasi umum di Indonesia adalah Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) dengan dibantu berbagai unsur instansi atau kemasyarakatan yang ada.

Di Indonesia, tercatat lebih dari 34 juta penumpang pesawat udara komersial menikmati moda transportasi ini ke berbagai kota tujuan dan industri penerbangan telah membukukan lebih dari 360.000 tinggal landas yang dilalui dengan selamat oleh berbagai maskapai penerbangan nasional pada tahun 2006. Hal mana sangat menunjang  perekonomian nasional secara luas.

Terlepas dari berbagai kekurangan atau ketidak sempurnaan yang ada, maka dipandang perlu agar para pihak menghentikan silang pendapat seputar kecelakaan transportasi umum yang memperkeruh suasana dengan pemberian informasi yang kurang akurat atau berspekulasi tentang penyebab kecelakaan. Hal mana justru sangat merugikan masyarakat umum dan mempersulit proses perbaikan ke depan, serta dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi udara yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ekonomi dan ketahanan nasional pada umumnya.

Jakarta, 28 Januari 2007
Novianto Herupratomo

4 comments:

  1. Terima kasih artikelnya, menarik sekali....
    Saya ingin mengetahui pendapat bapak bagaimana jika dihubungkan dengan keberadaan Pasal 411, Pasal 438 UU No. 1 Tahun 2009...

    ReplyDelete
  2. Mr. Anonymous,

    Saya pikir Pasal 53 dan Pasal 411 mengatur tentang setiap orang dilarang menerbangkan atau mengoperasikan pesawat terbang yang dapat membahayakan keselamatan. Pasal tsb jelas melarang tindak kesengajaan atau profesional negligance terhadap faktor keselamatan penerbangan.

    Selanjutnya, saya kutipkan

    Pasal 433

    Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Ketentuan diatas sebenarnya mengatur tentang "Air Marshall" (Pasal 341). Sepanjang yang saya ketahui, Air Marshall harus diatur keberadaannya oleh negara karena merupakan petugas negara (aparat keamanan) yang dilatih khusus untuk bertugas dalam sebuah penerbangan. Kehadiran Air Marshall tentu atas perintah negara kepada maskapai untuk menghadapi atau mengantisipasi situasi keamanan yang dipandang pemerintah cukup rawan. Oleh karena Air Marshall ini "mewakili" negara dan umumnya dipersenjatai maka memerlukan Perjanjian Bilateral dengan negara tujuan penerbangan.

    Beberapa negara memang ada yang menugaskan Air Marshall dalam penerbangan mereka (saya tak dapat sebutkan di sini). Sementara itu, Indonesia belum menugaskan Air Marshall pada penerbangan nasional kita.

    Terima kasih,
    NV

    ReplyDelete
  3. Trimaksh Capt atas penjelasannya,
    Namun ada hal yg ingin sy smpaikan terkait artikel di atas,
    Berbicara mengenai pemahaman “human error” dlm dunia penerbangan, sepengetahuan sy memiliki maknawi yang sebanding dlm hkm pidana yang dianut di Indonesia. Hkm pidana pun mengenal kesalahan dlm arti luas yakni kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Hal ini berarti “setiap orang” dpt dikenakan pid jika terbukti adanya kesalahan (dlm arti luas) dlm suatu tindak pidana. Begitu pula halnya dg pilot, sbgmn yg tercantum dlm UU Penerbangan kita yg brlaku saat ini yg scr eksplisit tercntm dlm Psl 438 dan implisit diantaranya dlm Psl 411.
    Wass,

    ReplyDelete
  4. Mr/Mrs Anonymous,

    Pertama-tama terima kasih kembali atas tanggapannya. Saya sebenarnya bukan seorang yang memahami tatanan hukum, apalagi untuk disebut sebagai ahli.

    Sebagaimana sudah saya jelaskan mengenai "human error" bukan berarti "error-nya pilot" atau "error-nya" orang per orang. Inilah yang sesungguhnya idealnya berbeda penerapan hukum Pidana untuk umum dan personil penerbangan yang sudah diatur dalam UU Penerbangan No 1 tahun 2009 (yang juga sudah mengatur masalah sanksi).

    Konteks pembicaraan kita adalah "kecelakaan penerbangan", pertama-tama nyaris tidak ada kecelakaan penerbangan yang disengaja atau direncanakan atau disertai motif ingin celaka.
    Kedua, tidak ada satupun kecelakaan pesawat udara yang disebabkan oleh 'single factor", selalu berupa "chain of errors".

    Jadi kecelakaan penerbangan "selalu" berupa chain of errors yang disebabkan oleh beberapa faktor kontribusi secara berlapis.

    Sehingga dalam penerapan "pengadilan" untuk mempidanakan seseorang pelaku kecelakaan pesawat terbang "idealnya" seluruh kontributor penyebab kecelakaan yang bisa jadi diawali dari Penguasa Tertinggi Negeri ini, Direksi Maskapai, Management bandara, management ground handling, petugas ATC, pilot, awak kabin, dispatcher, teknisi, petugas BMKG, bahkan jangan-jangan termasuk penumpang pesawat sendiri.

    Bagaimanapun "semangat" dari berbagai ketentuan yang berlaku dalam industri penerbangan adalah "no blame culture" demi memperbaiki sistim keselamatan dan keamanan penerbangan serta bukan untuk menghukum seseorang untuk mendapatkan efek jera sebagaimana halnya penjahat kriminal.

    Sekarang pertanyaan kita balik, apakah dengan itu personil penerbangan dapat dibebaskan dari jerat hukum?

    Jawabnya TIDAK.

    Sesuai dengan hakekat isi UU Penerbangan No 1 tahun 2009 maka seseorang dapat dipidanakan jika nyata-nyata terbukti bersalah melanggar ketentuan............yang semua itu secara rinci telah diatur berikut denda dalam UU Penerbangan dimaksud.

    Sekali lagi, ini pendapat pribadi berdasarkan praktek keselamatan dan kemananan penerbangan selama bertahun-tahun.

    Itulah salah satu alasan, dunia penerbangan internasional "marah" kepada Indonesia ketika seorang pilot "pelaku" kecelakaan diadili di Pengadilan Negri Sleman beberapa tahun yang lalu yang justru memicu tidak diakuinya sistim keselamatan penerbangan di Indonesia. Sekali lagi, kecelakaan pesawatnya harus dikutuk dan disesali dengan harapan dapat dihindari pada masa mendatang dengan cara melakukan investigasi menyeluruh dan menyelesaikan proses perbaikan seluas-luasnya. Namun,dunia "marah" pada proses pengadilannya.

    Percayalah, melalui suatu proses mekanisme Kode Etik, para pelaku kecelakaan yang benar-benar terbukti "melanggar" dan mengakibatkan kecelakaan pesawat terbang akan menerima ganjaran yang setimpal.

    Salam hangat,
    NV

    ReplyDelete