Semalam aku diundang makan malam oleh Kedubes Swedia untuk merayakan penanda-tangan MOU antara pemerintah Swedia dan Indonesia mengenai bantuan proyek konsultasi mengenai penerapan Green Airport yang meliputi 3 aspek yakni penyusunan Regulasi, Eco-Airport Concept dan Green Flight termasuk didalamnya proses monitoring, kontrol dan pengkuruan emisi maupun kebisingan.
Keterlibatanku pada isu lingkungan hidup berkaitan dengan proyek bantuan negara asing bukanlah yang pertama kali, apalagi jika menyangkut kerja sama dibidang keselamatan dan keamanan penerbangan. Beberapa perwakilan negara atau institusi asing selalu melibatkanku minimal sebagai salah satu Nara sumber sebelum menggelar proyek bantuan ke Indonesia.
Dalam hal lingkungan hidup, selain kerja sama dengan anggota maskapai Asosiasi Asia Pacific, aku juga menjalin hubungan baik dengan Australia, Amerika, Jepang, Inggris, Belanda, Jerman, dsb.
Pada COP Summit di Copenhagen, Presiden SBY mengejutkan para pemimpin dunia yang hadir saat itu karena memberikan pidato komitmen Indonesia yang intinya menyatakan bahwa Indonesia berjanji mengurangi emisi CO2 sebesar 26% pada tahun 2020 dibandingkan dengan emisi tahun 2005 jika melakukan "business as usual" dan bahkan berjanji mengurangi emisi CO2 sampai 41% pada tahun 2020 jika dibantu oleh negara-negara maju di dunia.
Itu sebuah janji yang luar biasa hebat dan acapkali menjadi bahan "cemooh" negara-negara lain maupun para ahli serta praktisi lingkungan hidup yang meragukan kemampusn Indonesia dalam berbagai forum pertemuan.
Namun pada pertemuan B4E (Business for Environment) yang dipelopori oleh Mantan Wakil Presiden Al Gore yang diselenggarakan di Shangri-La Jakarta April tahun lalu, kembali Presiden SBY menyampaikan pesan itu dalam pidato yang sangat memukau publik yang hadir saat itu dan menyatakan Indonesia pasti bisa!
Semenjak itu, berbondong-bondong negara-negara atau institusi asing datang ke Indonesia untuk membantu pemerintah Indonesia dalam rangka pengendalian isu lingkungan hidup khususnya yang berkaitan pemanasan global. Umumnya mereka masuk melalui Kementrian KLH, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Perhubungan atau KADIN.
KADIN juga menyambut isu lingkungan hidup dengan membentuk Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) yang bernaung dibawah World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dimana Garuda Indonesia menjadi salah satu dari enam perusahaan pelopor (Founding Father) dari IBCSD.
Garuda Indonesia sudah beberapa tahun belakangan menjadi "penggiat" lingkungan hidup, dengan berbagai program misalnya saja One Passenger One Tree sebuah program adopsi pohon bagi penumpang GA bekerja sama dengan Yayasan the Royal Silk dI Jogyakarta, penanaman 100.000 pohon pada areal seluas 250 hektar di Hutan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah kerja sama dengan WWF Indonesia, penanaman pohon di Aceh, Sumatera Barat, Riau, dan terakhir penanaman Mangrove di sisi Selatan jalan Tol Prof Dr Sedyatmo bekerja sama dengan Pemda DKI sejumlah 10.000 pohon Mangrove yang menurut MURI menjadi rekor dunia penanaman Mangrove secara serentak melibatkan siswa sekolah dan masyarakat sekitar.
Selain itu, Garuda Indonesia juga pendukung setia dari gerakan dunia yang dikenal sebagai Earth Hour selama 4 tahun berturut-turut yang mana ada kemungkinan besar Garuda Indonesia akan dijadikan perusahaan model kepeloporan gerakan Earth Hour dari sektor industri di Indonesia.
Sebagai maskapai penerbangan,
Garuda Indonesia juga melaksanakan program penjaminan emisi dan kebisingan bagi seluruh pesawat terbang yang dioperasikan dan didokumnetasikan secara baik dalam sebuah manual panduan kerja. Semua pesawat GA dipastikan selalu berada dibawah ambang batas noise, baik sebelum maupun saat dioperasikan. Pengendalian emisi dilakukan dengan cara menyusun program Fuel Conservation dengan target penghematan minimal 3% sehingga jutaan ton CO2 dapat dihindari menjadi polusi yang mencemari angkasa.
Aku sangat yakin, sudah banyak industri atau perusahaan di Indonesia yang melakukan berbagai upaya lingkungan hidup dalam rangka mengurangi pemanasan global sebagaimana yang dilakukan Garuda Indonesia.
Sayangnya, pemerintah Indonesia belum mengatur sama sekali sistim insentif bagi semua upaya itu...........
Carbon Offset
Carbon Offset merupakan salah satu program "voluntary" dimana masyarakat pengguna jasa penerbangan Garuda Indonesia dapat mengkompensasikan (off-setting) jejak emisi CO2 (Carbon footprint) dari setiap penerbangan yang dilakukan oleh masing-masing penumpang pesawat terbang. GA melakukan program Carbon Offset bekerja sama dengan IATA (International Air Transport Association) dimana penumpang dapat membayar jumlah uang tertentu sesuai dengan lamanya jam terbang secara suka rela, lalu penumpang tsb dapat memilih uang darinya akan disalurkan untuk mendanai proyek lingkungan hidup sesuai keinginannya dalam rangka mengkompensasikan emisi yang dihasilkan dari penerbangannya.
Aku sebagai warga negara Indonesia yang turut menyusun program Carbon Offset tsb tentu sangat ingin agar dana yang dapat dihimpun dari program Carbon Offset diperuntukkan bagi proyek-proyek lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Lha, buat apa kita harus mendanai proyek di negara lain, bukan?
Namun sialnya, di Indonesia hanya ada 1 proyek lingkungan hidup yang telah disertifikasi secara Internasional dalam bentuk VER (Voluntary Emission Reduction) atau CER (Certified Emission Reduction) dan proyek satu-satunya itu adalah usaha Geothermal (milik asing) di daerah Jawa Barat.
EU ETS
European Union Emission Trading System atau Scheme yang dikenal sebagai EU ETS merupakan sistim "pungutan" bagi industri yang beroperasi di-, ke- dan dari- kawasan negara Uni Eropa. Sebenarnya maksud tujuan EU ETS untuk mengurangi polutan semua industri di Eropa. Proses perhitungan emisi sudah dimulai sejak tahun 2004 sd 2006 lalu atas dasar perhitungan itu dibuatkan semacam alokasi kuota bagi masing-masing industri dan diturunkan lagi sampai tingkat kuota emisi di masing-masing perusahaan termasuk didalamnya maskapai penerbangan.
Kuota emisi secara bertahap akan dikurangi sampai sebesar 97% pada tahun 2020 dan dengan cara itu Uni Eropa dapat mengendalikan laju emisi mereka.
Secara normal dibagi 3 kelompok emisi;
- deminimis adalah kelompok perusahaan yang emisi setahun dibawah ambang batas kuota minimum yang ditetapkan
- lebih kecil dari pada kuota emisi setahun maka perusahaan tsb dapat menyimpan "tabungan" kredit emisi untuk tahun depan atau menjual kredit emisi ke perusahaan lain yang membutuhkan dengan harga sesuai pasar Carbon Credit
- lebih besar Dari pada kuota emisi setahun maka perusahaan tsb harus membayar denda berupa membeli kredit karbon pada pasaran Carbon Credit atau membelinya dari perusahaan yang memiliki kelebihan kredit karbon.
Pasaran Carbon Credit itu seperti layaknya pasar saham yang didirikan di Eropa yang khusus menangani Carbon Credit dengan harga satuan yang berfluktuasi naik turun sesuai harga pasaran Carbon Credit.
Dana penjualan Carbon Credit yang dihimpun kemudian akan disalurkan pada usaha proyek pelestarian lingkungan hidup di kawasan Uni Eropa.
Tentu saja beberapa negara langsung menentang program ini bahkan Amerika langsung mengajukan gugatan Arbitrase meskipun akhirnya di menangkan oleh pihak Uni Eropa. Negara Cina melarang pembelian pesawat produksi Airbus (Eropa) sebagai balasan atas EU ETS. Beberapa negara lainnya termasuk IATA menentang keras upaya EU ETS. Negara lainnya barangkali hanya bersungut-sungut dan sedang memikirkan upaya serupa untuk diterapkan di negaranya masing-masing.
Bagaimana Indonesia menghadapi isu EU ETS?
Pihak yang teimbas secara langsung akibat penerapan EU ETS adalah Garuda Indonesia.
Sayangnya pemerintah Indonesia tampaknya ragu bersikap menghadapi EU ETS ini. Beberapa kali pihak Kemetrian Perhubungan, Kemenlu, Kemetrian KLH dan Kementrian BUMN bahkan DPR RI mengundang atau bertanya "Bagaimana sikap Garuda Indonesia menghadapi EU ETS?" yang ujung-ujungnya pertanyaan semacam itu akan mengarah ke aku secara pribadi.
Ini benar-benar situasi yang membingungkan...............bukankah kewajiban pemerintah dan DPR untuk menyatakan sikap mengenai EU ETS dan selanjutnya semua badan usaha di Indonesia hanya mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
Sikap Garuda Indonesia sudah jelas, sebagai badan usaha transportasi penerbangan yang menerbangi rute Dubai ke Amsterdam (kawasan Uni Eropa) adalah mentaati semua ketentuan mereka. Ibarat usaha angkutan, jika semisalnya tarif jalan Tol Cikampek secara mendadak dan sepihak dinaikkan menjadi 1 juta rupiah sekali jalan, pasti semua kendaraan yang membutuhkan jalan Tol tsb tetap akan membayar tarif Tol semahal itu, selama masih ada prospek bisnis yang menguntungkan. Berapapun biaya operasi yang harus didanai pasti akan disediakan dan ujungnya akan menaikkan harga tarip tiket atau angkutan kepada konsumen, bukan?
Tapi secara pribadi, aku sangat tidak setuju dengan penerapan EU ETS semata-mata karena emisi gas buang pesawat terbang itu sesungguhnya sudah terjadi semenjak pesawat berada di Indonesia, melintasi angkasa Teluk Benggala, Timur Tengah, Timur Jauh dan akhirnya ke Eropa. Tapi kita hanya dipungut biaya hanya untuk kawasan Eropa yang notabene dana yang terkumpul hanya untuk melindungi laju emisi di kawasan Uni Eropa.
Sebenarnya dengan kata lain, ETS seyogyanya upaya global bukan berlaku untuk satu kawasan saja mengingat pemanasan global akibat emisi itu mencemari seluruh atmosfir yakni dunia kita bersama yang hanya satu-satunya ini.
Hutan Tropis
Hutan Tropis yang kemudian diyakini sebagai paru-paru dunia merupakan kawasan hutan hujan yang luasnya hanya sekitar 2% luas permukaan bumi, namun sanggup menyediakan 40% oksigen bagi dunia. Mayoritas habitat spesies dan tumbuhan langka di dunia berada di kawasan hutan Tropis yang memiliki kelembaban tinggi dan curah hujan sampai 250 inci setahun.
Kawasan hutan Tropis saat ini adalah didaerah Amazon, sebagian kecil hutan di Afrika dan di wilayah Indonesia.
Sialnya Indonesia lebih dikenal sebagai biangnya pembalakan liar atau pembakaran lahan hutan dan bukan sebagai paru-paru dunia yang idealnya memiliki semacam insentif atau keistimewaan dibebaskan dari seluruh kewajiban pungutan atau iuran lingkungan hidup dalam bentuk apapun, bahkan idealnya seluruh produk dan jasa Indonesia diberikan pajak bea masuk ke seluruh dunia lebih ringan dari negara lain!
Bukannya negara-negara lain membantu Indonesia malah mengenakan pungutan EU ETS ke maskapai nasional Indonesia?
Biofuel
Biofuel sebenarnya lebih merupakan enerji pengganti bahan bakar fosil dari pada upaya lingkungan hidup itu sendiri. Emisi yang dihasilkan oleh Biofuel hanya sedikit lebih baik dari pada emisi gas buang bahan bakar minyak bumi. Kita semua paham bahwa bahan bakar fosil minyak bumi dapat habis dan perlu dicarikan enerji alternatif substitutif dari bahan tanam-tanaman misalnya saja biji Jarak, Jagung, Bunga Matahari, atau Algae dsb.
Kita pasti paham bahwa Kelapa Sawit merupakan andalan kita, Indonesia merupakan produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia tapi Malaysia merupakan eksportir Kelapa Sawit terbesar di dunia, menyusul kemudian negara Brazil.
Sementara ini yang dikenal adalah Bio-Diesel, sedangkan Aviation Biofuel pengganti Avtur atau Fuel Jet A1 masih merupakan barang langka berupa uji coba.
Malaysia sudah mampu memproduksi jutaan liter Aviation Biofuel dari bahan Kelapa Sawit, begitu konon kata mereka pada sebuah pertemuan Internasional, sementara aku belum menemukan perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia yang mampu menyediakan 10 juta liter Aviation Biofuel.
Kalau aku boleh memilih maka ingin sekali melihat produksi Aviation Biofuel dari Kelapa Sawit Indonesia yang pengilangannya juga di Indonesia.
Tpai, industri Kelapa Sawit selalu dituduh sebagai perambah hutan, perusak lingkungan karena akarnya menyedot banyak air bumi, dll.
Mayoritas penggiat lingkungan hidup memprotes produk minyak Kelapa Sawit. Green Peace merupakan salah satunya yang paling keras menentang industri Kelapa Sawit, apalagi dari Indonesia.
Boeing dan Airbus sebagai pabrikan pesawat terbang komersial juga tampaknya "ogah" mendukung pemanfaatan Kelapa Sawit sebagai bahan Aviation Biofuel.
Anehnya lagi, pemerintah Indonesia juga tak terdengar melakukan promosi atau melobi negara asing dalam forum pertemuan resmi mengenai industri Kelapa Sawit di Indonesia yang terkendali secara baik dan ramah lingkungan.
Dalam sebuah seminar lingkungan hidup, maskapai nasional Jerman, Lufthansa dengan bangga menceritakan success story trial flight biofuel mempergunakan bahan Jathropa yang konon ditanam di daerah tanah tak produktif di Jawa Tengah. Bahan Jatropha tsb kemudian dikirimkan ke Finlandia untuk dikilang dan kemudian dikirimkan ke Hamburg sebagai Aviation Biofuel.
Aku hanya bertanya "Hei Bung, saya ini orang Indonesia, saya kenal Jawa Tengah itu seperti apa? Tunjukkan ke saya Jawa Tengah bagian mana yang anda katakan sebagai kawasan tanah tak produktif?"
Ia hanya mengelak menyatakan "itu keterangan dari pabrik pengilangan minyak Aviation Biofuel".
Didalam sebuah forum pertemuan internasional, aku pernah melontarkan ide nakal "Saya akan beli dari siapapun Aviation Biofuel sejumlah 10 juta liter pada tahun 2015 atau sebelumnya dengan syarat berbahan dasar Kelapa Sawit dari Indonesia, telah disertifikasi bahwa industri Kelapa Sawit tsb ramah lingkungan dan harus mampu mengirimkan ke pesawat saya secara berkesinambungan!"
Anda tahu, yang mengangkat tangan adalah perwakilan asing........tak ada satupun usahawan Indonesia atau pejabat Indonesia yang berdiri menyatakan kesanggupannya.
Jadi Aviation Biofuel juga didominasi negara maju dan bahkan Kelapa Sawit didengungkan sebagai komoditi yang patut dimusuhi.......kita semua terdiam saja disetir oleh mereka!
Asumsikan saja Aviation Biofuel itu tersedia di Indonesia, harganya minimal 2 kali lipat dari Avtur dan pemerintah tak turun tangan memberikan keringanan pajak atau insentif apapun, lantas maskapai penerbangan mana yang mau berkorban untuk itu?
Proses Sertifikasi
Aku sangat yakin sudah sangat banyak proyek-proyek atau aktifitas atau kegiatan penghijauan atau Eco Friendly atau apapun namanya yang yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia dengan tujuan akhirnya adalah mengurangi laju pemanasan global.
Meskipun barangkali juga semua upaya Green actions masih malu-malu berkiblat pada pencintraan atau sekedar marketing gimmick semata. Tak apalah, yang penting sudah melakukan atau berusaha melakukan.
Namun bagian yang masih langka itu di Indonesia adalah proses sertifikasi!
Ketika masalah ini aku ungkapkan ke salah satu pejabat Kementrian KLH malah setengah dihardik "Buat apa? Yang penting kita jalan terus!"
Eh, eh, eh.......saat ini ada dana talangan dunia untuk program atau proyek pengembangan lingkungan hidup namun Indonesia tak dapat memanfaatkannya karena semua proyek yang digelar tak pernah dilakukan sertifikasi yang memadai dan diterima secara Internasional (VER atau CER).
Semua badan sertifikasi masalah penghijauan atau penghutanan selalu didominasi oleh pemerintah atau agensi asing, tak ada satupun lembaga sertifikasi di Indonesia yang mumpuni yang hasilnya diterima secara Internasional.
Ratusan ribu pohon telah kami tanam dalam berbagai proyek penghijauan di berbagai daerah yang menelan dana milyaran rupiah. Namun mendatangkan tim ahli sertifikasi asing untuk melakukan sertifikasi agar semua proyek tsb dapat diterima sesuai kaidah reforestasi memerlukan biaya yang lebih besar dari pada biaya penanaman pohon-pohon itu sendiri. Memang ironis................
Menyangkut proses sertifikasi semua pihak di Indonesia saling tuding "itu bukan bagian tanggung jawab kami".
Aku lontarkan ide "dari pada kita hanya buang-buang tenaga dan pikiran melayani bantuan proyek negara asing ke Indonesia yang notabene hanya memberi makan dan penghasilan kepada orang mereka, mengapa kita tak meminta mereka agar mengirimkan Tim sertifikasi ke Indonesia dan menggratiskan semua biaya sertifikasi bagi semua industri di Indonesia yang melakukan upaya lingkungan hidup?"
Mereka hanya menggelengkan kepala tanda kurang setuju.........
Suaraku juga semakin parau dan lemah........
"Halo? Anybody home? Knock knock knock...........
Indonesia adalah paru-paru dunia
Indonesia adalah produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia
Mana insentif untuk kami?
Mana recognition untuk kami?
Mana bantuan sertifikasi untuk kami?
Presiden SBY sudah mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26% pada tahun 2020, bahkan bisa mencapai 41% jika mendapat bantuan negara maju, itu mau dihitung dengan cara bagaimana jika di sini tak ada sistim atau badan sertifikasi?
Halo.........aku malu!"
Dan........
Sederetan kotak sampah berwarna-warni Biru, Hijau, Kuning, Merah hanya terdiam kosong tak ubahnya hiasan pajangan Waste Management di setiap kantor karena masyarakat Indonesia lebih gemar membuang sampah di jalanan atau di bantaran sungai.
Wallahu a'lam
NV
assalamu a'alam
ReplyDeletesalam kepada bapak novianto. Tulisan bapak ini mengenai EU ETS masih sangat langka saya temui di Indonesia, terutama mengenai bidang emisi aviasi sendiri. Saya setuju dengan ulasan EU ETS di bidang aviasi yang telah bapak utarakan. Dan kata - kata bapak yang mengatakan bahwa EU ETS memang tidak pantas untuk di berlakukan, sebenarnya juga memiliki indikasi untuk melanggar prinsip MFN ( most favoured nation ) yang terdapat didalam GATS. Sekarang tinggal bagaimana kah pemerintah Indonesia mensikapi atas kebijakan komisi Uni Eropa tersebut. Karena memang yang merasakan dampak langsung adalah industri penerbangan Indonesia yang memiliki jadwal penerbangan di Eropa dan tentu saja penumpang sendiri yang harus membayar biaya lebih.