DAMAINYA MENINGGAL DI RUMAH
Sebuah ambulance mendekati Douglas DC-9 yang sedang dalam persiapan untuk kembali dari Blang Bintang Banda Aceh (BTJ) ke Polonia Medan (MES). Sudah menjadi rutinitas dalam operasional jika sebuah mobil ambulance mendekati pesawat maka dapat diduga kita akan mengangkut penumpang sakit, dan biasanya bukan “sakit biasa”.
Siang itu, kita dihadapkan dengan situasi dilematis karena mendapati penumpang sakit tersebut menderita komplikasi stroke, oxygen bottle yang dibawa adalah oxygen bottle ukuran raksasa yang biasa kita lihat di bengkel tukang las, dan tidak ada stretcher case di Banda Aceh padahal ia seorang pria paruh baya yang kesakitan di dalam ambulance.
Lebih dari itu, keluarga korban memohon dengan sangat dengan menyatakan mereka adalah keluarga besar pelanggan setia Garuda Indonesia sejak jaman Belanda dan harus pulang ke Medan hari itu karena penumpang pasien tersebut adalah ayahanda tercinta yang telah berbulan-bulan dirawat di Banda Aceh yang menginginkan pulang dan meninggal di rumah, di Medan. Masyallah.............................
Semua awak pesawat segera “rapat kilat” membahas berbagai kemungkinan demi mencari solusi terbaik.
Tentu saja diperlukan berbagai persyaratan untuk membawa penumpang sakit untuk terbang dengan pesawat penumpang komersial, antara lain; kemampuan penumpang itu sendiri untuk bepergian dengan tekanan udara yang agak rendah, pernyataan dari dokter tentang jenis sakit, jumlah oksigen yang lebih rendah, stretcher case jika diperlukan, oxygen bottle yang memenuhi standar penerbangan, adakah pendamping pasien selama penerbangan, dst.
Kami secara langsung mewanwancarai pasien di dalam Ambulance dan menerangkan duduk persoalan serta berbagai konsekuensi yang mungkin timbul selama penerbangan ke Medan. Wawancara langsung ini diperlukan untuk menyakinkan kesiapan pasien sekaligus kesiapan awak pesawat yang dapat terjadi selama penerbangan.
Kami juga menerangkan bahwa kami akan “merelakan” satu portable oxygen bottle yang disediakan untuk awak pesawat untuk dipergunakan pasien karena tidak mungkin membawa oxygen bottle tidak standard. Memperhitungkan lama penerbangan 1 jam maka portable oxygen bottle masih dapat dipergunakan oleh awak pesawat jika sungguh-sungguh diperlukan dan menyakinkan bahwa Medan mempunyai pengganti Oxygen Bottle untuk penerbangan dari Medan ke Jakarta.
Tanpa adanya stretcher case maka pasien harus memahami jika tidak dimungkinkan untuk tidur telentang.
Biasanya, awak kabin harus duduk di Jump Seat belakang menghadap ke arah kokpit selama tinggal landas dan mendarat. Khusus pada penerbangan ini maka kami memutuskan untuk menempatkan satu awak kabin untuk duduk di sisi pasien yang memudahkan ia memantau kondisi pasien setiap saat.
Awak pesawat juga mensimulasikan kemungkinan terburuk jika pasien meninggal dalam penerbangan maka akan muncul berbagai “kerepotan” selama penerbangan.
Akhirnya, kami menyodorkan sebuah pernyataan yang perlu ditanda-tangani oleh keluarga untuk membebaskan Garuda Indonesia dari segala bentuk tuntutan jika ayahanda meninggal selama penerbangan BTJ ke MES.
Acapkali kita dihadapkan dengan suatu situasi yang tidak mudah untuk diputuskan meski sudah ada panduan untuk itu. Memang adakalanya diperlukan penyesuaian di tempat demi mencapai solusi terbaik dalam menjalankan suatu misi.
Singkatnya kita menggotong sang “ayahanda” dan menempatkannya di kursi paling belakang lalu menyematkan crew portable oxygen bottle untuk beliau karena oxygen bottle yang beliau bawa terlalu “raksasa”. Lalu meminta Medan mempersiapkan pengganti portable Crew Oxygen Bottle dan ambulance serta menempatkan salah seorang Pramugari untuk duduk mengawasi di dekat beliau.
All set!........................
Pintu pesawat ditutup dan mesin kanan mulai dinyalakan, tugas Copilot menanyakan ke pramugari belakang “bagaimana bapak kita, masih ok?”
Mesin sebelah kiri menyala, “bagaimana bapak kita, ok?”
Pesawat mulai merayap meninggalkan apron, “bagaimana bapak, ok?”
Pesawat mulai open throttle...............”THRUST SET”, suara mesin mulai menderu dan pesawat bergerak melaju semakin cepat di landasan serta goncangan mulai terasa ................. “ROTATE” dan “GEAR UP” pesawat tinggal landas dengan selamat.
Tak lama setelah tinggal landas “TING – TUNG” Intercom di Cocpit berbunyi dan pramugari melaporkan bahwa bapak baru saja meninggal dunia.
INNA ILLAHI WA’INNA ILLAIHI ROJIUN............................
Mulailah berbagai kesibukan di dalam pesawat menyusul wafatnya “bapak” di dalam pesawat Garuda Indonesia karena penumpang yang meninggal di dalam pesawat memerlukan pengaturan khusus.
Pertama-tama memastikan waktu dan lokasi yang tepat pada jalur penerbangan dari dokter atau para saksi yang mengetahui mennggalnya penumpang. Hal ini memang sudah terbayang sejak awal ketika kita mengadakan “rapat kilat” ketika di Banda Aceh.
Berikutnya, menyantuni jenazah sebaik-baiknya dan menjaga situasi di dalam pesawat agar tidak berdampak terlalu buruk terhadap penumpang lain.
Selanjutnya melakukan prosedur dan melengkapi berbagai surat administrasi sehubungan meninggalnya penumpang di dalam pesawat.
Pendek kata, penerbangan yang hanya satu jam menjadi super sibuk dan waktu berlalu sangat cepat.
Segala sesuatunya telah dikoordinasikan bersama Banda Aceh dan Medan, sehingga ketika tiba di Medan, sebuah ambulance dan seluruh keluarga almarhum telah bersiap menyambut kedatangan jenazah dengan penuh rasa duka.
Sesuai skenarion “Rapat Kilat” maka semua penumpang kecuali keluarga almarhum diminta turun melalui pintu depan.
Setelah itu, pintu belakang dibuka untuk memberi jalan bagi keluarga almarhum.
Semua awak pesawat berjajar menyambut keluarga almarhum untuk menyampaikan bela sungkawa.
Belakangan kami mendengar laporan bahwa keluarga almarhum menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang amat besar atas berbagai upaya istimewa layanan Garuda Indonesia pada hari terakhir sebagaimana diminta almarhum.
Hari Jum’at, Ayahanda keluarga besar Nasution meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia, pulang ke rumahnya dan dimakamkan di Medan sesuai keinginan almarhum.
Sejak itu, duka dan cita keluarga besar Nasution meningkat menjadi tali persaudaraan dengan seluruh keluarga besar Garuda Indonesia hingga kini.
Pesan Moral
Awak pesawat kadang dihadapkan pada situasi yang dilematis, mengikuti keinginan pelanggan namun terbentur peraturan yang ada, misalnya mempergunakan crew portable oxygen bottle bagi penumpang. Mengangkut penumpang sakit dalam pesawat terbang pada dasarnya mengandung resiko yang harus dihindari yaitu kematian sewaktu-waktu. Apalagi mengangkut penumpang sakit yang secara kasat mata diperkirakan “kurang kuat” untuk terbang. Belum lagi membayangkan kerepotan tambahan pekerjaan awak pesawat jika penumpang meninggal di Udara.
Pada sisi lain, keluarga almarhum sudah sampai pada sebuah titik kulminasi melaksanakan upaya perawatan berbulan-bulan di Banda Aceh dan permintaan keluarga almarhum agar “memulangkan” almarhum ke rumah di Medan merupakan bujukan yang dilematis demi pelanggan setia Garuda Indonesia.
Berkat pengertian dan kerja-sama seluruh awak pesawat, petugas darat dan khususnya keluarga almarhum maka misi penerbangan BTJ – MES terlaksana dengan resiko yang dapat diperhitungkan, bahkan menambah pelanggan sebagai keluarga besar yang secara emosional bertautan.
Rangkaian kisah ini merupakan bukankah wujud nyata dari keseluruhan Budaya Perusahaan FLY-HI.
Catatan Penulis: Dicuplik dari kisah nyata sekitar tahun 1984.
Jakarta, 4 Maret 2008
No comments:
Post a Comment