Pasal 55
Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang
bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan,
ketertiban, dan keamanan penerbangan.
Kewenangan Pilot in Command
(PiC) selama penerbangan bersifat mutlak sejalan dengan Tokyo Convention sesuai
International Civil Aviation Organization (ICAO) serta Civil Aviation Safety
Regulation (CASR). Termasuk didalamnya menahan seseorang, menolak atau
menurunkan orang dan muatan pada suatu bandara, bahkan melanggar suatu prosedur
jika menurut pertimbangannya justru akan mengancam keselamatan dan keamanan
penerbangan saat itu.
Dalam dunia penerbangan
juga ada istilah As Captain Discretion (SCD) yaitu memutuskan segala sesuatu
yang tidak atau belum diatur dalam regulasi.
Yang dimaksud “selama
terbang” seringkali dipahami sebagai saat sebuah pesawat terbang menutup pintu,
menyalakan mesin, bergerak sampai pesawat berhenti, mematikan mesin dan membuka
pintu (door closed until door open) untuk tujuan (intensi) terbang.
Sedemikian besar kewenangan
PiC tentunya dibarengi dengan tanggung jawab untuk semua hal yang terjadi dalam
penerbangan. Kewenangan yang dimasuksud bukan kewenangan mutlak seperti dikator
karena segala tata-cara pengoperasian pesawat terbang telah diatur secara rinci
dalam berbagai manual dan regulasi. Kewenangan tsb hanya untuk melaksanakan dan
menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, bukan berlaku untuk hal-hal
lain.
Pasal 56
(1) Dalam
penerbangan dilarang menempatkan penumpang yang tidak mampu melakukan tindakan
darurat pada pintu dan jendela darurat pesawat udara.
Hanya penumpang dalam
kategori “Able Body Passenger” (ABP) yang diperkenankan menempati tempat duduk
yang berada di dekat pintu darurat atau jendela darurat (Emergency Exit). Area
kursi emergency exit adalah deretan kursi atau kursi yang langsung berdekatan
dengan emergency exit tanpa dipisahkan oleh sebuah lajur gang (isle) dalam
pesawat.
ABP adalah orang yang cukup
dewasa,sehat, tidak buta warna, mampu membaca dan diharapkan dapat membantu
awak pesawat untuk membuka pintu atau jendela ketika timbul kondisi darurat
sesuai peintah awak pesawat. Sehingga orang tua (lanjut usia), cacat, anak-anak
tidak diperkenankan menempati kursi-kursi tersebut. Di GA, kursi-kursi ini
disebut “the Last Saleable Seat” artinya sebisa mungkin tak terisi atau justru
diprioritaskan untuk orang yang dinilai sebagai ABP oleh petugas Check-In. Awak
Kabin berhak memindahkan penumpang yang duduk di kursi emergency jika menurut
penilaiannya tak memenuhi syarat ABP. Penumpang selanjutnya diberi pengarahan
khusus baik tertulis maupun lisan untuk mengoperasikan pintu atau jendela
darurat .
Penumpang seringkali
“memesan” kursi-kursi emergency karena mempunyai ruang kaki (leg room) yang
lebih longgar. Sekedar catatan, berat jendela darurat B737 sekitar 45 kilogram
dan harus diangkat serta dilempar ke atas sayap ketika sebuah evakuasi
dibutuhkan dalam kondisi darurat.
(2) Setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan;
b.
pembekuan sertifikat; dan/atau
c.
pencabutan sertifikat.
Bagian Ketujuh
Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya
Pasal 136
(1) Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan penerbangan.
Dikenal sebagai Dangerous Goods (DG) dan diatur dalam
Dangerous Goods Regulations.
(2)
Barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
barang yang karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus.
(3) Barang
berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk bahan cair, bahan
padat, atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan
harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.
(4) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bahan peledak (explosives);
b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau
dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under
pressure);
c. cairan mudah menyala atau terbakar (flammable
liquids);
d. bahan atau barang padat mudah menyala atau
terbakar (flammable solids);
e. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing
substances);
f. bahan atau barang beracun dan mudah
menular (toxic and infectious substances);
g. bahan atau barang radioaktif (radioactive
material);
h. bahan atau barang perusak (corrosive
substances);
i. cairan, aerosol, dan jelly (liquids,
aerosols, and gels) dalam jumlah tertentu; atau
Dikenal
sebagai ketentuan Liquids, Aerosols and Gels (LAG’s). Sebenarnya ini bukan
barang jenis DG namun dibatasi karena faktor Keamanan (bukan Keselamatan).
Membawa barang LAG ke dalam kabin dibatasi hanya 100 ML per item dengan
maksimum semua item 1 Liter yang harus dimasukkan dalam Plastik Transparan terpisah
ukuran 20 x 20 cm (biasanya tersedia di Security Check Point atau Check-in
Counter. Larangan ini dikecualikan untuk jenis makanan bayi dan obat yang
diknsumsi selama penerbangan. Membawa barang LAG dalam bagasi tetap diijinkan
dan tidak dibatasi. Membawa barang jenis LAG dari belanjaan Duty Free Shop
tetap diijinkan dengan perlakuan khusus (tas plastik di ”seal” dan tak boleh
dibuka sampai keluar terminal di bandara tujuan). Hati-hati, yang dimaksud
Liquid termasuk air kemasan biasa, Aerosol dapat berupa parfum atau deodorant
spray, Gel dapat berupa pasta gigi atau body cream atau lotion dsb.
Sayangnya
Dephub melalui surat Dirjen Perhubud masih mendua dalam aturan ini, LAG tak
diatasi untuk penerbangan domestik alias hanya berlaku untuk penerbangan internasional
sehingga membingungkan petugas sekuriti, penumpang dan maskapai. Dalam masalah
in kita semua masih ”melanggar berjamaah”. GA acapkali melakukan penggeledahan
bagasi kabin secara fisik secara random demi memenuhi persyaratan ini. Khusus
penerbangan ke Australia semua bagasi kabin penumpang GA harus dicek ulang
secara fisik di pintu masuk waiting room. Hal ini dilakukan karena sekuriti
bandara seringkali lalai dan GA diancam pinalti AUD 22.000 per pelanggaran jika
kedapatan lolos membawa LAG ke Australia.
j. bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous
dangerous substances).
(5)
Badan usaha angkutan udara niaga yang
melanggar ketentuan pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
peringatan dan/atau pencabutan izin.
Pasal
137
Ketentuan lebih
lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Pengangkut
Paragraf 1
Wajib Angkut
Pasal 140
(1) Badan
usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos
setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.
Yang
dimaksud Perjanjian Pengangkutan sesungguhnya tertera didalam lembar tiket atau
sampul tiket. Tiket merupakan “kontrak” antara penumpang dan maskapai.
Penumpang yang naik pesawat tanpa tiket sesungguhnya tak dibekali “perjanjian”
apapun. Saat ini dengan adanya Electronic Ticket atau e-Ticket atau Virtual
Ticket sesungguhnya penumpang tetap terlindungi karena tiket tsb tercatat dalam
Data Base Reservation. Oleh karena itu, sangat penting nama dalam tiket harus
sesuai dengan penumpang yang mempergunakannya. Jangan pernah naik pesawat
terbang jika tanpa tiket atau nama dalam tiket tak sama dengan ama kita.
Laporkan saja maskapai semacam itu ke polisi atau pihak berwajib.
(2) Badan
usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap
setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang
disepakati.
(3) Perjanjian
pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket
penumpang dan dokumen muatan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pengangkut terhadap
Penumpang dan/atau Pengirim Kargo
Pasal 141
(1) Pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap,
atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat
dan/atau naik turun pesawat udara.
(2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul
karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang
dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab
atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam
undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
(3)
Ahli waris atau korban sebagai akibat
kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan
penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti
kerugian yang telah ditetapkan.
Pasal 142
(1) Pengangkut
tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang
sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang
menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.
Beberapa maskapai membuat kebijakan “menolak secara
halus” mengangkut penumpang sakit apalagi jika membutuhkan peralatan bantu
medis. Pada dasarnya mengangkut penumpang sakit sangat beresiko, baik bagi
pasien mupun bagi maskapai. GA mengijinkan megangkut penumpang sakit dengan
syarat-syarat khusus sebagaimana diatur dalam UU ini. Meski semua petugas GA
bukan tenaga medis yang mampu mendeteksi penumpang sakit, namun jika ada
penumpang sakit yang berpura-pura sehat naik pesawat maka kepadanya justru
dapat berakibat mengurangi perlindungan ganti rugi jika terjadi apa-apa. Semua
penumpang sakit yang akan naik pesawat GA diminta melakukan reservasi (bukan go
show) dan menyatakan dirinya tentang sakit yang sebenarnya sehingga dapat
dibimbing unuk melengkapi semua persyaratan yang ada.
(2) Penumpang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau
perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan
berlangsung.
Pasal 143
Pengangkut tidak
bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin,
kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan
oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
Pasal 144
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang
diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam
pengawasan pengangkut.
Acapkali terjadi
“pertentangan” antara petugas Check-In dengan Penumpang atas isi bagasi
tercatat. Jika ditanyakan “adakah barang berharga?” seringkali dijawab “tidak”
karena enggan kena “charge” yang lebih mahal atau disarankan untuk tak dibawa
dalam bagasi tercatat (checked baggage). Jika bagasi tersebut “hilang” atau
mengalmi kehilangan maka seringkali maskapai memberikan ganti rugi berdasarkan
jumlah berat barang kali tarip yang telah ditentukan, sementara penumpang mulai
“mengaku” mengalami kehilangan berbagai barang berharga di dalamnya. Saran,
sebaiknya tidak meletakkan barang berharga di dalam bagasi tercatat.
Pasal 145
Pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo
yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam
pengawasan pengangkut.
Pasal 146
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali
apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan
oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Pasal 147
(1) Pengangkut
bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
(2) Tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada
penumpang berupa:
a.
mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya
tambahan; dan/atau
b.
memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
Pasal 148
Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
a. angkutan
pos;
b. angkutan
penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan
c. angkutan udara bukan niaga.
Pasal 149
Ketentuan lebih
lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo
Pasal 150
Dokumen angkutan
udara terdiri atas:
a.
tiket penumpang pesawat udara;
b.
pas masuk pesawat udara (boarding pass);
c.
tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan
d.
surat muatan udara (airway
bill);
Pasal 151
(1) Pengangkut
wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif.
(2) Tiket
penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.
nomor, tempat, dan tanggal penerbitan;
b.
nama penumpang dan nama pengangkut;
c.
tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan;
d.
nomor penerbangan;
e.
tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat
pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan
f.
pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.
(3)
Yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang
namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri
yang sah.
Jauh sebelum UU ini
diberlakukan, GA merupakan maskapai yang kerap kali meminta dan mencocokkan
kartu identitas penumpang. Bahkan meminta data-data No Telpon, Alamat, dsb agar
dapat sewaktu-waktu dihubungi jika diperlukan (untuk perubahan jadual dan
menghadapi kondisi darurat).
(4) Dalam
hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan
ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Pasal 152
(1)
Pengangkut
harus menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 150 huruf b kepada penumpang.
(2) Pas
masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a.
nama penumpang;
b.
rute penerbangan;
c.
nomor penerbangan;
d.
tanggal dan jam keberangkatan;
e.
nomor tempat duduk;
f.
pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat
udara (boarding gate); dan
g.
waktu masuk pesawat udara (boarding time).
Dengan Phone Check-In atau Internet Check-In atau
fasilitas “self check-in lainnya maka Boarding Pass dapat di print sendiri oleh
penumpang atau menunjukkan Tampilan di Ponsel kepada petugas Check-In untuk
diberikan Boarding Pass. Hanya dalam kondisi sangat khusus penumpang dapat
diberikan Boarding Pass tanpa No Kursi (free seating). Maskapai yang menerapkan
“free seating” sesungguhnya adalah maskapai yang “ngawur” dan patut dilaporkan
ke pihak berwajib.
Pasal 153
(1) Pengangkut wajib menyerahkan tanda
pengenal bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf
c kepada penumpang.
(2) Tanda pengenal bagasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.
nomor tanda pengenal bagasi;
b.
kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan
c.
berat bagasi.
(3) Dalam hal tanda pengenal bagasi tidak
diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hilang, atau
tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan
dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Pasal 154
Tiket penumpang
dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.
Paragraf 4
Besaran Ganti Kerugian
Pasal 165
(1) Jumlah
ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap pada
tubuh, luka-luka pada tubuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 141 ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
(2)
Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh badan usaha angkutan udara
niaga di luar ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 166
Pengangkut dan penumpang dapat membuat
persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi
dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).
Pasal 167
Jumlah ganti
kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar
kerugian nyata penumpang.
Pasal 168
(1) Jumlah
ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 dan
Pasal 145 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2) Besarnya
ganti kerugian untuk kerusakan atau kehilangan sebagian atau seluruh bagasi
tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 atau
kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145
dihitung berdasarkan berat bagasi tercatat atau kargo yang dikirim yang hilang,
musnah, atau rusak.
(3) Apabila
kerusakan atau kehilangan sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan seluruh bagasi atau seluruh kargo tidak dapat digunakan lagi,
pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh berat bagasi atau kargo yang
tidak dapat digunakan tersebut.
Pasal 169
Pengangkut dan penumpang dapat
membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih
tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).
Pasal 170
Jumlah ganti
kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 171
Dalam hal orang
yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat
untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang
dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 172
(1) Besaran
ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165,
Pasal 168 dan Pasal
170 dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.
(2) Evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a.
tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;
b.
kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga;
c.
tingkat inflasi kumulatif;
d.
pendapatan per
kapita; dan
e.
perkiraan usia harapan hidup.
(3) Berdasarkan
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan perubahan besaran
ganti kerugian, setelah mempertimbangkan saran
dan masukan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
Saya belum pernah
mendengar atau membaca adanya ketentuan tarip ganti rugi yang diatur Menteri,
setidaknya sampai hari ini.
Paragraf 8
Pernyataan Kemungkinan Meninggal
Dunia
bagi Penumpang Pesawat Udara yang
Hilang
Pasal
178
(1) Penumpang
yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia,
apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara
seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal
ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.
(2) Hak
penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga)
bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 306
Setiap orang dilarang:
a. menggunakan
frekuensi radio penerbangan kecuali untuk penerbangan; dan
b. menggunakan frekuensi radio yang secara
langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan.
Bagian Ketiga
Penegakan Hukum Keselamatan Penerbangan
Pasal 313
(1)
Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum
dan mengambil tindakan hukum di bidang
keselamatan penerbangan.
(2)
Program penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat:
a.
penyusunan peraturan keselamatan penerbangan;
b.
penyiapan personel yang berwenang mengawasi penerapan
aturan di bidang keselamatan penerbangan;
c.
pendidikan masyarakat dan penyedia jasa penerbangan serta
para penegak hukum; dan
d.
penindakan.
(3) Tindakan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
sanksi administratif; dan
b.
sanksi pidana.
Pasal 336
Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas
permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan luar negeri dan
pertahanan negara.
Pasal 337
(1) Penumpang
pesawat udara yang membawa senjata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada
badan usaha angkutan udara yang akan
mengangkut penumpang tersebut.
Penumpang
baik sipil maupun militer sebaiknya tidak membawa senjata jika naik penerbangan
komersial berjadual. Kententuan mengenai membawa pistol dan peluru cukup rumit
dan dapat berakibat “terganggunya” jadual atau perjalanan penumpang sendiri.
Membawa senjata secara sembunyi-sembunyi apalagi untuk penerbangan
internasional dapat dikenai denda atau hukuman kurungan jika kedapatan oleh
sekuriti bandara. Sebaiknya melakukan konfirmasi saat reservasi jika sangat
terpaksa membawa senjata sehingga dapat diberikan penjelasan secukupnya sebelum
check-in. GA merupakan salah satu maskapai yang telah “menyita” peluru dari
penumpang dimana saat ini tersimpan ribuan peluru tanpa pemilik yang jelas di
dalam ruang sekuriti Bandara CGK.
(2) Badan usaha angkutan udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas keamanan senjata yang diterima
sampai dengan diserahkan kembali kepada pemiliknya di bandar udara tujuan.
Ketentuan
diperbolehkannya membawa senjata api hanya berlaku untuk penerbangan domestic.
Bagian Kelima
Penanggulangan Tindakan Melawan Hukum
Pasal 344
Setiap
orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful
interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara
berupa:
a.
menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang
terbang atau yang sedang di darat;
b.
menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar
udara;
c.
masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas
bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah;
d.
membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom
ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin; dan
e.
menyampaikan informasi palsu yang membahayakan
keselamatan penerbangan.
Pasal 345
(1) Otoritas
bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara,
dan/atau badan usaha angkutan udara wajib menanggulangi tindakan melawan hukum.
Pasal 354
Kapten penerbang yang sedang bertugas
yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang
diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera
memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas
penerbangan.
Pasal 359
(1) Hasil
investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
(2) Hasil
investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai
informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 360
(1) Setiap
orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat
udara, dan mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa
akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara.
(2) Untuk
kepentingan keselamatan operasional penerbangan, pesawat udara yang mengalami
kecelakaan atau kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dipindahkan atas persetujuan pejabat yang berwenang.
Bagian
Ketiga
Penyelidikan
Lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara
Pasal 364
Untuk
melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan
mediasi dan penafsiran penerapan
regulasi, komite nasional membentuk
majelis profesi penerbangan.
Pasal 365
Majelis
profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 mempunyai tugas :
a.
menegakkan etika profesi dan
kompetensi personel di bidang penerbangan;
b.
melaksanakan mediasi antara
penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan; dan
c.
menafsirkan penerapan regulasi
di bidang penerbangan.
Pasal 366
Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 365 majelis profesi penerbangan memiliki fungsi:
a. menegakkan
etika profesi dan kompetensi personel penerbangan;
b. menjadi
mediator penyelesaian sengketa perselisihan di bidang penerbangan di luar
pengadilan; dan
c. menjadi
penafsir penerapan regulasi di bidang penerbangan;
Pasal 367
Majelis
profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 paling sedikit
berasal dari unsur profesi, pemerintah, dan masyarakat yang kompeten di bidang:
a.
hukum;
b.
pesawat udara;
c.
navigasi penerbangan;
d.
bandar udara;
e.
kedokteran penerbangan; dan
f.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 368
Majelis profesi penerbangan berwenang:
a. memberi
rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan
lanjut oleh PPNS;
b. menetapkan
keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serius
terhadap pesawat udara; dan
c. memberikan rekomendasi
terhadap penerapan regulasi penerbangan.
Majelis
Profesi ini sampai saat ini belum pernah dibentuk.
Pasal 369
Ketentuan lebih lanjut mengenai
investigasi kecelakaan pesawat udara dan penyelidikan lanjutan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan di Bidang
Penerbangan
Pasal 382
(1)
Pendidikan dan
pelatihan di bidang penerbangan dilaksanakan dalam kerangka sistem pendidikan
nasional.
(2) Menteri bertanggung jawab atas
pembinaan dan terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga
pendidik di bidang penerbangan;
b. kurikulum dan silabus serta metoda
pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan sesuai dengan standar yang
ditetapkan;
c. penataan, penyempurnaan, dan sertifikasi
organisasi atau manajemen lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan;
serta
d. modernisasi
dan peningkatan teknologi sarana dan prasarana belajar mengajar pada
lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.
Pasal 383
(1)
Pendidikan dan
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 diselenggarakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan
formal dan/atau nonformal.
(2) Jalur pendidikan formal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Jalur pendidikan nonformal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh satuan pendidikan
nonformal di bidang penerbangan yang telah mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 384
(1) Pendidikan
dan pelatihan sumber daya manusia di bidang penerbangan disusun dalam model yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Model pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
b.
persyaratan peserta pendidikan dan pelatihan;
c.
kurikulum silabus dan metode pendidikan dan pelatihan;
d.
persyaratan tenaga pendidik dan pelatih;
e.
standar prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;
f.
persyaratan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
g.
standar penetapan biaya pendidikan
dan pelatihan; serta
h.
pengendalian dan pengawasan terhadap
pendidikan dan pelatihan.
Pasal 385
Pemerintah
mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
di bidang penerbangan.
Setahu saya belum ada satupun maskapai di Indonesia
yang mampu menyelenggarakan pendidikan penerbang (Flying School atau Flying
Academy). Sementara STPI (sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia) di Curug (yang milik
Pemerintah) dan beberapa Flying School swasta seperti “mati suri” sejak
beberapa tahun belakangan setelah krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997.
GA saja sampai dengan tahun 2014 membutuhkan setidaknya 600 pilot baru.
Maskapai yang berencana membeli pesawat B739 sampai sejumlah 178 pesawat
setidaknya membutuhkan tambahan 1500 pilot baru. Lalu siapa yang mampu
melakukan pendidikan penerbang jika Pemerintah dengan STPI tak lagi
berproduksi? Kapasitas rata-rata lulusan STPI sekitar 50 pilot baru dalam
setahun. Jadi perlu berapa tahun untuk mendidik pilot dengan jumlah maskapai di
Indonesia yang terus bertumbuh? Setahun terakhir ini GA melakukan terobosan
bekerja-sama dengan sebuah Bank Nasional dan Flying Academy (local) membiayai
pelatihan pilot baru (cadet pilot). Cadet Pilot didanai oleh Bank untuk sekolah
terbang yang memerlukan biaya sekitar USD 45.000 selama 9 bulan. Jika lulus
maka akan diterima bekerja di GA dan dipotong gaji untuk melunasi hutang
pendidikan ke Bank. Perjanjian ini dibuat
4 pihak antara Bank, GA, Flying Academy dan siswa pilot. Saat ini sudah
sekitar 20 pilot baru lulus melalui sistim pendanaan seperti ini. Rombongan
siswa penerbang sekitar 50 siswa akan menyusul sekitar bulan depan.
Pasal 386
Pemerintah daerah membantu dan
memberikan kemudahan untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang
penerbangan.
Pasal 387
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XX
PERAN SERTA
MASYARAKAT
Pasal 396
(1) Dalam
rangka meningkatkan penyelenggaraan penerbangan secara optimal masyarakat
memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
kegiatan penerbangan.
(2) Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan
penerbangan;
b.
memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan
peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang penerbangan;
c.
memberikan masukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah
dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan penerbangan;
d.
menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat
yang berwenang terhadap kegiatan penyelenggaraan penerbangan yang mengakibatkan
dampak penting terhadap lingkungan;
e.
melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidak-
sesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas
penerbangan;
f.
melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau
kejadian terhadap pesawat udara;
g.
mengutamakan dan mempromosikan budaya keselamatan
penerbangan; dan/atau
h.
melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan
penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyedia jasa penerbangan
menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.
(4) Dalam
melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat ikut
bertanggung jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan
penerbangan.
Pasal 397
Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (1) dapat dilakukan secara
perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi
kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
BAB XXI
PENYIDIKAN
Pasal 399
(1) Pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
(2) Dalam
pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara
Republik Indonesia.
Pasal 400
(1) Kewenangan
penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dilaksanakan
sebagai berikut:
a. meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;
b. menerima
laporan tentang adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
c. memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak
pidana di bidang penerbangan;
d. melakukan
penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
penerbangan;
e. meminta
keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
penerbangan;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti
adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
g. memeriksa
dokumen yang terkait dengan tindak pidana penerbangan;
h. mengambil
sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah
pesawat udara dan tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana di
bidang penerbangan;
j. menyita
benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana di bidang penerbangan;
k. mengisolasi
dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan
dengan tindak pidana di bidang penerbangan;
l. mendatangkan
saksi ahli yang diperlukan;
m. menghentikan
proses penyidikan; dan
n. meminta
bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain terkait untuk melakukan penanganan tindak pidana di bidang
penerbangan.
(2) Penyidik
pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 menyampaikan hasil
penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat
penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Masih belum jelas benar
apa itu “Penyidik Pegawai Negeri Sipil”? Sepanjang yang saya ketahui Dephub
telah “melatih” beberapa personil khususnya yang bekerja sebagai Administratur
Bandara untuk juga bertindak sebagai PPNS. Namun belum jelas bagaimana
mekanisme kerjanya. Setahu saya tindak Pidana selama ini menjadi urusan Polisi.
Entahlah, apa insitusi Polisi dapat menerima Pasal mengenai hal ini?
BAB
XXII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 401
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia
atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 402
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia
atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 403
Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau
perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat
terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 404
Setiap orang yang mengoperasikan
pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 405
Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah
identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran,
kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 406
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak
memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)
(2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda, dipidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah)
Pasal 407
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak
memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 408
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak
memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 409
Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat
(1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling
pesawat terbang dan komponennya di pidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 410
Setiap orang yang mengoperasikan
pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari
Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara
yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)
Pasal 411
Setiap orang dengan sengaja
menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan
pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 412
(1)
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan
melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan
melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Yang dimaksud tata tertib adalah semua prosedur baik
yang diumumkan (announcement) atau ditulis (dilarang merokok) atau berupa tanda
(lampu tanda kencangkan sabuk pengaman) atau yang diperintahkan oleh awak
pesawat dapat dianggap sebagai tata-tertib di dalam pesawat terbang.
(3)
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan
mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
huruf c dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Misalnya kedapatan mencuri
Life Vest atau merusak alat Smoke Detector dalam Lavatory agar dapat merokok di
dalamnya.
(4)
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan
mengganggu ketenteraman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Termasuk
kategori “Unrully Passenger” atau Disruptive Passenger” misalnya mabuk,
berkelahi, memukul penumpang atau awak pesawat, melakukan aktifitas seksual,
mengganggu penumpang lain, gaduh dan berisik, melanggar ketertiban dalam pesawat,
dll
(5)
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan
mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 huruf f dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Termasuk
menyalakan HP, Handy Talkie atau barang elektronik yang beremisi lainnya.
(6)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) mengakibatkan kerusakan atau
kecelakaan pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(7)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) mengakibatkan cacat tetap atau
matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 413
(1)
Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya
tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 414
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
Pasal 415
Setiap orang yang mengoperasikan
pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
Pasal 416
Setiap orang yang melakukan kegiatan
angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 417
Setiap orang yang melakukan kegiatan
angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara
niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 418
Setiap orang yang melakukan kegiatan
angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Pasal 419
(1) Setiap orang yang melakukan pengangkutan
barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan
keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 420
Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim,
badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha
pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan
pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
138 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 421
(1)
Setiap orang berada di daerah tertentu
di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang membuat halangan (obstacle),
dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan
yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 210 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 422
(1)
Setiap orang dengan sengaja
mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 423
(1)
Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau
memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
222 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 424
(1)
Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap
kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik
orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2)
Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap
kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) berupa :
a.
musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau
b.
dampak lingkungan di sekitar bandar udara
yang diakibatkan
oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b
dan huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 425
Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti
kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara
yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 426
Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa
izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 427
Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus dengan melayani
penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 428
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang
digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 429
Setiap orang yang menyelenggarakan
pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 430
(1)
Personel
navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
(2)
Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 431
(1)
Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio penerbangan
selain untuk kegiatan penerbangan atau
menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara langsung atau tidak
langsung mengganggu keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
306 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah)
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
Pasal 432
Setiap orang yang akan memasuki
daerah keamanan terbatas tanpa memiliki
izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 334 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 433
Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada
pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia
tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341,
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 434
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori
transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian
harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu Miliar rupiah).
Pasal 435
Setiap orang yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah
keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 436
(1)
Setiap orang yang membawa senjata, barang dan peralatan
berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf d, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun.
(3)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal 437
(1)
Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang
membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
(3)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal 438
(1)
Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami
keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan
sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit
pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 sehingga
berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun.
Pasal 439
(1)
Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang
pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau
mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang
dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian
harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
(2) Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
Pasal 440
Setiap orang
yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara,
mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari
kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 465
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 3481) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 466
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
Pada tanggal .............
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR ....
No comments:
Post a Comment