Wednesday, February 1, 2012

Komentar Mengenai UU Penerbangan No 1 Tahun 2009




Pasal 55

Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan.

Kewenangan Pilot in Command (PiC) selama penerbangan bersifat mutlak sejalan dengan Tokyo Convention sesuai International Civil Aviation Organization (ICAO) serta Civil Aviation Safety Regulation (CASR). Termasuk didalamnya menahan seseorang, menolak atau menurunkan orang dan muatan pada suatu bandara, bahkan melanggar suatu prosedur jika menurut pertimbangannya justru akan mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan saat itu.

Dalam dunia penerbangan juga ada istilah As Captain Discretion (SCD) yaitu memutuskan segala sesuatu yang tidak atau belum diatur dalam regulasi.

Yang dimaksud “selama terbang” seringkali dipahami sebagai saat sebuah pesawat terbang menutup pintu, menyalakan mesin, bergerak sampai pesawat berhenti, mematikan mesin dan membuka pintu (door closed until door open) untuk tujuan (intensi) terbang.

Sedemikian besar kewenangan PiC tentunya dibarengi dengan tanggung jawab untuk semua hal yang terjadi dalam penerbangan. Kewenangan yang dimasuksud bukan kewenangan mutlak seperti dikator karena segala tata-cara pengoperasian pesawat terbang telah diatur secara rinci dalam berbagai manual dan regulasi. Kewenangan tsb hanya untuk melaksanakan dan menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, bukan berlaku untuk hal-hal lain.

Pasal 56

(1)       Dalam penerbangan dilarang menempatkan penumpang yang tidak mampu melakukan tindakan darurat pada pintu dan jendela darurat pesawat udara.

Hanya penumpang dalam kategori “Able Body Passenger” (ABP) yang diperkenankan menempati tempat duduk yang berada di dekat pintu darurat atau jendela darurat (Emergency Exit). Area kursi emergency exit adalah deretan kursi atau kursi yang langsung berdekatan dengan emergency exit tanpa dipisahkan oleh sebuah lajur gang (isle) dalam pesawat.
ABP adalah orang yang cukup dewasa,sehat, tidak buta warna, mampu membaca dan diharapkan dapat membantu awak pesawat untuk membuka pintu atau jendela ketika timbul kondisi darurat sesuai peintah awak pesawat. Sehingga orang tua (lanjut usia), cacat, anak-anak tidak diperkenankan menempati kursi-kursi tersebut. Di GA, kursi-kursi ini disebut “the Last Saleable Seat” artinya sebisa mungkin tak terisi atau justru diprioritaskan untuk orang yang dinilai sebagai ABP oleh petugas Check-In. Awak Kabin berhak memindahkan penumpang yang duduk di kursi emergency jika menurut penilaiannya tak memenuhi syarat ABP. Penumpang selanjutnya diberi pengarahan khusus baik tertulis maupun lisan untuk mengoperasikan pintu atau jendela darurat .
Penumpang seringkali “memesan” kursi-kursi emergency karena mempunyai ruang kaki (leg room) yang lebih longgar. Sekedar catatan, berat jendela darurat B737 sekitar 45 kilogram dan harus diangkat serta dilempar ke atas sayap ketika sebuah evakuasi dibutuhkan dalam kondisi darurat.    

(2)        Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a.    peringatan;

b.    pembekuan sertifikat; dan/atau

c.    pencabutan sertifikat.

Bagian Ketujuh
Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya

Pasal 136

(1)        Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan.

Dikenal sebagai Dangerous Goods (DG) dan diatur dalam Dangerous Goods Regulations.

(2)           Barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa barang yang karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus.

(3)        Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

(4)        Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diklasifikasikan sebagai berikut:

a.     bahan peledak (explosives);

b.     gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);

c.     cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);

d.     bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar (flammable solids);

e.     bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);

f.      bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);

g.     bahan atau barang radioaktif (radioactive material);

h.     bahan atau barang perusak (corrosive substances);

i.      cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels) dalam jumlah tertentu; atau

Dikenal sebagai ketentuan Liquids, Aerosols and Gels (LAG’s). Sebenarnya ini bukan barang jenis DG namun dibatasi karena faktor Keamanan (bukan Keselamatan). Membawa barang LAG ke dalam kabin dibatasi hanya 100 ML per item dengan maksimum semua item 1 Liter yang harus dimasukkan dalam Plastik Transparan terpisah ukuran 20 x 20 cm (biasanya tersedia di Security Check Point atau Check-in Counter. Larangan ini dikecualikan untuk jenis makanan bayi dan obat yang diknsumsi selama penerbangan. Membawa barang LAG dalam bagasi tetap diijinkan dan tidak dibatasi. Membawa barang jenis LAG dari belanjaan Duty Free Shop tetap diijinkan dengan perlakuan khusus (tas plastik di ”seal” dan tak boleh dibuka sampai keluar terminal di bandara tujuan). Hati-hati, yang dimaksud Liquid termasuk air kemasan biasa, Aerosol dapat berupa parfum atau deodorant spray, Gel dapat berupa pasta gigi atau body cream atau lotion dsb.
Sayangnya Dephub melalui surat Dirjen Perhubud masih mendua dalam aturan ini, LAG tak diatasi untuk penerbangan domestik alias hanya berlaku untuk penerbangan internasional sehingga membingungkan petugas sekuriti, penumpang dan maskapai. Dalam masalah in kita semua masih ”melanggar berjamaah”. GA acapkali melakukan penggeledahan bagasi kabin secara fisik secara random demi memenuhi persyaratan ini. Khusus penerbangan ke Australia semua bagasi kabin penumpang GA harus dicek ulang secara fisik di pintu masuk waiting room. Hal ini dilakukan karena sekuriti bandara seringkali lalai dan GA diancam pinalti AUD 22.000 per pelanggaran jika kedapatan lolos membawa LAG ke Australia.

j.      bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).

(5)         Badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

Pasal 137

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Pengangkut

Paragraf 1
Wajib Angkut

Pasal 140

(1)        Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

Yang dimaksud Perjanjian Pengangkutan sesungguhnya tertera didalam lembar tiket atau sampul tiket. Tiket merupakan “kontrak” antara penumpang dan maskapai. Penumpang yang naik pesawat tanpa tiket sesungguhnya tak dibekali “perjanjian” apapun. Saat ini dengan adanya Electronic Ticket atau e-Ticket atau Virtual Ticket sesungguhnya penumpang tetap terlindungi karena tiket tsb tercatat dalam Data Base Reservation. Oleh karena itu, sangat penting nama dalam tiket harus sesuai dengan penumpang yang mempergunakannya. Jangan pernah naik pesawat terbang jika tanpa tiket atau nama dalam tiket tak sama dengan ama kita. Laporkan saja maskapai semacam itu ke polisi atau pihak berwajib.

(2)        Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

(3)        Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.

Paragraf 2
Tanggung Jawab Pengangkut terhadap
Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

Pasal 141

(1)        Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

(2)        Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab  atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

(3)           Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Pasal 142

(1)        Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.

Beberapa maskapai membuat kebijakan “menolak secara halus” mengangkut penumpang sakit apalagi jika membutuhkan peralatan bantu medis. Pada dasarnya mengangkut penumpang sakit sangat beresiko, baik bagi pasien mupun bagi maskapai. GA mengijinkan megangkut penumpang sakit dengan syarat-syarat khusus sebagaimana diatur dalam UU ini. Meski semua petugas GA bukan tenaga medis yang mampu mendeteksi penumpang sakit, namun jika ada penumpang sakit yang berpura-pura sehat naik pesawat maka kepadanya justru dapat berakibat mengurangi perlindungan ganti rugi jika terjadi apa-apa. Semua penumpang sakit yang akan naik pesawat GA diminta melakukan reservasi (bukan go show) dan menyatakan dirinya tentang sakit yang sebenarnya sehingga dapat dibimbing unuk melengkapi semua persyaratan yang ada.

(2)        Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.

Pasal 143

Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

Pasal 144

Pengangkut  bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

Acapkali terjadi “pertentangan” antara petugas Check-In dengan Penumpang atas isi bagasi tercatat. Jika ditanyakan “adakah barang berharga?” seringkali dijawab “tidak” karena enggan kena “charge” yang lebih mahal atau disarankan untuk tak dibawa dalam bagasi tercatat (checked baggage). Jika bagasi tersebut “hilang” atau mengalmi kehilangan maka seringkali maskapai memberikan ganti rugi berdasarkan jumlah berat barang kali tarip yang telah ditentukan, sementara penumpang mulai “mengaku” mengalami kehilangan berbagai barang berharga di dalamnya. Saran, sebaiknya tidak meletakkan barang berharga di dalam bagasi tercatat.

Pasal 145

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 146

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Pasal 147

(1)        Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.

(2)        Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:

a.        mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau

b.        memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain  ke tempat tujuan.

Pasal 148

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:

a.        angkutan pos;

b.       angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan

c.        angkutan udara bukan niaga.

Pasal 149

Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo

Pasal 150

Dokumen  angkutan  udara  terdiri  atas:

a.     tiket penumpang pesawat udara;

b.     pas masuk pesawat udara (boarding pass);

c.      tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan

d.     surat muatan udara (airway bill);

Pasal  151

(1)         Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif.

(2)         Tiket penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.       nomor, tempat, dan tanggal penerbitan;

b.       nama penumpang dan nama pengangkut;

c.        tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan;

d.       nomor penerbangan;

e.        tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan

f.        pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

(3)             Yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah.

Jauh sebelum UU ini diberlakukan, GA merupakan maskapai yang kerap kali meminta dan mencocokkan kartu identitas penumpang. Bahkan meminta data-data No Telpon, Alamat, dsb agar dapat sewaktu-waktu dihubungi jika diperlukan (untuk perubahan jadual dan menghadapi kondisi darurat).

(4)         Dalam hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

Pasal 152

(1)             Pengangkut  harus menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b kepada penumpang.

(2)         Pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)     paling sedikit memuat:

a.       nama penumpang;

b.       rute penerbangan;

c.        nomor penerbangan;

d.       tanggal dan jam keberangkatan;

e.       nomor tempat duduk;

f.         pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara (boarding gate); dan

g.       waktu masuk pesawat udara (boarding time).

Dengan Phone Check-In atau Internet Check-In atau fasilitas “self check-in lainnya maka Boarding Pass dapat di print sendiri oleh penumpang atau menunjukkan Tampilan di Ponsel kepada petugas Check-In untuk diberikan Boarding Pass. Hanya dalam kondisi sangat khusus penumpang dapat diberikan Boarding Pass tanpa No Kursi (free seating). Maskapai yang menerapkan “free seating” sesungguhnya adalah maskapai yang “ngawur” dan patut dilaporkan ke pihak berwajib.

Pasal 153

(1)         Pengangkut wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf c kepada penumpang.

(2)         Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.       nomor tanda pengenal bagasi;

b.       kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan

c.        berat bagasi.

(3)         Dalam hal tanda pengenal bagasi tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hilang, atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

Pasal 154

Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.


Paragraf 4
Besaran Ganti Kerugian

Pasal 165

(1)        Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap pada tubuh, luka-luka pada tubuh sebagaimana    dimaksud  dalam  Pasal  141 ayat  (1)  ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2)           Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh badan usaha angkutan udara niaga di luar ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 166

Pengangkut  dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).

Pasal 167

Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.

Pasal  168

(1)        Jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dan  Pasal 145 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2)        Besarnya ganti kerugian untuk kerusakan atau kehilangan sebagian atau seluruh bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 atau kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dihitung berdasarkan berat bagasi tercatat atau kargo yang dikirim yang hilang, musnah, atau rusak.

(3)        Apabila kerusakan atau kehilangan sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan seluruh bagasi atau seluruh kargo tidak dapat digunakan lagi, pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh berat bagasi atau kargo yang tidak dapat digunakan tersebut.

Pasal 169

Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).

Pasal 170

Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 171

Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 172

(1)       Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165, Pasal 168 dan Pasal 170 dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.

(2)        Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

a.        tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;

b.        kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga;

c.        tingkat inflasi kumulatif;

d.        pendapatan per kapita; dan

e.        perkiraan usia harapan hidup.

(3)        Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan perubahan besaran ganti kerugian, setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan.

(4)        Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Saya belum pernah mendengar atau membaca adanya ketentuan tarip ganti rugi yang diatur Menteri, setidaknya sampai hari ini.

Paragraf 8
Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia
bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang

Pasal  178

(1)        Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.

(2)        Hak penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 306

Setiap orang dilarang:

a.      menggunakan frekuensi radio penerbangan kecuali untuk penerbangan; dan
                                                    
b.      menggunakan frekuensi radio yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan.


Bagian Ketiga
Penegakan Hukum Keselamatan Penerbangan

Pasal 313

(1)           Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan  mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.

(2)           Program penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  memuat:

a.        penyusunan peraturan keselamatan penerbangan;

b.       penyiapan personel yang berwenang mengawasi penerapan aturan di bidang keselamatan penerbangan;

c.        pendidikan masyarakat dan penyedia jasa penerbangan serta para penegak hukum; dan

d.       penindakan.

(3)        Tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.        sanksi administratif; dan

b.       sanksi pidana.

Pasal 336

Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan luar negeri dan pertahanan negara.

Pasal 337

(1)        Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada badan usaha  angkutan udara yang akan mengangkut penumpang tersebut.

Penumpang baik sipil maupun militer sebaiknya tidak membawa senjata jika naik penerbangan komersial berjadual. Kententuan mengenai membawa pistol dan peluru cukup rumit dan dapat berakibat “terganggunya” jadual atau perjalanan penumpang sendiri. Membawa senjata secara sembunyi-sembunyi apalagi untuk penerbangan internasional dapat dikenai denda atau hukuman kurungan jika kedapatan oleh sekuriti bandara. Sebaiknya melakukan konfirmasi saat reservasi jika sangat terpaksa membawa senjata sehingga dapat diberikan penjelasan secukupnya sebelum check-in. GA merupakan salah satu maskapai yang telah “menyita” peluru dari penumpang dimana saat ini tersimpan ribuan peluru tanpa pemilik yang jelas di dalam ruang sekuriti Bandara CGK.

(2)        Badan usaha angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas keamanan senjata yang diterima sampai dengan diserahkan kembali kepada pemiliknya di bandar udara tujuan.

Ketentuan diperbolehkannya membawa senjata api hanya berlaku untuk penerbangan domestic.

Bagian Kelima
Penanggulangan Tindakan Melawan Hukum

Pasal 344

          Setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa:

a.         menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang sedang di darat;

b.         menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar udara;

c.         masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah;

d.         membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin; dan

e.         menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan.

Pasal 345

(1)        Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan/atau badan usaha angkutan udara wajib menanggulangi tindakan melawan hukum.

Pasal 354

Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan.

Pasal 359

(1)        Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

(2)        Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.


Pasal 360

(1)       Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, dan mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara.

(2)       Untuk kepentingan keselamatan operasional penerbangan, pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahkan atas persetujuan pejabat yang berwenang.

Bagian Ketiga
Penyelidikan Lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara

Pasal 364

Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi  dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan.

Pasal 365

Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 mempunyai tugas :

a.        menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang penerbangan;

b.        melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan; dan

c.        menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.

Pasal 366

Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 majelis profesi penerbangan memiliki fungsi:

a.     menegakkan etika profesi dan kompetensi personel penerbangan;

b.     menjadi mediator penyelesaian sengketa perselisihan di bidang penerbangan di luar pengadilan; dan

c.     menjadi penafsir penerapan regulasi di bidang penerbangan;

Pasal 367

Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah, dan masyarakat yang kompeten di bidang:

a.         hukum;

b.         pesawat udara;

c.         navigasi penerbangan;

d.         bandar udara;

e.         kedokteran penerbangan; dan

f.          Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 368

Majelis profesi penerbangan berwenang:

a.     memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;

b.     menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan

c.      memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan.

Majelis Profesi ini sampai saat ini belum pernah dibentuk.

Pasal 369

Ketentuan lebih lanjut mengenai investigasi kecelakaan pesawat udara dan penyelidikan lanjutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Penerbangan

Pasal 382

(1)                       Pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dilaksanakan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.

(2)            Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

(3)            Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

a.     peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik di bidang penerbangan;

b.     kurikulum dan silabus serta metoda pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan sesuai dengan standar yang ditetapkan;

c.     penataan, penyempurnaan, dan sertifikasi organisasi atau manajemen lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan; serta

d.     modernisasi  dan peningkatan teknologi sarana dan prasarana belajar mengajar pada lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

Pasal 383

(1)                      Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan/atau nonformal.

(2)            Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)            Jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal di bidang penerbangan yang telah mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 384

(1)            Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang penerbangan disusun dalam model yang ditetapkan oleh Menteri.

(2)            Model pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.  jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;

b.    persyaratan peserta pendidikan dan pelatihan;

c.    kurikulum silabus dan metode pendidikan dan pelatihan;

d.    persyaratan tenaga pendidik dan pelatih;

e.    standar prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;

f.     persyaratan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;

g.    standar penetapan biaya pendidikan dan pelatihan; serta
h.   pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan dan        pelatihan.
Pasal 385

        Pemerintah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

Setahu saya belum ada satupun maskapai di Indonesia yang mampu menyelenggarakan pendidikan penerbang (Flying School atau Flying Academy). Sementara STPI (sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia) di Curug (yang milik Pemerintah) dan beberapa Flying School swasta seperti “mati suri” sejak beberapa tahun belakangan setelah krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997. GA saja sampai dengan tahun 2014 membutuhkan setidaknya 600 pilot baru. Maskapai yang berencana membeli pesawat B739 sampai sejumlah 178 pesawat setidaknya membutuhkan tambahan 1500 pilot baru. Lalu siapa yang mampu melakukan pendidikan penerbang jika Pemerintah dengan STPI tak lagi berproduksi? Kapasitas rata-rata lulusan STPI sekitar 50 pilot baru dalam setahun. Jadi perlu berapa tahun untuk mendidik pilot dengan jumlah maskapai di Indonesia yang terus bertumbuh? Setahun terakhir ini GA melakukan terobosan bekerja-sama dengan sebuah Bank Nasional dan Flying Academy (local) membiayai pelatihan pilot baru (cadet pilot). Cadet Pilot didanai oleh Bank untuk sekolah terbang yang memerlukan biaya sekitar USD 45.000 selama 9 bulan. Jika lulus maka akan diterima bekerja di GA dan dipotong gaji untuk melunasi hutang pendidikan ke Bank. Perjanjian ini dibuat  4 pihak antara Bank, GA, Flying Academy dan siswa pilot. Saat ini sudah sekitar 20 pilot baru lulus melalui sistim pendanaan seperti ini. Rombongan siswa penerbang sekitar 50 siswa akan menyusul sekitar bulan depan.  


Pasal 386

       Pemerintah daerah membantu dan memberikan kemudahan untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

Pasal 387

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB  XX
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 396

(1)        Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan penerbangan secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan penerbangan.

(2)        Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.        memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan penerbangan;

b.       memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang penerbangan;

c.        memberikan masukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan penerbangan;

d.       menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan penyelenggaraan penerbangan yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan;

e.        melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidak- sesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan;

f.         melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau kejadian terhadap pesawat udara;

g.        mengutamakan dan mempromosikan budaya keselamatan penerbangan; dan/atau

h.       melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.

(3)        Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyedia jasa penerbangan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.

(4)        Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal 397

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

BAB XXI
PENYIDIKAN

Pasal 399

(1)      Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(2)      Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.

Pasal 400

(1)         Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dilaksanakan sebagai berikut:

a.     meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;

b.     menerima laporan tentang adanya tindak pidana di bidang penerbangan;

c.     memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di bidang penerbangan;

d.     melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;

e.     meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;

f.      memotret  dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang penerbangan;

g.     memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana penerbangan;

h.     mengambil sidik jari dan identitas orang;

i.      menggeledah pesawat udara dan tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana di bidang penerbangan;

j.      menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;

k.     mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;

l.      mendatangkan saksi ahli yang diperlukan;

m.    menghentikan proses penyidikan;  dan

n.     meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain terkait untuk melakukan penanganan tindak pidana di bidang penerbangan.

(2)         Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui  pejabat penyidik  Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Masih belum jelas benar apa itu “Penyidik Pegawai Negeri Sipil”? Sepanjang yang saya ketahui Dephub telah “melatih” beberapa personil khususnya yang bekerja sebagai Administratur Bandara untuk juga bertindak sebagai PPNS. Namun belum jelas bagaimana mekanisme kerjanya. Setahu saya tindak Pidana selama ini menjadi urusan Polisi. Entahlah, apa insitusi Polisi dapat menerima Pasal mengenai hal ini?


BAB  XXII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 401

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 402

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 403

Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 404

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 405

Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 406

(1)          Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

(2)          Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3)          Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)

Pasal 407

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua  miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 408

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 409

Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya di pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 410

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Pasal 411

Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk  atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 412

(1)            Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54  huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)            Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Yang dimaksud tata tertib adalah semua prosedur baik yang diumumkan (announcement) atau ditulis (dilarang merokok) atau berupa tanda (lampu tanda kencangkan sabuk pengaman) atau yang diperintahkan oleh awak pesawat dapat dianggap sebagai tata-tertib di dalam pesawat terbang.

(3)            Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54  huruf c  dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Misalnya kedapatan mencuri Life Vest atau merusak alat Smoke Detector dalam Lavatory agar dapat merokok di dalamnya.

(4)            Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengganggu ketenteraman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54  huruf e  dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Termasuk kategori “Unrully Passenger” atau Disruptive Passenger” misalnya mabuk, berkelahi, memukul penumpang atau awak pesawat, melakukan aktifitas seksual, mengganggu penumpang lain, gaduh dan berisik, melanggar ketertiban dalam pesawat, dll

(5)            Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi  penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf f  dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Termasuk menyalakan HP, Handy Talkie atau barang elektronik yang beremisi lainnya.

(6)            Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua  miliar lima ratus juta rupiah).

(7)            Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) mengakibatkan cacat tetap atau matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 413

(1)          Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

(2)          Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 414

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)  dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

Pasal 415

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

Pasal 416

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 417

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 418

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Pasal 419

(1)     Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(2)    Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 420

Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 421

(1)    Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)    Setiap orang membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 422

(1)         Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 423

(1)         Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  222 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).




(2)       Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)    mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling    lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak       Rp1.000.000.000,00          (satu miliar rupiah).

Pasal 424

(1)          Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)          Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) berupa :

a.        musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau

b.       dampak lingkungan di sekitar bandar udara

yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b dan huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 425

Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara  yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 426

Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 427

Setiap orang yang mengoperasikan  bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 428

(1)            Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).



(2)            Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 429

Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 430

(1)                   Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)                   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 431

(1)           Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan  atau menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak  Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

(2)           Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00

Pasal 432

Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa  memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 433

Setiap orang yang menempatkan  petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 434

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu Miliar rupiah).



Pasal 435

Setiap orang  yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 436

(1)        Setiap orang yang membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(2)        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3)        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 437

(1)        Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344  huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2)        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3)        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 438

(1)          Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 sehingga berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(2)          Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 439

(1)          Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(2)       Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

Pasal 440

Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 465

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3481) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 466

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA




SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal .............
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,



ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR ....




No comments:

Post a Comment