Thursday, February 2, 2012

NASI PADANG DARI LOS ANGELES

NASI PADANG DARI LOS ANGELES

Jika boleh jujur, rasanya tak satupun awak pesawat yang menyukai “makanan dalam pesawat” meskipun kita menyadari makanan tersebut dipilih secara cermat, kalorinya diperhitungkan, higienis, aman dan pastinya cukup mahal di uplift oleh Catering khusus.

Bayangkan, jika kita terbang 4 kali sehari dan dalam beberapa hari kemudian kita menjalani rute yang sama maka tak usah heran jika ada komentar, “uh, makanannya itu lagi, itu lagi”.

Pendek kata, jarang ada makanan standard dari Catering yang dirasa enak bagi awak pesawat.
Sehingga bukan rahasia jika hampir setiap awak pesawat selalu berusaha “menukar” makanan Catering dengan jenis atau menu yang lain sepanjang ada kesempatan, meskipun kita tahu barangkali itu makanan yang belum tentu memenuhi standard higienis.

Kisah semacam ini terjadi dimana-mana pada hampir semua station dimana kita beroperasi, apalagi jika itu RON (Remain Over Night) Station. Pastinya ada-ada saja ulah awak pesawat untuk menukar uplift makanan dari Catering.

Petugas Catering pun, sudah sangat hafal dengan rutinitas ini dan tak kalah sigapnya mencatat semua “pesanan” awak pesawat untuk uplift makanan pengganti. Bahkan daftar pesanan tersebut dapat dicatat untuk 2-3 hari kedepan, misalnya bagi awak pesawat yang mempunyai rotasi terbang menginap di suatu station yang sama untuk beberapa hari.

Kebiasaan ini juga terjadi di suatu station yang terpencil seperti kota Biak.

Biak merupakan sebuah kota kecil di pulau Biak, kabupaten Biak Numfor Propinsi Papua Barat. Sedemikian kecilnya kota Biak, nyaris tak diperlukan lampu pengatur lalu lintas, tak ada siaran radio yang bekumandang kecuali siaran RRI setempat dengan lagu yang terasa “jadul” di telinga dan tak ada hotel yang cukup memenuhi syarat berbintang 3 sekalipun.

Ada suara yang khas terdengar yang senantiasa memecah keheningan kota Biak yaitu suara sirine klakson kapal sebagai isyarat akan meninggalkan Pelabuhan Laut Biak dan sirine yang dibunyikan oleh petugas ATC Bandara Frans Kaisiepo Biak sebagai tanda adanya pesawat akan mendarat atau tinggal landas.

Sirine dari Bandara Biak sering kita pergunakan sebagai patokan Pick-Up Time yaitu awak pesawat bersiap untuk berangkat ke Bandara Biak untuk meneruskan tugas penerbangan sebagai awak pesawat pengganti karena awak pesawat yang baru tiba akan beristirahat dan menginap di Biak.

Satu-satunya hotel yang secara setia menjadi tempat beristirahat di Biak hanyalah Wisma Titawaka.
Pada dasarnya, Wisma Titawaka berupa rumah besar yang dilengkapi dengan beberapa kamar yang cukup memuat sekitar 20 sampai 30 tamu. Jadi jangan pernah membayangkan bentuknya seperti hotel yang lengkap ditunjang dengan berbagai fasilitas.
Sungguhpun begitu, hampir semua penginapan atau hotel di Biak selalu menyediakan makan pagi, makan siang dan makan malam sekaligus kudapan sore berupa kue. Bahkan jika kita punya waktu, kita dapat meminta memindahkan makan siang sambil piknik di pantai Biak yang indah berpasir putih. Jadi tak usah heran, jika tariff hotel di Biak tidak lebih murah dari Hotel berbintang di pulau Jawa karena mereka menyediakan “full board service” ala Biak.

Jadi salah satu kebiasaan awak pesawat yang menginap di Titawaka adalah menukarkan “jatah makan pagi” dengan aneka kue atau Sukun goreng untuk di uplift ke pesawat.

Lain lagi dengan urusan Catering,.................

Penerbangan terpanjang dengan DC10 kala itu adalah Honolulu – Biak. Rute Amerika merupakan rotasi awak pesawat yang terbilang panjang dan lama. Kadangkala, awak pesawat menerima schedule selama 14 hari hanya untuk terbang ke Amerika. Dimulai CGK – DPS – BIK RON. Selanjutnya BIK – HNL RON, lalu HNL – LAX RON, kemudian LAX – HNL RON. Disambung lagi, HNL – BIK RON dan selanjutnya pulang BIK – DPS – CGK STOP.
Setelah berhari-hari tinggal di kota metropolitan Los Angeles dan kota wisata Honolulu yang sangat indah namun modern, lalu situasinya tampak kontras setelah mendarat di Biak pagi dini hari yang membawa perbedaan kultur dan perbedaan jam yang menyolok. Lengkaplah sudah cerita “culture shock” dan “jet lag”. Bukan itu saja, bahkan perbedaan “aroma” khas Biak dengan Honolulu seakan masih serasa melekat di hidung kita masing-masing meski sudah belasan tahun kita tidak lagi terbang ke Amerika!
Culture Shock dan Jet Lag ini, masih ditambah derita lagi dimana kita harus tinggal landas keesokan dini hari dari Biak ke DPS dan CGK. Rasanya, tiada yang “bernafsu” untuk sarapan sepagi itu...........................

Jadi kebiasaan berikutnya adalah menukar “jatah Uplift Breakfast” dari Catering dengan Nasi Padang dari salah satu rumah makan Padang di Biak untuk dibawa dan dimakan ketika lapar kapan saja di pesawat.

Suatu pagi yang cerah, sebuah DC 10 mengudara dari Biak menuju ke DPS.

Salah seorang penumpang yang berangkat dari Los Angeles baru saja keluar dari Lavatory dan memperhatikan awak kabin sedang mempersiapkan bungkusan Nasi Pandang untuk disajikan ke Cockpit. Rasanya, liur mulai meleleh dari penumpang separuh baya yang duduk di C Class ini setelah membayangkan betapa nikmatnya Nasi Padang untuk beliau yang telah 15 hari meninggalkan Indonesia ke Amerika.

Oh, Nasi Padang................................. Ehm, yami....... yami.

“Mbak, masih ada lagi Nasi Padangnya? Bolehkah saya tukar makanan C Class saya dengan Nasi Padang itu?” demikian ujar penumpang ke pramugari sambil jarinya menunjuk bungkusan Nasi Padang yang telah tersusun di atas nampan.
Pramugari berpikir cepat, “Bapak ingin Nasi Padang dengan lauk apa?”
Tak kalah semangat sang Bapak menimpali, “Wah, kalau ada rendang, ayam panggang, lalap daun singkong dan sambal hijau pasti nikmat tuh ya............?”

Setelah diperiksa satu-persatu, ternyata Nasi Padang yang diinginkan oleh si penumpang tersebut adalah Nasi Padang menu pesanan milik Copilot.
“Mas, ini ada penumpang C Class mau minta Nasi Padangnya boleh apa gak?”
“Ya udah kasih aja, jangan lupa makanan dia kasih ke saya ya, laper niiih.............” demikian ujar Copilot.

Singkat cerita, bukan hanya satu penumpang C Class dapat rejeki, namun semua empat orang Indonesia penumpang C Class meminta Nasi Padang dengan lauk apa saja sebagai makanan di pesawat.

“Asyik niiiiiiiiiiiiiiiiih...........Terima kasih Mbak, mestinya Garuda kasih makan kita seperti ini dari Los Angeles ” begitulah celoteh penumpang sambil menyantap makanan masing-masing.

Bahkan mereka nyaris tak ada yang peduli ketika pramugari “wanti-wanti” agar jangan ada yang mengeluh dan lapor ke Garuda Indonesia jika sakit perut setelah mengkonsumsi Nasi Padang tersebut.

Pesan Moral
Konon, penumpang adalah raja, apalagi penumpang C Class. Kepuasan pelanggan adalah tujuan utama dari berbagai upaya yang telah dipersiapkan dan diatur secara rinci oleh perusahaan dalam operasionalisasi sehari-hari. Memberikan Nasi Padang sebagai pengganti makanan standard uplift Catering sebagaimana diminta penumpang merupakan tindakan Effective dan Efficient untuk kepuasan pelanggan (F).

Merelakan dan mengikhlaskan Nasi Padang pesanan demi pelanggan menunjukkan loyalitas yang tinggi bagi perusahaan dan pelanggan (L).

Tentu saja ini semata-mata demi kepuasan pelanggan (Y).

Sungguhpun demikian, awak pesawat menyadari bahwa memberikan Nasi Padang ke penumpang mempunyai resiko tertentu karena belum tentu makanan tersebut higienis sebagaimana makanan olahan Catering. Untuk itu, perlu secara jujur dan terbuka memberikan peringatan kepada penumpang tentang kemungkinan resiko sakit perut (H).

Sekaligus tindakan tersebut menunjukkan integritas diri karena awak pesawat juga harus memahami bahwa mengkonsumsi makanan yang bukan dari standard uplift Catering punya resiko tertentu (I).

Catatan Penulis:
•    Cerita ini dicuplik dari kisah nyata.
•    Penumpang separuh baya yang dimaksud adalah salah satu pejabat tinggi Republik Indonesia yang pernah mengepalai Komando Keamanan dan Ketertiban Nasional jaman Orde Baru.


Jakarta, 4 Maret 2008

1 comment:

  1. Sepertinya yang minta nasi padang Almarhum Pak Sudomo, benar tidak capt ? ...he..he.he :)

    ReplyDelete