Thursday, February 2, 2012

Just Culture

JUST CULTURE

Definisi
Istilah just culture terdiri dari dua kata; just dan culture. Culture dalam bahasa Indonesia berarti budaya. Kata culture lebih familiar dengan dunia seni dan sastra, dimana culture itu sendiri mengandung pola pengetahuan manusia, kepercayaan dan perilakunya untuk berpikir secara simbolis dan sosial. Culture juga memiliki kumpulan aturan tentang sikap, nilai, tujuan, dan praktik keseharian. Oleh karena itu, culture seharusnya bukan dominasi dunia seni dan sastra saja. Namun, juga merupakan prinsip dari sebuah sistem yang berjalan termasuk di dunia kerja.
Jika berbicara tentang just culture, maka dalam konteksnya tidak terlepas dari Safety Culture. Budaya Keselamatan (Safety Culture) adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana safety dikelola di tempat kerja dan kadang mencerminkan perilaku, kepercayaan, persepsi dan nilai-nilai dimana pegawai memiliki andil dalam menciptakan safety.

Menurut James Reason (1997), ada lima komponen pembentuk safety culture, yakni:
  1. Informed Culture, dimana orang-orang yang mengelola dan mengoperasikan sebuah sistem manajemen memiliki pengetahuan tentang faktor psikologis, teknis, organisasi dan lingkungan yang menentukan dan mempengaruhi safety sebagai sistem secara keseluruhan.
  2. Reporting Culture, merupakan iklim di suatu perusahaan dimana pegawai bersedia untuk melaporkan kesalahan (errors) dan/atau hazard (potensi bahaya yang kemungkinan dapat menimbulkan insident).
  3. Flexible Culture, merupakan budaya dalam perusahaan dimana setiap individu pekerjanya dapat mengatur ulang dirinya dalam menghadapi tempo operasional yang tinggi atau jenis bahaya tertentu yang tidak selalu sama dan terkadang sering bergeser dari bentuk hierarki konvensional sehingga menuju bentuk yang lebih efisien tanpa birokrasi yang rumit.
  4. Learning Culture, dimana suatu perusahaan harus memiliki kemauan dan kompetensi untuk memahami dan menarik kesimpulan dari informasi safety dan mau menerima sebuah perubahan yang besar.
  5. Just culture, merupakan suasana saling menghargai dan mempercayai dimana setiap orang dianjurkan bahkan diberi penghargaan jika dapat menyediakan informasi penting yang berkaitan dengan safety, serta mengerti secara jelas batas-batas perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Bagaimana Just Culture menilai sebuah “ERROR”?

Error merupakan sebuah kondisi dimana kejadian tidak sesuai dengan standar perusahaan. Jika kondisi tersebut terjadi akibat gerak-gerik dan/atau tindakan seseorang maka hal tersebut dinamakan human error. Ketidak-sengajaan merupakan faktor pembatas antara error dengan violition (pelanggaran). Violition terjadi jika seseorang mengetahui tentang standar yang berlaku namun tidak melaksanakannya sebagaimana mestinnya. Sebuah pelanggaran tentu saja memerlukan tindakan penanganan secara hukum. Munculnya error bisa terjadi bila orang dan/atau organisasi yang bersangkutan kurang dalam memperoleh pelatihan, training, maupun pengalaman.

Hazard

Dalam lingkungan keseharian, sering ditemui istilah hazard. Dalam konteks safety, hazard merupakan sebuah tindakan atau kondisi yang berpotensi menimbulkan resiko baik insiden maupun kecelakaan yang lebih serius. Sebagai contoh, sebuah kecelakaan terjadi di jalan raya akibat sebuah sepeda motor mengalami pecah ban dan pengendaranya luka parah. Diketahui ban pecah akibat tertusuk paku. Paku yang berserakan di tengah jalan disebut hazard, dan kejadian si pengendara motor mengalami luka parah disebut kecelakaan fatal (accident). Namun, apabila sepeda motor hanya mengalami pecah ban dan tidak terjadi apa-apa terhadap si pengendara motor maka kejadian ini disebut dengan incident.

Membahas Just culture lebih dalam


Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Reason, dapat dipahami bahwa seseorang just culture tidak menghukum seseorang akibat tindakan, kelalaian dan/atau keputusan yang telah dilakukannya akibat kurangnya pengalaman dan pelatihan, namun tidak akan mentolerir terjadinya sebuah tindakan ceroboh yang mengakibatkan violition bahkan sebuah tindakan destruktif (menghancurkan). Just

Culture menciptakan sebuah lingkungan yang saling mempercayai satu sama lainnya sehingga masih-masing individu didorong untuk memberikan informasi tentang segala sesuatu yang bermanfaat bagi safety. Terkadang diberikan penghargaan atas pemberian informasi tersebut sehingga dapat memotivasi orang yang bersangkutan dan secara tidak langsung orang lain untuk dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan lebih banyak. Dalam hal ini, semua pihak baik perorangan maupun organisasi harus mengetahui batas manakah error yang masih bisa diterima maupun yang sudah tidak dapat ditolerir. Contoh nyata di lingkungan Garuda Indonesia, bagi setiap orang yang memberikan laporan mengenai hazard akan diberikan surat balasan dan juga perkembangan atas penanganan hazard yang dilaporkannya. Bahkan apabila orang tersebut aktif memberi laporan yang berkualitas, maka akan diberikan sebentuk penghargaan.

Dalam sudut pandang Just culture, setiap individu berkewajiban untuk melaporkan hazard yang ada di sekitarnya. Rasa tidak peduli, lepas tangan karena merasa hal tersebut bukanlah tanggung jawabnya, bukan merupakan sesuatu yang diharapkan dalam culture ini. Pimpinan yang dilaporkan laporan atas hal tersebut juga tidak berhak memnberikan sanksi pada individu yang memberikan laporan. Dengan adanya rasa kepercayaan antar individu dan perusahaan serta perusahaan pada pegawainya (termasuk di dalamnya hubungan antara atasan-bawahan), maka tiap orang merasa ikut berperan serta dalam menjaga safety di lingkungan masing-masing. Sebagai contoh kecil, ketika seseorang menemukan tumpahan oli pada tangga maka tindakan yang harus dilaksanakan olehnya adalah membersihkan atau paling tidak memberi tanda di sekitarnya agar orang lain tidak terpeleset (tindakan reaktif). Tidak peduli apa posisi dan jabatan orang tersebut. Setelah itu barulah ia melaporkannya ke personil atau unit yang berwenang. Janganlah karena menunggu orang yang bertanggung-jawab untuk membersihkannya menyebabkan ada orang lain yang terpeleset.

Just culture juga menekankan tentang pentingnya memahami makna dari error yang terjadi. Dari setiap informasi tentang safety, perlu ditelusuri akar permasalahannya. Apa sebenarnya yang perlu ditelusuri dari sebuah kejadian yang berujung pada error?. Just Culture tidak membahas tentang “siapa” yang salah, namun “apa dan mengapa” terjadinya sebuah kesalahan. 

Kenapa Just culture Mesti Diterapkan?


Implementasi Just culture dalam aktivitas organisasi akan memberikan kebaikan:
  1. Meningkatkan pelaporan kejadian yang dapat mengarah pada kecelakaan serius. Laporan terhadap peristiwa atau kejadian yang dapat mengarah pada kecelakaan serius (hazard and events report) dapat meningkatkan kesadaran akan kecenderungan bahaya yang lebih besar yang mungkin akan terjadi, terlebih ketika kejadian yang sama terjadi berulang kali Sehingga tindakan preventif untuk kecelakaan yang lebih besar yang dapat terjadi itu dapat segera dilakukan. Meskipun jumlah pelaporan yang sedikit tidak mencerminkan keadaan yang aman (safe operation), dan sebaliknya peningkatan jumlah pelaporan tidak mencerminkan penurunan tingkat keselamatan (decrease in safety), namun sebuah laporan setidaknya dapat memberikan informasi tentang penyimpangan yang terjadi untuk segera ditangani. Ini akan meminimalisir kemungkinan terjadinya kejadian yang sama terulang kembali. Bayangkan ketika tidak ada just culture, setiap orang akan mengutamakan kepentingannya sendiri seperti mengerjakan tugas yang menjadi tanggungjawab pribadi, berlomba untuk promosi dan menjadi yang terbaik, mengejar nilai nilai diri dengan menyembunyikan kesalahan dan pelanggaran pribadi yang sepertinya tidak berbahaya dan tidak perlu dilaporkan padahal menyimpan potensi resiko yang sangat besar dan kerugian bagi perusahaan. Pelaporan yang tidak ditangani dengan baik akan menjadi sia-sia, sehingga just culture akan  menuntut tiap-tiap orang dalam organisasi untuk bekerjasama menangani setiap kesalahan dan mengatasi setiap masalah alih-alih menyembunyikan kesalahan dan masalah-masalah tersebut.
  2. Membangun Kepercayaan. Budaya pelaporan melalui just culture akan mengubah pemikiran konvensional dengan melihat error atau penyimpangan yang terjadi secara positif, bukan semata sebagai kesalahan individu, tetapi ada keterlibatan pihak-pihak lain secara tidak langsung secara sistemik, misalnya prosedur dan standardisasi yang tidak jelas, sosialisasi program kerja dari manajemen yang tidak tersampaikan dengan baik kepada para karyawan sehingga karyawan tidak mengerti dengan baik apa yang diharapkan darinya, dll. Dalam just culture, individu yang memberikan informasi yang terkait dengan keamanan dan keselamatan tidak akan dihukum tetapi akan dihargai dan didorong untuk secara proaktif memberikan informasi-informasi yang berguna bagi perusahaan. Hal ini akan menambah kepercayaan karyawan dalam bekerja karena karyawan tidak akan merasa terancam bahkan terlindungi dan dihargai dengan melaporkan peristiwa atau kejadian yang memiliki potensi resiko yang besar baik yang melibatkan dirinya maupun yang melibatkan orang karyawan lain atau bahkan manajemen.
  3. Meningkatkan Efektivas Safety and Operational Management. Just culture akan meningkatkan pencapaian safety performance sebagai pencapaian perusahaan dan safety value sebagai nilai dasar yang dianut dalam aktivitas organisasi karena just culture akan menciptakan pemahaman yang jelas bagi karyawan dalam bekerja dengan menentukan prosedur dan standardisasi yang baku, target dan program kerja yang tersampaikan dengan baik kepada seluruh karyawan, sekaligus akibat-akibat yang timbul apabila karyawan melakukan penyimpangan dan kesalahan.
Jika penelusuran penyimpangan atau kesalahan berujung pada penemuan kesalahan prosedur atau manajemen, maka revisi dan penyusunan ulang prosedur atau program kerja menjadi fokus perhatian oleh manajemen. Namun, jika penyimpangan terjadi karena kesalahan individu, maka dapat dilakukan penanganan segera seperti:

  • Menciptakan alternatif komunikasi efektif antara atasan dan staff
  • Perbaikan tata cara kerja, seperti perubahan metode kerja sehingga lebih efisien, perbaikan stasiun kerja dan lingkungan yang supportif, perbaikan alat-alat kerja, dll.
  • Peningkatan kompetensi dan ketrampilan karyawan seperti kemampuan berkomunikasi hingga kemampuan memecahkan masalah.
Pembaharuan yang terus menerus terjadi sekecil apapun akan mengarah pada pencapaian kinerja yang lebih baik dan lebih baik lagi.  

Blame Culture adalah “Lagu lama”


Blame culture merupakan kebalikan dari peranan just culture dalam sebuah perusahaan. Blame culture (culture saling menyalahkan) sering sekali terjadi dalam dinamika perusahaan. Culture seperti ini sering mengakibatkan pertentangan antar berbagai pihak baik pada intra manajerial, inter department, atasan dengan bawahan, sehingga terkadang sangat sulit dipertemukan dan mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan permasalan yang berlarut-larut. Blame culture adalah “lagu lama”. Sebagai insan Garuda Indonesia, sungguh tidak diharapkan lagi untuk tetap membudidayakan dan menyanyikan lagu lama tersebut. ICAO (International Civil Aviation Organization) mensyaratkan agar just culture diterapkan di seluruh aspek penyelenggaraan perusahaan anggotanya, sebagaimana yang termuat dalam ICAO Doc.9859 Safety Management Manual 2nd edition 2008 poin 2.9 Safety Investigation. Oleh karea itu, Indonesia sebagai anggota ICAO dan Garuda Indonesia sebagai Flight Carrier dituntut untuk dapat menerapkan just culture di seluruh lini perusahaannya.

Jakarta, 17 Maret 2009

No comments:

Post a Comment