Hari ini tersiar kabar bahwa helikopter Bolko TNI AD (Penerbad) mengalami kecelakaan di daerah Cianjur Jawa Barat.
Kabarnya ada 2 korban meninggal dan awak pesawat (Pilot in Command dan Co-Pilot) mengalami luka-luka dan dibawa ke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
Kadispen TNI AD di hadapan media menyatakan bahwa:
- Pesawat dalam kondisi laik terbang,
- Penerbang dilengkapi prosedur lengkap dalam menjalankan misi penerbangan, dan
- kecelakaan ini murni akibat cuaca buruk.
Semoga anda telah membaca artikel "Kecelakaan Hercules TNI AU 20 Mei 2009 Geplak Karas Jatim" yang membahas chain of errors, Human Error, dll.
Cuaca Buruk?
Setiap penerbang dibekali pengetahuan mengenai Meteorologi dengan semua aspek fenomenanya.
Meteo merupakan aspek pendidikan dasar sejak sekolah terbang (flying school). Penerbang diperkenalkan dari teori dasar tentang fisika sehubungan dengan tebentuknya angin, perbedaan tekanan udara, pengaruh suhu udara, pembentukan awan, jenis-jenis awan, berbagai bentuk angin yang berbahaya, sampai fenomena badai tropis, windshear, gusty, ice, hail, hujan, fenomena cuaca di suatu wilayah, iklim, hukum Bouis Ballot (?), hukum Faraday (?) dsb dsb dsb.
Pendek kata meteo merupakan pelajaran penting dalam aspek penerbangan yang harus diketahui penerbang, meski tak harus sehebat Ahli Meteorogi atau Peramal Cuaca yang khusus sekolah jurusan Meteorologi (dan Geofisika).
Berdasarkan pengalaman dan jam terbang, penerbang juga memahami "tanda-tanda alam" tsb, bahkan di dalam pesawat (normalnya) dilengkapi Radar Cuaca (Weather Radar) untuk mendeteksi berbagai "cuaca buruk".
Setiap sebelum tugas terbang, penerbang juga harus membuat Rencana Terbang (Flight Plan) yang di dalamnya memperhatikan (salah satunya) aspek cuaca berdasarkan Ramalan Cuaca sepanjang rute penerbangan, bandar udara keberangkatan, kedatangan, dan bandar udara alternatif di sekitarnya. Berdasarkan itu, penerbang dapat menentukan jumlah bahan bakar yang perlu diangkut dalam penerbangannya.
Penerbang juga diajarkan dan dilatih tata cara menghadapi cuaca buruk; salah satunya adalah bagaimana mendeteksi (identification), menghindari (avoidance) serta tata cara memasuki cuaca buruk yang masih dapat diterima (penetration), termasuk perhitungan resiko menghadapi cuaca buruk.
Instrument Flight Rules (IFR)
Ada tata cara terbang yang biasa dipergunakan, yang pertama yaitu IFR dimana pesawat terbang mengandalkan bantuan referensi alat-alat navigasi dan mengandalkan instrumen. Secara umum, penerbang hanya perlu melihat landasan hanya untuk tinggal landas sampai ketinggian sekitar 10 meter di atas landasan (bahkan yang sangat ekstrim hanya sekedar mampu melihat landasan dengan jarak pandang sekitar 350 meter saja) dan melihat landasan untuk mendarat sampai batas minimum sekitar 70 meter di atas landasan atau jarak pandang rata-rata hanya 800 meter saja. Sisanya, diterbangkan hanya mengandalkan instrumen alias melihat ke dalam kokpit saja.
IFR biasa dipergunakan oleh airline atau pesawat yang terbang "tinggi" dimana tak memungkinkan mengandalkan check point di darat.
Visual Flight Rule (VFR)
Proses terbang yang 100 persen mengandalkan "visual" ke luar pesawat dengan mengandalkan tanda-tanda atau check point di darat (biasanya bangunan atau tanda-tanda yang menyolok) misalnya sungai, mercu suar, pulau, jembatan, kota kecil, pabrik, monument, dll (yang secara permanen tak dipindahkan).
VFR biasa dipergunakan untuk pesawat yang terbang rendah dan biasanya pesawat yang tak dilengkapi sistim cabin pressurization.
Kedua jenis penerbangan tersebut dilengkapi dengan peta terbang yang berbeda. Untuk terbang instrumen biasa mempergunakan peta Navigation Chart sedang untuk terbang visual mempergunakan Topographic Chart.
Penerbangan Helikopter
Sebagaimana diterangkan, secara umum helikopter terbang dengan ketinggian mengikuti "surface contour" atau mengikuti tinggi permukaan tanah (namun ada juga Helikopter yang mampu terbang instrumen). Jadi helikopter yang sedang terbang pada rute yang menjelajah akan terbang sekitar 500 feet sd 6500 feet mengikuti ketinggian sesuai permukaan wilayah setempat. Jika di atas dataran maka helikopter akan terbang rata mendatar pada suatu ketinggian, sedang jika ada gunung atau bukit, ia akan naik menyesuaikan ketinggian terhadap dataran tinggi di sekitarnya.
Tata cara seperti ini dapat dipastikan helikopter akan terbang dengan VFR mengandalkan tanda-tanda di darat.
Sebagaimana namanya, Visual Flight Rule maka penerbangan seperti itu berarti tak diijinkan masuk ke awan atau dengan kata lain ada jarak pandang tertentu yang senantiasa harus dipatuhi.
Lalu apa kaitan VFR dengan cuaca buruk?
Jika VFR mensyaratkan mempertahankan jarak pandang tertentu (agar tetap dapat membaca check point di darat dan melihat gunung di depan) maka tak akan pernah ia memasuki awan.
Jika pesawat tak pernah memasuki awan, lalu kapan ia memasuki cuaca buruk? Ya tak pernah toh . . . .
Lalu bagaimana jika tak pernah memasuki awan tapi memasuki wilayah hujan lebat?
Kembali pada aturan pertama, yakni harus mempertahankan jarak pandang tertentu (maintain visual).
Pesawat dapat memasuki hujan badai sekalipun namun penerbang harus senantiasa mempertahankan jarak pandang ke depan dan ke bawah.
Bagaimana jika tak mungkin mempertahankan jarak pandang karena cuaca hujan yang lebat?
Ikuti aturan terbang, identifikasi, menghindari, penetrasi, jika tak mungkin maka segera cari lapangan bola atau tanah lapang untuk mendarat dan tunggu sampai cuaca membaik. . . .
Jadi mungkinkah cuaca buruk sebagai penyebab kecelakaan helikopter TNI AD di Cianjur?
Ya tidak kan?
Lagupula, berdasarkan "chain of errors", cuaca hanyalah "contributing factor" atau "triggering factor" terhadap kecelakaan.
Untuk itu, mari kita telaah kebelakang, apakah pengoperasian pesawat telah dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai prosedur?
Apakah pelatihan penerbangnya mencukupi?
Apakah data-data penerbangan cukup memadai sebelum penerbangan?
Apakah penerbang sungguh-sungguh memperhatikan data-data tersebut?
Apakah Flight Plan dibuat dengan benar?
Apakah ada kontrol terhadap kegiatan itu semua?
Apakah penerbang cukup kualifikasi dan apakah kualifikasi tersebut masih "current"?
Apakah kebijakan operasional (dari atasan) cukup baik?
Apakah kebijakan tersebut dipahami oleh penerbang?
Dst dst dst
Ini belum lagi membahas "human error" orang-orang yang terlibat dalam operasi penerbangan tsb.
Satu hal yang dapat dipahami bahwa cuaca buruk bukan lah penyebab kecelakaan pesawat terbang meski cuaca buruk seringkali menjadi "pemicu" terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Jakarta, 8 Juni 2009
Salam hangat,
Novianto Herupratomo
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment