Wednesday, February 8, 2012

Human Error Dalam Penerbangan


Human Error Dalam Penerbangan
Saya jelas bukan ahli atau praktisi hukum.
Namun membicarakan "error" dalam industri dirgantara sangat berbeda arti dengan "lalai" dalam kaidah hukum (KUHP, Hukum Perdata, dll).
Pertama-tama kita harus memahami bahwa "human makes error(s)" merupakan hal yang "lumrah" setiap manusia melakukan kelalaian. Tak ada satupun manusia luput dari kelalaian. Jadi apa iya, kita akan dihukum akibat "lalai" yang lumrah tsb?
Dalam "Threat and Error Management" ada beberapa tingkatan "lalai" atau "error".

LAPSE

Adalah jenis kelalaian yang "tak disengaja" yaitu "lupa" tentang sesuatu atau tindakan. Misalnya; kita sedang haus-hausnya dan berniat pergi ke lemari es untuk mengambil minum. Beberapa langkah sebelum mencapai kulkas, kita mendengar ada benda jatuh di dapur "praaaang" sebuah piring terjatuh. Kita kembali ke lemari es, membuka pintunya dan memandang isi kulkas tsb dan kita "lupa" mau mengambil apa ya tadi? Ini jenis lupa yang tak disengaja padahal tadinya sudah berniat mengambil minum.
Apa iya, "lalai" semacam ini mau dihukum?

SLIP

Lalai "tanpa sengaja" tak mengambil tindakan atau lalai dalam melakukan tindakan (omit in action atau ommitted action).
Misalnya; saya berniat akan belok kanan pada suatu perempatan jalan, lampu sign telah kelap-kelip saya nyalakan pertanda saya akan berbelok ke kanan. Sesaat kemudian, seorang wanita cantik dan aduhai melintas menyebrang jalan. Mata saya mengikuti jalan wanita tadi yang melintas didepan saya. Tiba lampu lalu lintas berganti hijau dan klakson pengemudi tak sabar mulai riuh berbunyi. Saya berbelok ke kiri mengikuti wanita cantik yang aduhai tadi. Saya lalai berbelok ke kiri meski awalnya sudah diniatkan akan berbelok ke kanan.
Contoh lain, saya sedang mandi, shower air sudah mengguyur tubuh dan urutan berikutnya menyabuni tubuh. Ini kegiatan rutin manusia yang secara otomatis tak lagi perlu dihafal karena sudah rutin dan sederhana. Sesaat saya teringat tugas dari boss yang kemarin sore belum juga selesai. Apa ya jawaban yang baik untuk boss nanti di kantor agar boss tak marah? Saya ambil shampo dan mulai menyabuni tubuh dengan shampo. Suatu yang kurang lazim namun dapat terjadi. Ini yang namanya tak sengaja salah bertindak.
Apa iya, orang lalai semacam ini akan dihukum?
Di dalam ilmu keselamatan penerbangan, kedua "kelalaian" di atas harus ditindak lanjuti dengan "diingatkan" bukan dihukum karena hakekatnya mereka pelaku bukan bodoh atau tak terlatih, namun hanya lupa karena fokus perhatiannya sedang terganggu hal-hal lain.

MISTAKES


Ini merupakan "salah tindak" yang "tak sengaja"

Jika ada seseorang ditanya 2 kali 2 sama dengan 6 atau 2 tambah 2 dikatakannya sama dengan 6 maka

kemungkinan besar penyebab yang terjadi adalah sewaktu pelajaran ia tak sungguh-sungguh memperhatikannya di kelas. Apa yang perlu dilakukan? Jika ada orang kurang memahami pekerjaannya maka jalan keluarnya adalah memasukkannya kembali ke kelas atau mengulang pelatihan, bukan menghukumnya karena boleh jadi kita yang salah tak mengajarkannya secara baik atau tak memberikan pelatihan yang memadai.
Mengapa ketiga kelalaian di atas acapkali terjadi? Karena proses kerja otak kita dalam berpikir bekerja secara "serial" bukan "paralel". Ketika proses ingatan ter "destruction" hal lain maka seluruh atau sebagian proses berpikir juga terganggu.

VIOLATION

Kelalaian yang dilandasi oleh "kesengajaan" untuk melanggar.

Ini jelas bentuk kelalaian yang berbeda dengan bentuk kelalaian yang sebelumnya (3 di atas).
Pelanggaran ya pelanggaran, siapapun yang melanggar patut dihukum.
Tapi sebelumnya, kita perlu cermati lebih dalam, pelanggaran juga ada tingkatannya.

Unintentional Violation:

  • Sekedar contoh, saya punya "affairs" dengan seorang wanita cantik yang baru saya kenal beberapa bulan. Suatu hari saya ditangkap pihak berwajib dan dinyatakan salah karena ternyata ia seorang "istri" dari pria lain. Saya tak pernah tahu sebelumnya, saya tak pernah tanya dan wanita ini juga tak pernah bercerita bahwa ia istri org. Saya bersalah "melanggar" . . . .
  • suatu hari saya dihukum krn dinilai melanggar UU. Sebuah UU atau Peraturan yang saya tak pernah ketahui sama sekali sebelumnya. Namun karena sudah "diundangkan" maka secara hukum saya tetap salah, baik tahu isinya maupun tidak.
Kedua contoh itu menggambarkan bahwa tindakannya "disengaja" namun pelanggarannya "tanpa sengaja"

Intentional Violation

Pelanggaran yang ia tahu bahwa ia melanggar dan dilakukannya secara sadar.
  • ini contoh yang paling ringan. Pada tengah malam saya berhenti di lampu merah perempatan jalan Pramuka "Coca-Cola" Cempaka Putih. Tak ada mobil, jalanan sepi, dan secara hati-hati saya terobos lampu merah karena saya takut dirampok pasukan "kapak merah" jika berhenti terlalu lama.
  • saya menyalip dari kiri di jalan Tol atau dari bahu jalan. Saya tahu melanggar tapi terpaksa saya lakukan karena sederatan truk-truk gandengan dibiarkan saja berjalan lambat di lajur kanan yang seharusnya untuk jalur mendahului.

Violation yang berat:
  • sangat mudah mencari contohnya sendiri.

Dalam industri dirgantara, sudah ada "kode ethik" mana ketentuan warna "hijau", "kuning" dan "merah"

Lampu "hijau" adalah semua ketentuan dan prosedur sangat jelas dan ditujukan semata-mata untuk menjaga faktor keselamatan (dan keamanan) dan saya pikir hal ini berlaku juga untuk semua jenis pekerjaan yang "sensitif" terhadap faktor keselamatan.

Kita berharap semua petugas dan orang melakukan pekerjaannya dalam rambu "hijau". Berbagai jenis aktifitas yang didokumentasikan secara baik untuk dipergunakan selama proses bekerja demi untuk menjaga keselamatan dan keamanan penerbangan. Biasanya prosedur semacam ini dirangkum dalam berbagai manual.

Kemudian ada serangkaian prosedur yang masuk kategori “lampu kuning” yakni prosedur abnormal. Prosedur yang harus dilaksanakan secara cermat dan hati-hati karena memang situasinya kurang normal.

Kita juga menduga orang mungkin akan melanggar rambu "kuning". Jika tak ada apa-apa, ya masalah selesai. Namun jika ada masalah yang berkaitan dengan pelanggaran maka ia tahu bahwa ia bisa dihukum.

Lalu ada serangkaian prosedur “darurat” atau “bahaya” yang memerlukan kecermatan tingkat tinggi tanpa boleh salah karena jangan sampai orang terjebak pada kondisi darurat yang berantai. Secara tidak langsung ini merupakan kelompok prosedur berisi “larangan” dimana orang diharapkan tak melakukan pelanggaran sama sekali karena situasi sangat berbahaya.

Orang juga memahami bahwa jika ia melanggar rambu "merah", ada kecelakaan atau tidak, ia dapat secara langsung dihukum.

Ada banyak motivasi, mengapa seseorang melanggar ketentuan atau regulasi meski ia tahu itu melanggar.

Biasanya diawali dengan motivasi tertentu, antara lain:
- I am a hero!
- I will show you that I can do better than other
- I like something unusual
- I hate everything around me
- I know better than you

Pelanggaran jenis ini sungguh sangat fatal jika didiamkan, seperti virus yang menular. Jika satu pelanggar didiamkan maka akan menular menjadi "culture" yang diikuti lainnya.

Dalam industri dirgantara (khususnya sektor keselamatan penerbangan) maka solusi untuk kaum pelanggar spt ini hanya satu "dibina . . .sakan"

Bahkan saya orang pertama yang akan "membunuhnya". Para pelaku pelanggaran dengan motif di atas harus segera di "remove" dari pekerjaannya, di "delete" dan langsung di "empty" dari "recycle bin".

Kesimpulannya:

Ini bagian yang tak mudah bahwa "kelalaian" dalam profesi tak sama arti dengan "kelalaian" dalam KUHP.

Ingat, "lalai" adalah hal yang lumrah sebagai keterbatasan seorang manusia yang berawal dari tindak tak sengaja.

Susahnya lagi, tak ada satupun kecelakaan pesawat terbang yang diawali dengan "motif" ingin celaka atau membuat "kecelakaan", akankah pelaku-pelaku ini kita hukum?

Catatan: sudah ada hukuman indispliner internal dan hukuman profesi penerbangan yang diatur dalam Undang Undang No 1 Penerbangan tahun 2009 dengan maksimum penjara 15 tahun dan/atau denda 2,5 Milyar Rupiah.

Sementara itu, KUHP disusun dengan kaidah untuk menghukum para pelanggar (dan penjahat) yang senantiasa didahului "motif" untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan. Pelaku kejahatan dapat dihukum kurungan sampai hukuman mati. Meski, kita juga kadang ingin meringankannya dengan istilah "narapidana" atau Lembaga Pemasyarakatan" (anyway, it is really a jail dan bukan balai pendidikan)

Sementara, Investigasi kecelakaan pesawat diatur oleh ICAO Annex 13 Aircraft Accident Investigation yang bersumber dari berbagai International Conventions lebih ditujukan utk memahami akar masalah penyebab kecelakaan dalam rangka melakukan perbaikan agar tak terulang peristiwa serupa, dan bukan utk menghukum (solely for safety improvement and not for liability or to blame)

Saya paham benar, akibat kelalaian manusia bisa ada korban meninggal dan luka berat dalam kecelakaan pesawat, lalu apakah pilot (dan personil lain) perlu diadili dengan pengadilan sipil?

Bagaimanapun, "Fairness" dan "Justice" merupakan hal yang tak mudah diperdebatkan untuk memperoleh "titik equilibrum" bagi semua, namun yang pasti tak gampang "memuaskan" semua pihak.

Barangkali situasi serupa dihadapi oleh profesi dokter. Jika ada dokter dituduh malpraktek, kita seyogyanya perlu mendalami, apakah itu malpraktek akibat tindakan yg serampangan atau hanya kelalaian spt di atas. Lagi pula situasi pasien dan dokter sangat kompleks yang jarang diketahui publik.

Industri penerbangan juga didukung sistim keselamatan yang sangat kompleks. Tak mudah utk menemu-kenali "penyebab" kecelakaan (kalaupun ketemu, selalu gabungan "chain of errors")

Tanpa motif yang faktual akankah kita adili mereka yang terlibat dalam kecelakaan pesawat?

Menurut saya, hanya tindakan yang nyata-nyata violation yang patut dihukum, itupun bukan melalui pengadilan sipil yang disidik polisi.

Terlepas masalah "fairnes" and "justice", saya juga mengkhawatirkan "aviation safety system" di Indonesia semakin memburuk jika pelaku kecelakaan diadili (dituntut) dan dunia International semakin "marah" karena Republik ini tak tunduk pada konvensi dan ICAO Annex yang telah diratifikasi banyak negara anggota PBB.

Pada sisi lain saya juga ingin menyampaikan bahwa pelaku kecelakaan dengan dasar "intentional violation error" atau "professional negligance" harus dihukum sekerasnya dan dilarang mengoperasikan pesawat terbang (namun bukan hukuman penjara)

Pelaku kecelakaan pesawat terbang hanya patut disidik penegak hukum dan didadili di pengadilan sipil jika terindikasi melakukan pelanggaran kriminal (with criminal motives), misalnya Terrorism, Hi-Jack, Bomb Threat, Kidnap, Suicide, dll.

Saya khawatir, mengadili dan menghukum para pelaku tindak kecelakaan pesawat komersial maupun jenis transportasi publik hanya semacam “dagelan” untuk memuaskan dahaga “balas dendam” karena membiarkan “akar masalah” penyebab kecelakaan terabaikan sehingga kecelakaan transportasi publik terus terjadi di republik ini.

Jakarta, 30 Mei 2009
Salam,
Novianto Herupratomo

1 comment:

  1. Betul pak, saya setuju sekali dengan pendapat bapak
    Negeri ini telah terlalu banyak mengeluarkan berbagai legislasi, tetapi malah semakin membingungkan.

    UU Penerbangan yang baru yaitu UU No.1 Tahun 2009, terlihat ambigu. Di satu sisi ingin mengadopsi ketentuan Annex 13 ICAO, namun d sisi lain, semangat "menghukum"pilot pun masih nampak.

    Penuntutan pidana terhadap pilot terkait kecelakaan pesawat udara menimbulkan polemik di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang memiliki pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi kapten penerbang di Indonesia.

    Sebagian kalangan berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap pilot dalam kecelakaan pesawat udara karena jika seorang kapten penerbang dalam melaksanakan tugasnya diancam dengan hukuman, maka kapten penerbang tersebut tidak akan secara jujur mengemukakan fakta yang ada, sehingga hasil investigasi tidak akan maksimal dalam memperoleh data untuk mencegah kecelakaan dengan sebab yang sama.

    Apalagi jika mengacu pada ketentuan Konvensi Chicago 1944 sebagai regulasi penerbangan internasional serta ketentuan Annex 13 ICAO, yang menyatakan bahwa maksud dan tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan pesawat udara dengan sebab yang sama, bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

    Sebagian kalangan lain berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap pilot yang menimbulkan kecelakaan pesawat udara apalagi jika menyebabkan hilangnya nyawa atau korban jiwa. Mereka berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap kapten penerbang dengan merujuk pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 354, Pasal 411 serta Pasal 438 UU Penerbangan saat ini.

    Dalam implementasi penegakan hukum terdapat pandangan yang berbeda di antara para penegak hukum terkait pertanggungjawaban pidana kapten penerbang yang menyebabkan kecelakaan pesawat udara. Salah satu contohnya antara lain terlihat dalam kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda Indonesia, Boeing 737-400 GA 200 yang terjadi pada 7 Maret 2007. Pesawat yang terbang dari Jakarta itu terbakar setelah mendarat di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta. Peristiwa tersebut menimbulkan korban jiwa sebanyak 21 (dua puluh satu) penumpang dan seorang awak pesawat.

    Pengadilan Negeri Sleman menyatakan kapten penerbang dalam kecelakaan pesawat udara tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 479g huruf b dan a KUHP serta menjatuhkan vonis pidana penjara 2 (dua) tahun, sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta menilai bahwa dakwaan tersebut tidak terbukti sehingga membebaskan terdakwa (putusan vrijspraak).

    Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam pertanggungjawaban pidana kapten penerbang yang menyebabkan terjadinya kecelekaan pesawat udara.

    Hal tersebut akan mengandung permasalahan hukum jika para penerbang tidak mengetahui khususnya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 354, Pasal 411, serta Pasal 438 UU Penerbangan tersebut.

    Saya berharap pemerintah agar melakukan pembenahan berbagai regulasi yang berkaitan dengan penerbangan sehingga dapat memberikan kepastian hukum terkait pertanggungjawaban pidana kapten penerbang.

    Demikian pak, sekali lagi terima kasih artikelnya...sangat membantu wawasan saya.











    ReplyDelete