Saturday, February 4, 2012

Kecelakaan Hercules TNI AU 20 Mei 2009 Geplak Karas Jatim

Kecelakaan Hercules TNI AU 20 Mei 2009 Geplak Karas Jatim
Tujuan utama ulasan ini untuk lebih memahami "duduk perkara" kecelakaan serupa agar tak terjadi lagi dan sama sekali bukan hendak menyalahkan siapa-siapa atau para pihak manapun. Sesuai ICAO Annex 13 Accident Investigation Manual, ulasan hendaknya tidak dijadikan dasar "penuntutan hukum" bagi siapapun untuk siapapun atau pihak manapun.

Permohonan maaf dan doa disampaikan untuk semua korban dan keluarga korban kecelakaan, khususnya para korban kecelakaan yang meninggal dunia maupun mengalami cacat tetap.


-----------

Latar Belakang

Pesawat Hercules C130 merupakan jenis pesawat angkut logistik. Hercules C130 dengan call sign A(Alpha) 1325 buatan 1980 ini dikabarkan mengalami kecelakaan pagi ini sekitar pukul 06.42 WIB ketika melakukan persiapan pendaratan ke Pangkalan Udara Iswahyudi Madiun.

Jumlah korban sementara ini 98 penumpang dan 14 awak pesawat dikabarkan bahwa 98 meninggal dan 15 luka-luka (jumlah ini termasuk 1 penduduk meninggal dan 2 luka-luka).

Saksi mata melaporkan bahwa pesawat telah menurunkan roda pendarat dan tiba-tiba terasa kehilangan daya angkat mesin dan menghunjam ke tanah menabrak 2 atau 3 rumah penduduk sehingga menimbulkan korban jiwa penduduk.

Pesawat mengalami beberapa kali ledakan dan terbakar habis beserta mayoritas penumpang dan awak pesawat di dalamnya.

Perlu disampaikan bahwa pesawat sedang dalam misi terbang rutin membawa logistik dan penumpang dari Halim, Iswahyudi, Makasar, Kendari dan Biak.

Pendaratan di Iswahyudi dilakukan dalam cuaca yang cerah.

Kadispen TNI AU menyampaikan bahwa pesawat dalam kondisi laik terbang dan baru saja melalui perawatan dan keluar dari hangar tgl 9 Mei 2009. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa banyak penumpang sipil adalah keluarga anggota TNI AU. Selanjutnya menjawab pertanyaan media mengapa penumpang yang keluarga anggota TNI sampai perlu membayar Airport Tax? Ia menjawabnya sebagai biaya kebersihan bandara (entah bandara mana).

Metro Realita (Metro TV) melaporkan bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa penumpang dapat "ikut" pesawat angkut TNI dengan membayar IDR 400 ribu sd 1 juta tergantung tujuan akhir.

Danlanud Iswahyudi memberikan keterangan bahwa kecelakaan ini sangat besar kemungkinan bukan karena "human error". Hal ini disebabkan Captain Pilot yang bertugas adalah seorang Instructor Pilot.

Lalu apa yang dapat kita jadikan pelajaran dari kecelakaan ini?

Pertama-tama sungguh tak mudah memperoleh data-data kecelakaan yang menyangkut pesawat TNI. Mayoritas pesawat TNI tak dilengkapi dengan "Black Box" atau Flight Data Recorder (FDR) yang dapat kita pelajari atau analisa data-data rekaman penerbangan beberapa saat sebelum mendarat.

Dari minimnya data, maka tak mudah mereka-reka apa yang sesungguhnya terjadi, apalagi untuk memahami mengapa (penyebab teknis) kecelakaan ini terjadi.

Kita masih segar ingatan, tgl 6 April sebuah Fokker F27 TNI AU mendarat di atas hangar Bandara Husein Sastranegara Bandung dan 11 Mei sebuah Hercules C130 mengalami kerusakan roda pendarat utama ketika mendarat di Wamena dimana roda pesawat tersebut terlepas atau patah. Sekitar pertengahan Maret, pesawat Casa TNI juga "menghilang" di sekitar perbukitan di Bogor Selatan.

Tak ada berita apa-apa dari semua kecelakaan-kecelakaan tsb.

Kita semua hanya menyimpan kesedihan atas keluarga korban dan "cibiran" dunia internasional mengapa kecelakaan terbang masih saja terjadi di Indonesia (baik sipil maupun militer).

Kecelakaan kali bukan faktor "human error" karena pilotnya adalah seorang Instructor Pilot?

Ini pernyataan "gegabah" dari petinggi TNI AU dan tentu saja saya tak setuju.

Pertama, pernyataan seperti itu terlalu dini dan berbau "opini" yang bukan hanya menyesatkan masyarakat namun juga menyesatkan proses perbaikan internal dalam tubuh TNI.

Sebuah kecelakaan pesawat terbang selalu dan "harus" dilihat dari sisi "Organization Error" bukan "individual error" karena secara historis tak ada satupun kecelakaan yang diakibatkan "single error" atau selalu berupa "chain of errors".

Ilustrasi Analisa:

Anggaran TNI dari tahun ke tahun dipangkas karena berbagai alasan. Bisnis-bisnis usaha kelompok TNI juga ditutup seiring dengan era reformasi di Indonesia.

Meski baru saja Presiden SBY menyakinkan bahwa pemerintah tak pernah mengurangi anggaran operasional dan perawatan alutsista TNI jika faktanya anggaran "kurang" maka tetap kurang toh?
Meski Wapres mencoba menyakinkan bahwa anggaran bukan alasan karena alutsista TNI memang perlu perbaikan, jika faktanya anggaran tak mengucur dan alutsista belum diperbarui maka tetap "kurang" dan tidak memenuhi syarat, toh?

Jika anggaran "kurang" maka dampaknya sudah dapat diduga. Bisa jadi berimbas pada minimnya biaya perawatan, pelatihan, operasional, minimnya jam terbang, dll.

Gabungan ini semua merupakan "bom waktu" yang dapat mengakibatkan pilot kurang pengalaman, pelatihan untuk mempertahankan kualifikasi juga kurang dan perawatan pesawat bisa jadi tambal sulam.

Apalagi "safety culture" dalam organisasi sangat rendah maka kita hanya menunggu adanya satu faktor pemicu (triggering factor) maka "bom waktu" siap meledak sebagai sebuah kecelakaan fatal.

Jadi jika terjadi kecelakaan fatal, "human error" siapakah yang sedang kita bicarakan di sini?

Jika saja data-data mencukupi, tentu kita akan mudah menyusun "chain of error" dari mulai Pilot, Komandan Skuadron, Komandan Teknik, Komandan Pangkalan, Kepala Staf TNI AU, Panglima TNI, Menteri Pertahanan, Presiden, bahkan anggota DPR urusan anggaran, Ketua DPR dst dst dst.

Sekali lagi, sebuah kecelakaan pesawat terbang seringkali "dipicu" (trigger) oleh satu perkara namun "chemistry" dari "chain of errors" biasanya sudah ada kondisi "latent" yang mendahuluinya.

Ini bukan "pilot error" karena pilotnya seorang Instructor yang berpengalaman?

Rasanya, itu hanya opini pembenaran untuk konsumsi media.

Jika kita perhatikan, hampir tak ada lagi pesawat angkut yang hanya punya 1 tempat duduk di cockpit (bahkan pesawat tempur sekalipun).

Pesawat sudah didesain dengan 2 tempat duduk cockpit, satu untuk Pilot in Command dan satu untuk Copilot.

Perkembangan teknologi sudah "mengajarkan" bahwa the safest way to fly the aircraft when a Line Captain is flying with regular Copilot.

Salah satu bertugas terbang (Pilot Flying = PF) dan satunya bertugas membantu (Pilot Monitoring = PM). Iklim "kejiwaan" yang ingin dibangun adalah yang satu tahu bahwa ia "diawasi" dan yang satunya tahu bahwa ia harus "mengawasi" yang terbang.

Bahkan diciptakan mekanisme komunikasi kerja yang baku bahwa yang satu senantiasa menyampaikan apa-apa yang akan dan sedang dilakukan (sambil berbicara) dan yang satunya menjawab utk memastikan bahwa yang dilakukan lainnya benar sesuai prosedur.

Ini yang namanya "Crew Coordination" dan "Standard Call Out".

Di Flying School, suasana di kokpit kadangkala "berisik", Pilot Flying "ngomel" "Left Clear, Front Clear, Right Clear" sambil tangannya menujuk dan diikuti kepalanya menengok kiri, depan dan kanan sebelum "Turn Right Heading ....". Ilmu dan kebiasaan dasar seperti itu terbawa hingga saat ini.

Biasanya semakin kritis situasi maka Standard Call Out semakin "ramai".

Ambil contoh pesawat take-off, lebih kurang beginilah situasi setelah pesawat lift off........

PM: "Positive" (maksudnya positip airborne)
PF: "Gear Up"
PM: select Landing Gear to Up "Gear Up"
PM: "400 (feet)"
PF: "Heading Select"
PM: "one thousand (feet)"
PF: "N One, Two Ten, Flaps One"
PM: select Flaps to position 1
PM: "Up and Locked"
PF: "After Take-Off Checklist"


Ini semua dilakukan untuk "ensuring" (meyakinkan) bahwa apa yang dilakukan oleh salah satu, diketahui oleh kedua pilot.

Lalu muncul argumen, bahwa jika yang terbang Instructor pilot atau dua-duanya pilot Instructor pasti penerbangan lebih "aman". Itu, jelas namanya "asumsi"......

Historical data mengajarkan bahwa jika 2 pilot yang berada di kokpit dua-duanya Instructor maka yang seringkali terjadi justru "complacency". Pilot pertama berpikir, “akh, dia kan Instructor pasti sudah tahu apa yang dilakukannya”. Pilot lainnya berpikir serupa. Sehingga keduanya berada pada "negative perception" maka mudah ditebak, mereka gampang terjebak pada situasi yang menyerempet bahaya.

Faktanya, sebuah teamwork memerlukan sebuah peran-fungsi harus berjalan secara baik. Persis seperti Leadership yang baik harus sama baiknya menjadi Followership (tanpa kesadaran itu, jangan harap jadi seorang Leader yang baik).

Pada sisi lain, gabungan Captain dan First Officer bertugas di cockpit juga pasti aman (sebagaimana yang diharapkan). Jika "Authority Gradient" terlalu besar atau terlalu besar "gap" (kesenjangan) antara Captain dan First Officer maka Crew Coordination (Teamwork) sulit berjalan ideal.

Misalnya: Captain seorang Check Airman (atau Instructor) sementara Copilot seorang "junior" yang melihat Captain sebagai "dewa". Mana sanggup ia melakukan "challenge" jika si Captain melakukan "error"? Kebalikannya, Captain yang "otoriter" juga mana mau ia dikoreksi?

Jika kita tinjau sistim kepangkatan di militer maka yang "senior" bisa berarti "segalanya", artinya "bawahan" atau "yunior" menjadi mutlak di militer sehingga "authority gradient" juga semakin melebarkan kesenjangan.

Lalu siapa yang mengontrol ini semua agar berjalan baik? Ya, Komandan Skuadron (atau Chief Pilot).

Melalui apa? Recurrent, Proficiency Check, Training, Briefing, Daily Monitoring dll.

Lah, yang menunjuk ia sebagai Komandan Skuadron (Chief Pilot) siapa? Ya Atasannya.

Lah, yang menunjuk Atasannya siapa? Ya Atasannya lagi, dst dst.

Jadi kalau pilot make errors karena kekurangan pelatihan dan kualifikasi siapa yang sesungguhnya menimbulkan gara-gara?

Ya, itu yang namanya "Organization Failure" yang akhirnya menjadi fatal accident.

Jika begitu apa yang perlu diperbaiki? Ya seluruh organisasi!

Apa yang perlu diperbaiki dalam organisasi tsb? Ya "culture" nya.

Bagaimana membentuk "culture"? Ya Top Down Process.

Siapa yang terlibat dalam "Top Down Process"? Ya semua orang!

Semua orang harus berbuat apa? Ya, mematuhi semua sispro, manual, directives, Biz Process.

Jika Biz Process-nya salah atau tak ada bagaimana? Ya, direvisi dan dibuat karena tak mungkin bekerja berdasarkan "katanya" dan/atau "biasanya"!

Singkatnya bagaimana? Ya, ikuti saja alur siklus Plan - Do - Check - Act

Jadi, saya rasa "ilmu" ini bisa diaplikasikan untuk semua disiplin pekerjaan yang memerlukan "Risk Management".

PLAN
Setiap tugas atau pekerjaan harus direncanakan dengan seksama, dan tertulis agar diketahui semua pihak yang terkait.

DO
Setiap rencana harus dilakukan sesuai kaidah dan ketentuan yang berlaku sesuai dengan kondisinya. Sebaiknya dibuat semacam urutan kerja agar tak ada yang terlupa.

CHECK
Dalam proses atau setelah proses masing-masing tugas hendaknya dilakukan review atau telaah, apakah ada penyimpangan atau hal-hal yang perlu diperbaiki.

ACT
Hasil dari review atau telaah dipergunakan untuk memperbaiki proses implementasi atau rencana kerja sehingga makin baik dan semakin baik.

Begitulah siklus dan alur PDCA.

Didalam pekerjaan atau profesi yang mempunyai resiko tinggi seyogyanya ada siklus PDCA yang terdokumentasi secara baik.

Kaidah ini dikenal sebagai: Documented - Implemented - Evidence

DOCUMENTED
Setiap proses PDCA hendaknya terdokumentasikan secara baik dan secara berkala dilakukan review (umumnya dalam bentuk Manual)

IMPLEMENTED
Setiap pelaksanaan tugas harus dilakukan sebaik-baiknya sesuai rencana kerja (dan mengikuti ketentuan). Istilah lain "write what you do - do what you write"

EVIDENCE
Setiap proses PDCA harus ada bukti pelaksanaan sehingga mudah untuk direview dan ditelusuri jika timbul masalah dikemudian hari (istilah lain "auditable")

Saya tidak tahu apakah ada jenis pekerjaan atau profesi yang serupa ini, seperti halnya industri dirgantara. Dalam industri dirgantara, pengoperasian dan perawatan sebuah pesawat terbang dilakukan dengan metode PDCA dan sebagian berdasarkan ketrampilan yang dilatihkan serta sebagian lagi merupakan proses kerja tertulis yang harus diikuti langkah demi langkah (berupa "checklist") untuk menghindari "lupa" atau "salah langkah".

Kembali kepada kecelakaan pesawat terbang, maka "chain of errors" pada kecelakaan pesawat sungguh kompleks.

Kita juga mesti menganalisanya melalui berbagai sudut pandang:

1. Apakah PDCA eksis?
2. Apakah Documented, Implemented dan ada evidence (bukti pelaksanaan)
3. Apakah para pelaksana qualified personnel (well trained) karena "skill have to be trained"

Jika satu atau semua elemen di atas tak ada maka tak usah kita heran dengan adanya 'kecelakaan"

Dengan kata lain, menilik "proses organisasi" dan "budaya keselamatan" yang ada dalam organisasi maka sebuah kecelakaan pesawat terbang bukan sebuah "kebetulan" atau "nasib buruk" atau "sial" atau "sudah garis tangan".

Sebuah kecelakaan pesawat mirip "bom waktu" dengan "chemistry" dan "triggerring factor" yang sesuai tinggal meledak menjadi sebuah kecelakaan fatal. Itu semua dapat "diprediksi" . . . .

Jadi kalau ada kecelakaan pesawat terbang, siapa yang salah? Human Error? Technical Error?

Menurut hemat saya, pertanyaan itu sendiri juga sebuah kesalahan serius.

Bangsa Indonesia yang terkenal "ramah-tamah" ternyata "haus" akan "balas-dendam". Kita cenderung mencari "kambing hitam" jika muncul masalah, apalagi kecelakaan pesawat terbang.

Pertanyaan yang "benar" adalah:
1. What,
2. Where,
3. When,
4. Who,
5. How,
6. Why,
7. Why,
8. Why,
9. Why, dan
10. Why it happened?

Memperoleh jawaban dari WHY yang “kelima” akan sungguh-sungguh diperlukan untuk memahami "akar masalah" penyebab kecelakaan sehingga kita semua dapat menghindari kecelakaan serupa di kemudian hari.

Bukan terburu-buru menuduh "siapa yang salah" karena itu tak akan menyelesaikan apa-apa. Apalagi sekedar mencari "kambing hitam" untuk dihukum. Justru akan menjauhkan kita dari semua "akar masalah".

Pada kasus kecelakaan pesawat TNI AU, juga ada hal "aneh". Tak biasa-biasanya Presiden danWapres memberikan komentar.

Bahkan, beberapa kecelakaan pesawat angkut TNI para korban dianugrahkan gelar "pahlawan".

Sementara kecelakaan pesawat sipil, pilotnya bisa diusut pihak berwajib bahkan dituntut di pengadilan.

Fenomena ini juga menghambat proses perbaikan dalam tubuh organisasi TNI dan dapat meruntuhkan seluruh proses perbaikan "sistim keselamatan transportasi publik"

Itu sebabnya, kita semua tak dapat "belajar" dari kecelakaan pesawat militer, semua serba tertutup dengan alasan "rahasia militer" meski untuk pesawat angkut dengan operasi rutin.

Kesimpulannya:

  1. Kecelakaan pesawat angkut militer dan sipil komersial selalu melibatkan "organization failure"
  2. Failure tsb merupakan gabungan "chain of errors" yang tak berdiri sendiri
  3. Sebaiknya tak berspekulasi terlalu dini tentang penyebab kecelakaan, apalagi mencari "kambing hitam" atau memberi "gelar pahlawan"

Jakarta, 24 Mei 2009
Novianto Herupratomo

No comments:

Post a Comment